Melepaskan Diri dari Belenggu ”Kawin Tangkap”
Sejatinya adat kawin mawin di Sumba, Nusa Tenggara Timur, ”memuliakan” perempuan. Karena itu, praktik kawin tangkap yang merupakan pelanggaran adat dan melanggar hak asasi perempuan harus dihentikan.
Kendati lembaga adat di Sumba, Nusa Tenggara Timur, menyatakan kawin tangkap merupakan pelanggaran adat, praktik yang mengatasnamakan adat itu terus berlangsung. Sejumlah perempuan di Sumba menjadi korban, terpaksa hidup dengan suami yang tak dicintainya. Beberapa perempuan melawan praktik itu dan berhasil keluar dari belenggu kawin tangkap.
Perlawanan atas praktik yang tidak ”memuliakan” perempuan Sumba tersebut dilakukan dengan berbagai cara oleh sejumlah perempuan yang menolak perkawinan paksa. Selain terbebas dari jerat kawin tangkap, mereka membuktikan ”mitos” yang ditakuti perempuan Sumba, bahwa jika melarikan diri atau kembali kepada orangtua, mereka akan susah mendapat jodoh, sulit mendapat keturunan, dan hidupnya akan sial, tidak benar.
Pengalaman Cs (31), misalnya. Perempuan dari salah satu desa di Kecamatan Katiku Tana, Sumba Tengah, yang menjadi korban kawin tangkap pada 10 Januari 2017 itu bisa kembali kepada orangtuanya setelah enam hari ditangkap. Ia kemudian menikah dengan pria yang dicintainya.
Mantan aktivis lembaga swadaya masyarakat di Sumba itu, Selasa (30/6/2020), menuturkan perjuangannya melepaskan diri dari kawin paksa. Tiga tahun lalu, Cs ditangkap beberapa laki-laki lalu dibawa dengan mobil ke rumah orangtua Za (31), laki-laki yang ingin menikahinya.
Baca juga : Menjerat Perempuan Berkedok Tradisi ”Kawin Tangkap”
”Saat itu hati saya hancur, rasanya mau mati. Harapan saya untuk menikah dengan orang yang saya cintai hancur sudah. Namun, saya mencoba bertahan. Saya mati-matian bilang, saya tidak mau dengan cara begini, saya sudah ada hubungan dengan laki-laki lain. Tetapi, mereka bilang tidak bisa,” tutur Cs.
Sejak ditangkap dan selama berada di rumah keluarga pria yang menangkapnya, setiap hari Cs terus memberi kabar kepada ayah dan ibunya bahwa dirinya tidak mau menikah dengan Za dan minta dibebaskan. Karena itu, ketika keluarga Za membawa hewan ke rumah Cs, sang ayah menyatakan perkawinan adat hanya bisa dilakukan jika anaknya setuju.
Saat telepon genggamnya disita keluarga laki-laki, Cs tidak menyerah. Dia meminta adik perempuannya membawakan buku sehingga dia bisa menulis pesan untuk orangtuanya bahwa dirinya menolak. Cs juga meminta, sebelum urusan adat selesai, adik perempuannya harus menemaninya saat tidur setiap malam.
Pada hari keenam setelah Cs ditangkap, ayahnya dengan bantuan kepala desa dan sebuah LSM datang menjemputnya. Saat kembali ke rumah, Cs mengaku sempat mengalami trauma dan takut keluar rumah. Dua bulan kemudian, dia dilamar pacarnya dan September 2017 mereka menikah adat.
Baca juga : Hentikan ”Kawin Tangkap” yang Merendahkan Martabat Perempuan
Lalu Cs tinggal bersama suaminya di kabupaten lain. ”Puji Tuhan saya baik-baik saja sampai saat ini. Bahkan, saya sudah memiliki bayi perempuan berusia satu tahun delapan bulan,” ujarnya.
Pengalaman melepaskan diri dari belenggu kawin tangkap juga dialami Ol (31), lulusan Politeknik Pertanian Negeri Kupang, pada 2014. Anak bungsu dari enam bersaudara tersebut berhasil melarikan diri setelah dua minggu ditangkap untuk dinikahkan dengan Ri (41).
Ol, yang juga ketua pemuda di gereja yang ada di desanya, ditangkap saat akan naik sepeda motor seusai aktivitas gereja. Meski menolak, dia tetap dibawa ke rumah Ri. ”Saat itu saya menangis, merasa tersakiti. Tetapi, saya tidak kehilangan akal,” ujar Ol.
Selama bersama Ri, meski sekamar, Ol tidak mengizinkan Ri menyentuh dirinya dengan alasan sedang menstruasi. Ol pun mencari cara untuk kabur. Akhirnya dia berhasil melarikan diri setelah keluar rumah dengan alasan mengurus surat keterangan catatan kepolisian agar bisa melamar pekerjaan.
Setelah melarikan diri, Ol sempat bersembunyi di rumah teman kuliahnya sebelum pulang ke orangtua dan menyelesaikan masalah adat dengan keluarga Ri. Setelah melalui proses panjang, akhirnya keluarga Ri melepaskan Ol. ”Kawin tangkap tidak manusiawi, menginjak-injak harga diri perempuan. Jangan lagi ada perempuan Sumba menjadi korban kawin tangkap,” katanya.
Perempuan dan keluarga harus gigih
Perlawanan atas kawin tangkap tidak mudah. Dari pengalaman pendampingan korban selama ini, Direktur Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) Martha Hebi mengungkapkan, selain dari diri korban, dukungan kuat dari orangtua kandung juga menjadi kunci untuk melepaskan diri dari jerat kawin tangkap.
Untuk bisa keluar dari jerat kawin tangkap, harus ada dukungan keluarga perempuan yang gigih, paham bahwa tindakan ini adalah kriminal.
”Perempuan menyerah atau lebih tepatnya tidak berdaya apabila tidak ada dukungan keluarga. Keluarga pasrah saat perempuan telah ditangkap untuk dijadikan istri. Untuk bisa keluar dari jerat kawin tangkap, harus ada dukungan keluarga perempuan yang gigih, paham bahwa tindakan ini adalah kriminal,” ujar Martha.
Baca juga : Menanti Istana Bertindak Sudahi ”Kawin Tangkap”
Sayangnya, sampai saat ini praktik kawin tangkap tidak tersentuh oleh hukum. Aparat penegak hukum masih melihat praktik ini sebagai bagian dari adat sehingga selama ini jarang sekali (mungkin belum ada) penindakan atas kasus kawin tangkap. Sementara masyarakat, pemerintah desa, bahkan lembaga-lembaga keagamaan juga bersikap permisif karena merasa itu adalah wilayah adat.
Akibatnya, kasus kawin tangkap terus terjadi dan menghantui kaum perempuan Sumba. Hanya sedikit yang berhasil lolos dari jerat praktik atas nama adat itu. Dari berbagai testimoni penyintas kawin tangkap yang dikumpulkan, ujar Pendeta Aprissa Taranau, Ketua Persekutuan Wanita Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati) Sumba, memberikan gambaran betapa besar dampak yang dialami perempuan korban kawin tangkap.
Bahkan, dalam beberapa peristiwa kawin tangkap, perempuan diperlakukan sangat tidak manusiawi, mengalami pelecehan, bahkan pemerkosaan. Seperti yang dialami seorang remaja berusia 16 tahun, yang menjadi korban kawin tangkap pada 2019. Siswa SMP itu ditangkap di persimpangan jalan saat sedang menuju ke rumah kakak perempuan yang akan menikah di desa lain. Sang ibu berusaha mempertahankan putrinya, tetapi dia tidak berdaya melawan kekuatan orang yang menangkap anaknya.
Dalam kesaksiannya kepada Aprissa, korban mengungkapkan betapa kekerasan berlapis dia alami ketika dibawa ke rumah laki-laki yang menangkapnya. Karena menolak menikah dengan pria yang menangkapnya, remaja tersebut diperkosa oleh banyak orang, dengan mata ditutup. Meskipun berhasil melarikan diri dan pulang ke rumah setelah berjalan selama lima hari, hingga kini korban mengalami trauma mendalam.
Baca juga : Polisi Diminta Bebaskan Korban Kawin Tangkap
Berbagai pengalaman pahit yang dialami para perempuan korban kawin tangkap atas nama budaya atau adat seharusnya sudah cukup untuk mendorong semua pihak, masyarakat, pemerintah, lembaga keagamaan, terutama lembaga adat, untuk menghentikan kawin tangkap. Jika memang merupakan pelanggaran adat, seharusnya tidak ada lagi kompromi atas tindakan kawin tangkap atas nama apa pun.
Pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan harus ditanamkan sejak dini kepada anak perempuan dan laki-laki di tiap keluarga. Memberikan pemahaman kepada orangtua bahwa kawin tangkap merupakan bentuk perkawinan paksa yang melanggar hak asasi perempuan. Jika terjadi kawin tangkap, perlindungan perempuan korban hendaknya jadi prioritas.
Dari sisi penegakan hukum, ketika seorang perempuan ditangkap dan mengalami kekerasan, seharusnya aparat penegak hukum hadir memberikan perlindungan. Tidak perlu menunggu aduan, polisi bisa bertindak menggunakan Pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang mengatur perbuatan merampas kemerdekaan seseorang, tanpa harus ada aduan.
Maka, tidak hanya sebatas gerakan dan imbauan, upaya menghentikan kawin tangkap harus disertai dengan regulasi yang kuat, seperti peraturan daerah tentang pencegahan kawin tangkap. Di tingkat nasional, mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, yang di dalamnya juga mengatur penghapusan pemaksaan perkawinan, harus menjadi agenda utama.
Pelanggaran adat
Praktik kawin tangkap sebenarnya tak sejalan dengan adat kawin Sumba. Bahkan, Umbu Sangaji (77), Ketua Lembaga Adat Tingkat Kecamatan Katiku Tana Selatan, menyatakan kawin tangkap bukan bagian dari adat, tetapi pelanggaran adat kawin mawin di Sumba yang membudaya di masyarakat untuk menunjukkan kehebatan, dan biasanya kedua pihak ada hubungan kekerabatan.
Oleh karena pelanggaran adat, keluarga pihak laki-laki yang melakukan kawin tangkap harus dihukum dengan denda adat, yakni menyerahkan 11 ekor hewan kepada pihak keluarga perempuan yang ditangkap. Hal itu sekaligus sebagai tanda permohonan maaf dari pelaku karena mengambil perempuan secara paksa. ”Karena itulah mereka harus mengembalikan harkat dan martabat perempuan,” kata Sangaji.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati berharap jangan ada lagi praktik kawin tangkap berkedok adat yang merendahkan martabat perempuan. Darmawati hari Kamis (2/6/2020) ini berkunjung ke Sumba, bertemu pemangku kebijakan setempat membahas soal pencegahan kawin tangkap tersebut.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, PPPA Kabupaten Sumba Tengah Agnes Mere menegaskan kawin tangkap harus dihentikan dan jangan ada lagi perempuan menjadi korban. Selama ini pihaknya tidak mendapat laporan tentang adanya kekerasan yang menimpa perempuan dalam praktik kawin tangkap.
Dia juga mengakui, sejauh ini belum pernah ada sosialisasi kepada masyarakat tentang pencegahan kawin adat. Sosialisasi lebih kepada penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Karena itu, pihaknya mendorong korban melaporkan kasusnya ke polisi supaya pelaku jera dan tidak melakukan lagi perbuatan yang sama kepada perempuan lain.
Mulai saat ini kami akan sosialisasi dan advokasi bahwa harus dilakukan pencegahan kawin tangkap. Belum terlambat untuk menghentikannya.
”Mulai saat ini kami akan sosialisasi dan advokasi bahwa harus dilakukan pencegahan kawin tangkap. Belum terlambat untuk menghentikannya,” ujar Agnes. Bahkan, warga yang mendengar rencana kawin tangkap diminta segera melaporkan hal itu kepada pemerintah.
Buat hukum baru
Padahal, menurut Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, hukum adat adalah bagian dari proses kebudayaan. Akan tetapi, hukum adat bukanlah hukum yang sekali dibuat dan selamanya tinggal tetap dalam kehidupan masyarakat.
”Hukum adat mengalami perkembangan yang berarti seiring dengan perkembangan masyarakat,” ujarnya seraya mengatakan ada bagian kebudayaan yang sukar berubah dan mudah berubah.
Sulistyowati menjelaskan, hukum bisa menjadi alat untuk memperbarui atau merekayasa sosial (law as a tool of social engineering) untuk perubahan lebih baik. Karena itu, bisa dibuat hukum baru untuk memperlakukan perempuan lebih dinamis dan adil, misalnya melalui peraturan daerah.
”Pada zaman kolonial Belanda, cara ini berhasil menghapuskan kebiasaan atau ritual Sati di Bali, dan perempuan potong jari setiap ada anggota keluarga meninggal,” ujar Sulistyowati.
Berbagai pengalaman pahit yang dialami para perempuan korban kawin tangkap atas nama budaya atau adat seharusnya sudah cukup untuk mendorong semua pihak, masyarakat, pemerintah, lembaga keagamaan, terutama lembaga adat, untuk melakukan gerakan konkret, menghentikan kawin tangkap. Jangan ada lagi kompromi terhadap tindakan kawin tangkap atas nama apa pun!