Mengenakan Masker, Membentuk Norma Baru Hadapi Tatanan Normal Baru
Pekerjaan rumah terberat pemerintah menjelang fase normal baru bukan kewajiban meningkatkan kesiapan faskes atau memperbanyak tes Covid-19, tetapi mendisiplinkan masyarakatnya untuk menerapkan protokol kesehatan.
Mendisiplinkan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah terberat bagi pemerintah daerah di Tangerang Raya. Kondisi itu dialami Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang selama dua bulan penerapan pembatasan sosial berskala besar belum mencapai tingkat kedisiplinan masyarakat yang diharapkan.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Tangsel mencatat, tingkat kedisiplinan masyarakat baru menyentuh kisaran 77-78 persen, belum pernah mencapai target 90 persen.
Padahal, penerapan protokol kesehatan, seperti rajin mencuci tangan, mengenakan masker, dan menjaga jarak fisik, menjadi perisai diri masyarakat ketika memasuki tatanan normal baru yang penuh dengan pelonggaran. Epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, berkali-kali mengingatkan potensi penambahan jumlah kasus ketika PSBB mulai dilonggarkan.
Pada masa perpanjangan PSBB tahap kelima yang berakhir pada 12 Juli 2020, pemerintah daerah di Tangerang Raya merevisi peraturan wali kota (perwal) tentang PSBB. Perwal yang sebelumnya secara tegas melarang segala aktivitas yang berpotensi menimbulkan kerumunan kini mulai dikompromikan.
Masyarakat diperkenankan melakukan kegiatan dengan jumlah lebih dari lima orang di tempat umum sepanjang menerapkan protokol kesehatan. Pusat perbelanjaan atau mal pun diberikan kesempatan untuk menambah gerai yang boleh buka. Selain itu, pemerintah mencabut aturan yang melarang restoran atau warung makan melayani makan di tempat.
Terkait sejumlah pelonggaran dalam PSBB, Gubernur Banten Wahidin Halim melalui siaran pers menyampaikan, PSBB diperpanjang dengan memuat berbagai instrumen yang disesuaikan dengan hal-hal yang masih dijadikan keluhan secara sosial kemasyarakatan.
Wahidin tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang ia maksud dengan keluhan secara sosial kemasyarakatan. Kendati demikian, Wahidin mengakui, pelonggaran PSBB rentan menimbulkan pelanggaran.
”Di masyarakat kita, pelonggaran identik dengan pelanggaran,” ujarnya.
Di masyarakat kita, pelonggaran identik dengan pelanggaran.
Ketidakdisiplinan menerapkan protokol kesehatan adalah pelanggaran saat PSBB. Jika kondisi itu berlangsung terus-menerus saat normal baru, hal itu akan membahayakan masyarakat sendiri. Kondisinya lebih kurang seperti berada dalam kepungan virus, tetapi tanpa pelindung diri yang memadai.
Melihat tingkat kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan masih rendah, Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan menyusun satu upaya lama, tetapi dikemas dengan gaung yang lebih besar: Kampanye Gerakan Tangerang Selatan Pakai Masker (Gerakan Tangkas).
Baca juga : Benarkah Keguncangan Emosional Picu Pembunuhan Gadis Remaja di Karawaci?
Euforia salah
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangsel Deden Deni, Rabu (1/7/2020), menerangkan, Gerakan Tangkas bermaksud membiasakan masyarakat untuk mengenakan masker dalam keseharian. Gerakan tersebut muncul dari kekhawatiran adanya euforia yang salah ketika Tangsel memasuki masa normal baru.
”Ketika ada wacana pelonggaran PSBB atau normal baru, masyarakat mengira seolah-olah wabahnya sudah tidak ada. Maka, butuh edukasi dan sosialisasi bahwa bukan itu yang dimaksud. Kami merasa punya kewajiban selalu mengingatkan untuk pakai masker,” tutur Deden.
Ketika ada wacana pelonggaran PSBB atau normal baru, masyarakat mengira seolah-olah wabahnya sudah tidak ada.
Gerakan Tangkas dimulai pada 1 Juli 2020 hingga 14 hari ke depan. Dinas Kesehatan Tangsel telah menyebar surat imbauan kampanye kepada semua organisasi perangkat daerah di Tangsel. Para kepala dinas dan aparatur sipil negara (ASN) diharapkan juga berpartisipasi.
Mereka diminta mengganti foto di akun media sosial masing-masing dengan manambahkan template desain yang sudah disiapkan. Isi desainnya berupa gambar masker dengan tulisan ”Tangkas untuk melindungi diri sendiri dan orang lain”. Pantauan Kompas, sejumlah kepala dinas dan ASN Tangsel sudah mengganti foto di akun media sosialnya bahkan sebelum 1 Juli 2020.
Dengan memulai di lingkup para kepala dinas dan semua ASN, diharapkan gerakan ini bakal meluas di masyarakat. Dengan begitu, gaung untuk mengenakan masker dalam keseharian kian besar. Gerakan ini, menurut Deden, bertujuan untuk mengedukasi masyarakat sehingga tidak ada sanksi bagi ASN ataupun warga masyarakat yang tidak mengikutinya.
Deden memilih kampanye menggunakan masker dibandingkan protokol kesehatan lain, seperti mencuci tangan dan jaga jarak fisik. Menurut Deden, mengenakan masker merupakan protokol kesehatan yang relatif lebih mudah dilakukan oleh tiap individu. Adapun menjaga jarak fisik dalam beberapa kesempatan hampir sulit dilakukan, misalnya ketika berada dalam angkutan umum.
Pendapat serupa juga diutarakan Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Liza Puspadewi. Menurut Liza, protokol jaga jarak fisik sangat sulit untuk diterapkan dan termasuk yang sering dilanggar. Apabila sudah demikian, mengenakan masker menjadi bentuk pertahanan diri terbaik di tengah virus.
”Jaga jarak fisik itu, sudahlah, di berbagai tempat kayaknya sudah sulit (dipatuhi). Masyarakat disiplin pakai masker saja kami sudah senang dan bersyukur sekali,” ucap Liza.
Baca juga : Penerimaan Murid Baru Kisruh karena Mitigasi Tahunan Tidak Ada
Di belahan daerah lain, sejumlah perkumpulan juga menginisiasi pentingnya menggunakan masker sebagai kebiasaan dalam tatanan normal baru. Perkumpulan Semua Peduli Bangsa (PSPB), misalnya, meluncurkan Gerakan Pakai Masker (GPM) pada 27 Juni 2020 di Pasar Tanah Tinggi, Kota Tangerang, Banten.
Ketua GPM Sigit Pramono menjelaskan, gerakan tersebut akan dimulai dengan melakukan kampanye publik pakai masker di 9.200 pasar tradisional di Indonesia, yang di dalamnya diperkirakan ada lebih dari 7 juta pedagang.
GPM bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki kesadaran tinggi memakai masker secara benar sebagai kebiasaan dan perilaku sehari-hari. Memakai masker bisa melindungi diri sendiri dan orang lain dari penularan Covid-19. Apabila gerakan ini meluas, masyarakat akan siap menyongsong era normal baru dengan sejumlah pelonggaran.
Sejumlah tokoh masyarakat turut bergabung dalam gerakan ini. Mereka mengganti foto di media sosial masing-masing dengan desain GPM. Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, dan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid turut mengampanyekan GPM.
Ketua Komite Sponsor dan Donatur GPM Eric Martoyo mengemukakan alasan dipilihnya pasar tradisional sebagai lokasi kampanye. Menurut Eric, pasar tradisional adalah urat nadi perekonomian masyarakat kecil. Di saat bersamaan, protokol jaga jarak fisik cenderung sulit dilakukan di pasar tradisional.
”Kalau kita tidak bergerak, jangan-jangan akan ada gelombang kedua. Untuk itu, memakai masker adalah solusi tergampang,” ucapnya.
Kalau kita tidak bergerak, jangan-jangan akan ada gelombang kedua. Untuk itu, memakai masker adalah solusi tergampang.
Hermawan Saputra dari Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia menjelaskan, mengenakan masker mampu mengeliminasi penularan virus di ruang publik. Ia mengapresiasi munculnya gerakan yang bermaksud menyadarkan masyarakat akan pentingnya mengenakan masker. Hermawan mengusulkan agar kampanye juga disertai edukasi tentang tata cara merawat dan kapan waktu yang tepat saat mengenakan masker.
”Gerakan ini semoga benar-benar menumbuhkan kedisiplinan bagi masyarakat,” katanya.
Baca juga : Warga Diminta Terus Bergerak di Lokasi Khusus HBKB
Norma baru
Hermawan mengatakan, gerakan yang mengingatkan pentingnya menggunakan masker bukan hal baru secara substansi. Namun, hal itu perlu terus digaungkan karena masyarakat belum sepenuhnya disiplin. Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, berpendapat, mengenakan masker perlu diupayakan menjadi sebuah norma baru menjelang dimulainya tatanan normal baru.
Belum terbentuknya norma baru itu pula yang mengakibatkan masyarakat masih abai terhadap pentingnya mengenakan masker, terutama di ruang publik. Imam mencontohkan kewajiban mengenakan seragam di sekolah. Siswa mengenakan seragam bukan karena mereka ingin, tetapi karena ada aturan yang mewajibkan itu.
Apabila seorang siswa ke sekolah tanpa mengenakan seragam, akan timbul perasaan tidak nyaman, sungkan, dan malu. Kondisi itu, kata Imam, disebabkan ada semacam tekanan sosial kepada siswa tersebut karena ia tampil tidak sesuai kaidah yang ditentukan.
”Kita perlu ada references group yang secara masif itu mendominasi dalam sebuah lingkungan. Itu harus dibangun,” katanya.
Baca juga : Komnas HAM Bentuk Tim Penanganan Kasus Kejahatan Seksual di Gereja Depok
Jika norma baru itu terbentuk nantinya, secara bertahap orang-orang yang tidak mengenakan masker akan menjadi sungkan dan merasa bersalah terhadap orang-orang di sekitarnya. Sebab, dia akan dianggap tidak peka, tidak bertanggung jawab, dan membahayakan kesehatan orang di sekelilingnya karena tidak mengenakan masker.
GPM bisa menjadi momentum untuk menciptakan norma baru itu. Mereka yang terlibat dalam kampanye GPM bisa pelan-pelan memberikan sanksi sosial, semisal dalam bentuk menunjukkan ekspresi ketidaknyamanan ketika melihat ada orang di ruang publik yang tidak mengenakan masker secara benar.
Cara itu, menurut Imam, akan lebih efektif daripada mengandalkan polisi dan tentara untuk mengawasi penerapan protokol kesehatan di tengah masyarakat.
”Karena kalau tidak ada penegak hukum di sana, dia akan mengulangi pelanggarannya. Sebab, tidak ada sanksi apa-apa dari masyarakat di sekelilingnya,” ujarnya.
Karena kalau tidak ada penegak hukum di sana, dia akan mengulangi pelanggarannya. Sebab, tidak ada sanksi apa-apa dari masyarakat di sekelilingnya.