Aktivis Prodemokrasi Pikirkan Bentuk Parlemen di Pengasingan
›
Aktivis Prodemokrasi Pikirkan ...
Iklan
Aktivis Prodemokrasi Pikirkan Bentuk Parlemen di Pengasingan
Aktivisi prodemokrasi Hong Kong tengah mendiskusikan opsi pendirian parlemen di pengasingan. Opsi ini sejalan dengan tawaran dari beberapa negara bagi warga Hong Kong untuk berpindah kewarganegaraan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
HONG KONG, JUMAT — Tawaran sejumlah negara membuka pintu bagi warga Hong Kong yang berniat hengkang dari kawasan itu mendapat sambutan dari para aktivis prodemokrasi. Cengkeraman Beijing yang semakin kuat dan upaya pemberangusan demokrasi di pusat ekonomi Asia itu membuat mereka memikirkan mendirikan parlemen di pengasingan untuk menjaga nyala api demokrasi tetap menyala.
Rencana pendirian itu sekaligus mengirim pesan bahwa kebebasan warga Hong Kong tidak dapat dihancurkan.
Cheng, warga Hong Kong yang pernah bekerja di Konsulat Inggris, mengatakan, para aktivis prodemokrasi Hong Kong tengah mendiskusikan kemungkinan ini. Menurut dia, pendirian parlemen di pengasingan bisa mengirimkan sinyal yang sangat jelas kepada Beijing dan pemerintahan otonomi khusus Hong Kong tidak akan terhenti.
”Kami ingin membentuk kelompok sipil nonresmi yang tentunya mencerminkan pandangan rakyat Hong Kong,” kata Cheng.
Dia mengatakan, ide yang bergulir masih berada pada tahapan sangat awal. Dari jauh, parlemen di pengasingan ini akan tetap mendukung rakyat Hong Kong dan gerakan prodemokrasi menuntut kebebasan yang pernah dirasakan ketika wilayah ini masih dikelola Inggris. Dia menolak menjelaskan negara mana yang akan dipilih sebagai lokasi parlemen di pengasingan nantinya.
”Kita, warga Hong Kong, harus pintar untuk berurusan dengan totalitarianisme yang terus berkembang, berupaya terus menekan sehingga kita harus bergerak lebih lincah dan gesit,” kata Cheng.
Cheng melarikan diri karena mendapat siksaan dari aparat keamanan Hong Kong. Inggris memberinya status suaka dan kini ditabalkan sebagai aktivis prodemokrasi Hong Kong.
Tidak hanya Cheng yang kini telah berada di luar Hong Kong. Nathan Law, aktivis prodemokrasi lainnya, juga dikabarkan sudah keluar dari wilayah itu. Law, dikutip dari The South China Morning Post, menyatakan, dirinya telah berada di luar Hong Kong setelah memberikan kesaksian di depan anggota Kongres AS, Kamis (2/7/2020).
Law mengatakan, cengkeraman Beijing yang semakin kuat terhadap warga Hong Kong harus mendapat perlawanan dari warga dunia dan para pengambil kebijakan harus menempatkan hak asasi manusia di atas keuntungan finansial.
Tantangan
Lima negara yang mayoritas tengah berkonfrontrasi dengan Beijing, yaitu Amerika Serikat, Australia, Inggris, Selandia Baru, dan Kanada, telah menyatakan dengan tangan terbuka akan menerima warga Hong Kong yang ingin mencari lokasi tempat tinggal baru. Sebuah tindakan yang menurut para pemimpin negara-negara itu merupakan sebuah kewajiban moral.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab, berbicara di depan parlemen, menyatakan, pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson memiliki kewajiban untuk merawat penduduk dari wilayah koloni mereka yang kini sudah berada dalam genggaman Beijing. Dia menyatakan, Inggris membolehkan setiap warga Hong Kong yang memiliki status British National Overseas (BNO) dan keluarga atau yang menjadi tanggungannya untuk datang ke Inggris dan mengurus status kewarganegaraannya. Diperkirakan 3 juta warga Hong Kong bisa berpindah kewarganegaraan dengan undangan itu.
Di Amerika Serikat, sekelompok senator lintas partai mengajukan usulan peraturan perundang-undangan yang memungkinkan para peserta unjuk rasa prodemokrasi memperoleh status pengungsi melalui jalur cepat. Sementara Pemerintah Australia mengisyaratkan pemberian perlindungan bagi warga Hong Kong.
Beberapa warga Hong Kong menyatakan tertarik dengan tawaran itu. Asuka Law, salah seorang warga, mengatakan, dirinya akan berangkat sesegera mungkin untuk memulai kehidupan baru di Inggris. Dia berencana untuk meninggalkan Hong Kong pada musim gugur mendatang.
Warga lain bernama depan Sam mengatakan akan mendaftar untuk mengurus status kewarganegaraan di Inggris. ”Saya masih sangat mencintai Hong Kong. Namun, saya akan mengurus ulang paspor BNO lebih dulu dan mengambil keputusannya setelah mengetahui secara detail,” katanya.
Hui Feng, analis politik Universitas Griffith, Australia, mengatakan, bertambahnya warga asal Hong Kong di Inggris akan membuat persaingan di pasar kerja menjadi lebih ketat. Pasar kerja di tengah pandemi yang sudah sangat ketat dikhawatirkan akan menciptakan masalah baru ketika warga Hong Kong mulai berdatangan.
”Tetapi, jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa mayoritas orang Inggris menyetujui keputusan pemerintah mengenai hal ini,” katanya kepada AFP.
Beijing sejauh ini belum bereaksi atas kebijakan-kebijakan yang ditawarkan kelima negara. Mereka memilih memfokuskan diri memperkuat cengkeraman atas kebebasan warga dengan menunjuk Zheng Yanxiong, Direktur Keamanan Nasional yang baru di Hong Kong.
Zheng sebelumnya menjabat Sekretaris Jenderal Komite Partai Komunis di Provinsi Guangdong. Ketika masih menjabat sebagai pemimpin partai di level kota, tindakannya terhadap warga desa yang menggugat kompensasi tanah kepada pemerintah dianggap sebagai tindakan kontroversial.
Sebagai Direktur Keamanan Nasional, dia akan bekerja sama dengan Luo Huining, yang kini didapuk menjadi Penasihat Keamanan Nasional Hong Kong. Huining adalah pejabat yang berkeras untuk menerapkan UU Keamanan Nasional di Hong Kong, yang mendapat dukungan penuh dari Beijing, setelah Carrie Lam gagal menerapkan UU Ekstradisi di wilayah ini. (AP/AFP/REUTERS)