Sejak dua bulan terakhir, terhitung setidaknya 878 babi mati di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Dugaan sementara, kematian ratusan babi ini disebabkan oleh penyakit demam babi afrika/”virus african swine fever” (ASF).
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sejak dua bulan terakhir, terhitung setidaknya 878 babi mati di Kota Palembang, Sumatera Selatan. Dugaan sementara kematian ratusan babi ini disebabkan oleh penyakit demam babi afrika/virus african swine fever (ASF). Hal ini membuat sejumlah sentra peternakan babi di Palembang tutup karena banyak peternaknya yang harus merugi.
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PHDI) Cabang Sumatera Selatan Jafrizal, Jumat (3/7/2020), mengatakan, sebenarnya kematian babi sudah mulai terlihat sejak Mei 2020, tetapi pihaknya baru mengetahui adanya kematian babi yang cukup banyak minggu hari terakhir. ”Hal ini terjadi karena para peternak lebih tertutup dan tidak melaporkan adanya kematian babi,” ujarnya.
Hal ini terkuak ketika ada informasi bahwa ampas tahu yang menjadi salah satu pakan babi volumenya melonjak. Penyebabnya, karena banyak babi mati. ”Dari informasi itu, baru kami melakukan penelusuran, termasuk memanggil pihak dari Balai Veteriner Lampung untuk menyelidiki fenomena tersebut,” ucapnya. Kamis (2/7), petugas dari balai Veteriner Lampung mengambil sampel di kandang para peternak yang babinya mati.
Kami pun hanya mengambil sampel berupa kotoran babi, darah, dan sejumlah hal yang masih bisa diteliti.
Ketika tim datang ke sejumlah kandang, ujar Jafrizal, kondisinya sudah kosong, tidak ada lagi babi di sana. ”Kami pun hanya mengambil sampel berupa kotoran babi, darah, dan sejumlah hal yang masih bisa diteliti,” katanya. Dari hasil laporan yang ada, jumlah babi yang mati mencapai 878 ekor.
Namun, dirinya memperkirakan jumlahnya bisa lebih dari itu, bahkan mencapai ribuan ekor. ”Ada peternak yang mengaku babinya mati sebanyak 20 ekor dan itu tidak terdata,” ucap Jafrizal. Kematian babi terjadi di beberapa tempat, yakni di Talang Buruk, Kecamatan Alang-Alang Lebar; Talang Keramat, Sei Hitam, Kecamatan Ilir Barat Satu, Palembang; dan Kecamatan Talang Kelapa, Banyuasin.
Virus demam
Saat ini proses pemeriksaan masih berlangsung, tetapi dugaan sementara kematian ratusan babi di Palembang ini disebabkan virus demam babi/african swine fever (ASF). Hal ini karena sebagian besar babi yang ada di Palembang didatangkan dari Sumatera Utara dan Lampung.
Seperti diketahui, pada awal 2020, ASF ini merebak di sejumlah provinsi, yakni Sumatera Utara, Bali, dan Batam. Ribuan babi pun mati. Gejala yang dialami oleh babi yang ada di Palembang hampir serupa.
Virus ini bisa menjangkit di semua usia babi, mulai dari yang kecil sampai yang sudah lebih tua. Berutung, virus ini tidak menular ke manusia. Masa inkubasinya sekitar 3-14 hari. Namun, biasanya waktu kematian babi bisa lebih cepat, yakni lima hari saja. Untuk bisa diternak lagi, ujar Jafrizal, kandang harus benar-benar steril. ”Kira-kira butuh waktu hingga tiga bulan, baru kandang tersebut bisa digunakan kembali untuk beternak,” katanya.
Hanya, ujar Jafrizal, pemerintah harus lebih ketat dalam proses pemeriksaan hewan yang masuk ke Palembang lantaran saat ini ada ancaman wabah flu babi baru (G4 EA H1N1) yang mulai merebak di China. Untuk virus ini, bisa menular ke manusia. Hal inilah yang perlu dicegah.
Menurut dia, saat ini perlu langkah kolaborasi dari semua pihak agar ancaman zoonosis (penyakit yang secara alami dapat menular dari hewan vertebrata ke manusia atau sebaliknya) dapat ditangkal. ”Pemeriksaan pada hewan yang masuk ke Palembang harus diperiksa secara ketat,” ucapnya.
Langkah ini tidak hanya kewajiban dokter hewan atau dinas peternakan, tetapi juga dinas lain, seperti perhubungan, kesehatan, atau bahkan kepolisian.
Kepala Dinas Peternakan dan Ketahanan Pangan Kota Palembang Sayuti mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil penelitian dari Balai Veteriner Lampung. Dari hasil pemeriksaan tersebut, baru pihaknya akan melakukan tindak lanjut. ”Kemungkinan hasilnya baru dapat diketahui satu minggu ke depan,” ucapnya.
Secara tertutup
Sayuti mengatakan, sampai sekarang pihaknya tidak memiliki data pasti mengenai jumlah peternak babi yang ada di Palembang karena biasanya peternakan ini berlangsung secara tertutup. ”Itulah sebabnya, ketika ada kematian babi massal ini, mereka juga tidak melapor,” ucapnya. Biasanya, mereka hanya membeli babi untuk pemotongan sehari-hari, bukan untuk diternakan.
Ayong, Warga Talang Buruk, Kecamatan Alang-Alang Lebar, Kota Palembang, membenarkan bahwa dua bulan lalu ada kematian babi secara massal di wilayahnya. ”Babi yang sudah mati dikubur dan ada juga yang dibakar. Kawasan ini sudah puluhan tahun menjadi sentra peternakan babi. ”Namun, baru tahun ini ada kematian babi secara massal,” ujarnya.
Biasanya, ujar Ayong, selain beternak babi, warga di Talang Buruk juga beternak ayam. Sisa dari pakan ayam itu kemudian diberikan kepada babi. ”Beternak babi hanya sebagai tabungan,” ucap Ayong. Namun, akibat wabah ini, banyak peternak memilih untuk berhenti membesarkan babi sebab sudah rugi besar karena kasus kematian babi secara mendadak.
Dia mengatakan, di kawasan ini sebagian besar warganya hanya melakukan pembesaran babi, bukan pengembangbiakan. ”Babi didatangkan dari Lampung dan Medan, kemudian dibesarkan di sini,” ucapnya.