Mengendalikan Jumlah Pengunjung Pasar, Menekan Penularan Covid-19
›
Mengendalikan Jumlah...
Iklan
Mengendalikan Jumlah Pengunjung Pasar, Menekan Penularan Covid-19
Pengaturan jumlah pengunjung pasar dan penumpang KRL menjadi kunci pencegahan penularan Covid-19, tetapi dengan syarat penerapan, pengawasan, dan penegakan kedisiplinan yang tegas.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Pasar tradisional dan kereta rel listrik dipetakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai dua wilayah paling rawan sebagai kluster penyebaran Covid-19.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (1/7/2020), mengungkapkan dua sektor ini memiliki persoalan yang pelik terkait pengelolaannya guna mengendalikan persebaran wabah di dalamnya. Ia mengatakan, jajaran Pemprov DKI Jakarta, Gugus Tugas Covid-19, dan pengelola pasar serta KRL melakukan rapat pada hari Kamis (2/7/2020) yang hingga pukul 18.00 belum menunjukkan ada kebijakan yang telah diambil.
Permasalahan utama terkait pasar, menurut Anies, ialah tidak efektifnya metode pembukaan kios ganjil genap yang sebelumnya diterapkan. Jumlah pengunjung pasar tidak berkurang. Para pedagang kios bernomor genap, misalnya, menitipkan jualan mereka kepada pedagang kios bernomor ganjil pada hari ganjil. Padahal, tujuan pemberlakuan ganjil genap untuk mengurangi jumlah pembeli yang datang setiap hari.
Sukarnya mengendalikan keramaian pasar mengakibatkan pasar menjadi kluster penularan virus korona baru. Total 19 pasar telah ditutup sementara karena pedagangnya terbukti positif mengidap Covid-19. Pemprov DKI Jakarta memetakan ada 153 pasar di bawah naungan Perusahaan Daerah Pasar Jaya dan 150 pasar rakyat berbasis komunitas.
Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto mengatakan, membatasi pedagang berjualan justru kontraproduktif karena pasar tradisional adalah tumpuan hidup mayoritas masyarakat. Pedagang keliling di permukiman, masyarakat dari kelompok ekonomi menengah ke bawah, dan para pedagang pasar itu sendiri bergantung penghidupannya pada pasar tradisional.
”Aspek yang harus diatur adalah jumlah pengunjung, bukan jumlah pedagang di pasar,” ujar pakar mikroekonometri ini.
Aspek yang harus diatur adalah jumlah pengunjung, bukan jumlah pedagang di pasar.
Para pedagang sejatinya duduk di kios masing-masing yang berjarak setidaknya 1 meter. Mereka juga tidak bersentuhan langsung dengan pembeli karena biasanya dipisahkan oleh meja atau rak barang. Para pedagang hendaknya ditertibkan agar mereka selalu bermasker. Kalau bisa, ditambah keharusan memakai perisai wajah dan sarung tangan.
Mengatur pengunjung memang sulit karena membutuhkan sumber daya manusia pengelola pasar dan aparat penegak hukum yang tidak sedikit, tetapi bisa dilakukan. Teguh mengemukakan cara dengan memperpanjang jam operasional pasar untuk setiap pedagang dari pagi hingga sore. Semua kios boleh dibuka dengan syarat mematuhi protokol perlindungan diri. Hal ini mencegah pedagang meluber ke trotoar.
Dalam jam operasional itu kemudian dibagi menjadi beberapa jadwal yang terdiri dari 1 jam hingga 1,5 jam. Setiap jadwal pengelola pasar hanya memperbolehkan jumlah pengunjung maksimal mencapai 50 persen dari kapasitas pasar. Pembukaan pasar hingga sore menjadi jaminan pengunjung yang datang berbelanja pada siang atau sore hari tidak akan kehabisan barang.
”Umumnya pengunjung yang berbelanja di pagi hari adalah para pedagang yang berjualan keliling di permukiman. Pembeli untuk kebutuhan rumah tangga biasanya datang pukul 09.00 ke atas. Mungkin bisa dibagi jadwalnya bahwa waktu subuh hingga pukul 09.00 hanya untuk pedagang keliling. Tentu dengan mensyaratkan semua pengunjung bermasker atau menerima konsekuensi pendisiplinan,” papar Teguh.
Walaupun jumlah pengunjung dibatasi setiap jadwal, pengelola pasar tetap harus berpatroli memastikan tidak ada penumpukan orang di kios-kios tertentu.
Teguh menerangkan, pasar rakyat berbasis komunitas biasanya melayani warga sekitar. Dalam hal ini, pemerintah bisa menjembatani dialog antara pengurus pasar dengan pengurus rukun warga (RW) dan rukun tetangga (RT) yang rutin berbelanja. Metode penjadwalan juga bisa diterapkan di permukiman. Misalnya, di satu pasar, warga RW 001 mendapat jadwal belanja pukul 07.00-08.30, setelah itu giliran warga RW 002, demikian seterusnya.
Dapat pula kesepakatan di RT dan RW bahwa warganya hanya berbelanja melalui pedagang yang berkeliling dengan gerobak. Jika membutuhkan produk tertentu, warga bisa memesan melalui pedagang keliling sehingga tidak perlu ke pasar.
Bekerja dari rumah
Sementara itu, David Tjahjana dari Komunitas Pengguna Kendaraan Umum serta mantan anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta, menjelaskan, kepadatan penumpang di KRL terjadi karena masyarakat masih harus melakukan pergerakan fisik, baik untuk bekerja maupun berdagang.
”Perlu diingat, KRL hanya alat. Akar masalahnya ialah kantor-kantor yang meminta pegawainya harus masuk kerja secara fisik. Kalau bisa, segala jenis pekerjaan yang bisa dilakukan dari jarak jauh dikerjakan dari tempat tinggal saja. Biar pekerja yang memang harus hadir secara fisik yang bergerak, misalnya tenaga kesehatan dan petugas keamanan,” ujarnya.
Perlu diingat, KRL hanya alat. Akar masalahnya ialah kantor-kantor yang meminta pegawainya harus masuk kerja secara fisik. Kalau bisa, segala jenis pekerjaan yang bisa dilakukan dari jarak jauh dikerjakan dari tempat tinggal saja.
Salah satu tempat kerja yang menerapkan cara ini adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Para pegawai yang tidak memiliki kendaraan pribadi dan biasanya memakai angkutan umum tidak diperkenankan ke kantor. Mereka diminta bekerja dari tempat tinggal masing-masing atau bisa mengunjungi unit-unit kerja LIPI terdekat apabila di rumah tidak ada koneksi internet.
Menurut David, solusinya bukan dengan membatasi jumlah dan jam operasional unit KRL, tetapi justru dengan menambahnya. Mirip dengan usulan Teguh, jam kerja KRL juga dibagi menjadi setiap jadwal keberangkatan. Bedanya, penumpang diminta memesan karcis KRL secara daring setidaknya pada malam sebelum keberangkatan. Karcis bisa untuk sekali jalan dan bisa untuk pulang pergi. Hal ini memastikan setiap gerbong tidak akan terisi penuh sehingga penumpang bisa menjaga jarak.
”Bisa dengan membuka kuota seperti 70 persen karcis dijual daring dan 30 persen dijual di kios-kios di stasiun,” katanya.