Tanggung Stigma Covid-19, Tenaga Kesehatan Dihantui Risiko Gangguan Jiwa
›
Tanggung Stigma Covid-19,...
Iklan
Tanggung Stigma Covid-19, Tenaga Kesehatan Dihantui Risiko Gangguan Jiwa
Tenaga kesehatan menjadi salah satu kelompok yang paling rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa akibat pandemi Covid-19. Ini terjadi karena masih ada stigma sosial pada mereka yang langsung menangani pasien.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
Meski dipuji dan dibanggakan karena disebut-sebut sebagai garda depan dalam penanganan Covid-19, ternyata tenaga kesehatan menjadi salah satu kelompok yang paling rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa akibat pandemi Covid-19. Ini terjadi karena masih ada stigma sosial pada mereka yang langsung menangani pasien.
Simak saja hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, yang dilakukan selama 30 hari sejak 30 April 2020, mendapati 21,7 persen orang dari 277 tenaga kesehatan yang diteliti merasa dijauhi oleh keluarga dan teman. Alasannya karena tenaga kesehatan tersebut bekerja di rumah sakit rujukan.
Dari ketakutan ini kemudian menyebabkan kecemasan dari tenaga kesehatan. Sebanyak 67,9 persen tenaga kesehatan merasa dirinya membahayakan keluarga. Selain itu, sebanyak 28,2 persen tenaga kesehatan merasa stigma dari masyarakat membuat mereka semakin buruk.
Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes Kementerian Kesehatan, Ika Saptarini mengatakan, minimnya informasi yang tepat yang diterima masyarakat berdampak pada timbulnya stigma sosial. Akibatnya, masyarakat pun sering takut pada kondisi yang tidak diketahuinya serta mengaitkan ketakutan itu dengan orang lain.
Stereotip yang menganggap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit rujukan pasti tertular Covid-19 sehingga mereka patut untuk dijauhi.
”Salah satu bentuk stigma sosial adalah munculnya prasangka dan stereotip. Kedua hal ini kerap diterima oleh tenaga kesehatan. Itu antara lain stereotip yang menganggap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit rujukan pasti tertular Covid-19 sehingga mereka patut untuk dijauhi,” katanya, Kamis (2/7/2020), di Jakarta.
Padahal, tambah Ika, pemahaman tersebut tidak benar dan justru dapat menyebabkan kecemasan bagi tenaga kesehatan. Atas dasar itulah, tidak sedikit tenaga kesehatan yang kemudian berhati-hati bercerita terkait profesinya, bahkan merahasiakan profesinya ketika berada di tengah masyarakat.
Stigma sosial yang dialami tenaga kesehatan ini bisa memicu terjadinya depresi
”Stigma sosial yang dialami tenaga kesehatan ini bisa memicu terjadinya depresi, Karena itu, pendampingan psikososial terhadap tenaga kesehatan terutama tenaga kesehatan yang langsung berhadapan dengan pasien Covid-19 menjadi sangat penting,” ujar Ika.
Peneliti Muda Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Magelang Leny Latifah menyampaikan, stigma sosial yang diterima oleh seseorang dapat memicu berbagai gangguan, mulai dari stres, depresi, kecemasan, hingga kekhawatiran yang berlebihan. Stigma sosial ini sangat berkaitan dengan perburukan pada kesehatan jiwa seseorang.
Meski begitu, sejumlah orang tidak sadar jika dirinya mengalami gejala gangguan kesehatan jiwa. Untuk itu, kampanye patuh protokol Covid-19 yang selalu disampaikan oleh pemerintah dan berbagai pihak lain harus disertai dengan kampanye kesadaran untuk mengatasi kecemasan dan stigmatisasi.
Berbagai sarana pendukung pun harus dilibatkan untuk meningkatkan kesadaran tersebut. Langkah itu di antaranya mendorong peran pondok pesantren, jaringan akar rumput seperti RT/RW, serta sarana kampanye melalui pesan singkat dan media sosial.
Reaksi psikologis
Kepala Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Diana menyampaikan, pada kondisi pandemi saat ini, masyarakat akan menunjukkan reaksi psikologis tertentu yang perlu diantisipasi. Reaksi itu ditunjukkan melalui kepanikan massal yang muncul karena masyarakat harus menyelamatkan kehidupannya masing-masing. Kepanikan ini dapat memicu tindakan merusak dan panic buying.
Kepanikan massal juga bisa terjadi pada seseorang yang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19. ”Pada dasarnya, gangguan kesehatan jiwa yang dialami seseorang bisa diatasi dengan cara memastikan kebutuhan dasarnya terpenuhi, yakni terkait makanan dan tempat tinggal. Jika kebutuhan dasar sudah dipenuhi, kebutuhan sosial dan kenyamanan diri bisa terbentuk dengan baik,” tuturnya.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti Muda Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Balitbangkes Kementerian Kesehatan Rofingatul Mubasyiroh. Dari 2.800 responden yang diteliti melalui kuesioner daring, sebagian besar masyarakat mencemaskan kondisi kesehatan dan ekonomi mereka di masa pandemi Covid-19.
Sebanyak 66,3 persen masyarakat cemas akan kesehatan diri dan keluarganya serta 84 persen merasa cemas akan kondisi ekonomi yang dialami. Kecemasan ini menyebabkan 54,8 persen responden depresi karena merasa tidak mampu menghadapi kesulitan di masa pandemi.
”Untuk itu, edukasi dan promosi kesehatan jiwa perlu ditingkatkan lagi ke seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai isi pesan, antara lain tentang gejala gangguan kesehatan jiwa, cara mengatasinya, dan cara untuk mencari pertolongan,” kata Rofingatul.