Dua Pekan Lagi, WHO Dapatkan Hasil Uji Klinis Obat Korona
›
Dua Pekan Lagi, WHO Dapatkan...
Iklan
Dua Pekan Lagi, WHO Dapatkan Hasil Uji Klinis Obat Korona
Di tengah optimisme yang ada, WHO juga mengungkapkan terganggunya rantai pasokan global. Hal itu sangat berpengaruh pada kinerja para pekerja medis. Banyak pekerja medis kesulitan mendapatkan alat pelindung diri.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
GENEVA, SABTU — Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan, WHO akan mulai mendapatkan hasil uji klinis atas calon obat Covid-19 yang lebih efektif untuk merawat para pasien penyakit itu dalam dua pekan mendatang. Pernyataan optimistis WHO itu disertai dengan seruan agar negara-negara di dunia tetap waspada dan tidak meremehkan penanganan atas kondisi pandemi saat ini.
”Hampir 5.500 pasien di 39 negara sejauh ini telah direkrut ke dalam Uji Solidaritas,” kata Tedros dalam sebuah jumpa pers di Geneva, Swiss, Jumat (3/7/2020). Ia merujuk pada uji klinis yang sedang dilakukan oleh WHO. ”Kami mengharapkan hasil sementara dalam dua pekan mendatang.”
Uji Solidaritas terdiri dari lima bagian dengan melihat kemungkinan pendekatan pengobatan atas Covid-19. Hal itu meliputi perawatan standar, remdesivir, hidroklorokuin, obat anti-malaria yang digembar-gemborkan oleh Presiden AS Donald Trump; obat HIV lopinavir/ritonavir, dan lopanivir/ritonavir yang dikombinasikan dengan interferon.
Pada awal bulan ini, WHO menghentikan uji coba terhadap hidroklorokuin. Langkah itu diambil setelah penelitian menunjukkan pemberian obat itu tidak menunjukkan manfaat bagi para penderita Covid-19. Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan kemungkinan obat itu efektif sebagai obat pencegahan.
Sementara itu, Kepala Program Kedaruratan WHO Mike Ryan mengatakan, tidak bijaksana untuk memprediksi kapan vaksin bisa siap untuk melawan Covid-19. Di depan sejumlah anggota Asosiasi Wartawan PBB di Geneva (Geneva Association of United Nations Correspondents/ACANU) di kantor PBB, Geneva, Ryan mengatakan bahwa saat ini disebut-sebut terdapat satu calon vaksin Covid-19 yang efektif dan diproyeksikan tersedia pada akhir tahun ini.
Namun, Ryan memastikan bahwa sejauh ini belum ada vaksin bagi Covid-19. Ada 18 kandidat potensial yang tengah diujicobakan pada manusia. Upaya penemuan obat dan vaksin yang efektif dalam penanganan Covid-19 itu dilakukan dengan mendasarkan diri pada riset dan ilmu pengetahuan.
Gangguan pasokan alat medis
Ryan menyesalkan kondisi yang terjadi akibat pandemi, khususnya terganggunya rantai pasokan global. Hal itu diakuinya sangat berpengaruh pada kinerja para pekerja medis. Terganggunya rantai pasokan global mengakibatkan banyak pekerja medis kesulitan mendapatkan alat pelindung diri. Padahal, alat pelindung diri sangat esensial untuk mencegah penularan virus bagi para pekerja medis.
”Saya menyesal bahwa tidak ada akses yang adil dan dapat diakses pada alat-alat terkait penanganan Covid. Saya menyesal bahwa beberapa negara memiliki lebih dari yang lain, dan saya menyesal bahwa pekerja garis depan meninggal karena hal itu,” katanya.
Ryan pun mendesak negara-negara untuk melanjutkan upaya penanganan pandemi. Identifikasi kluster atau kelompok kasus baru, melacak orang yang terinfeksi, dan mengisolasi mereka terus diperlukan guna membantu memutus rantai penularan virus. Ia mendorong negara-negara juga bersatu padu dan menghindari sikap bersaing atau bertengkar dalam penanganan pandemi.
”Orang-orang perlu bangun. Data tidak bohong. Situasi di lapangan tidak bohong,” kata Ryan.
Covid-19 terus menyebar secara global. Penyakit itu telah menyerang setidaknya 10,8 juta orang dan menewaskan 521.000 warga di seluruh dunia. Benua Amerika adalah wilayah yang paling terpukul sejauh ini. Sebagian besar kasus dan kematian tercatat di Amerika Serikat. Peningkatan jumlah kasus dan kematian akibat pandemi itu juga meroket di beberapa negara di kawasan Amerika Latin.
Ditanya tentang situasi yang mengerikan di negara-negara, seperti Brasil dan Meksiko, Ryan memperingatkan bahwa ”terlalu banyak negara mengabaikan apa yang dikatakan data kepada mereka”. ”Ada alasan ekonomi yang masuk akal bahwa negara-negara perlu mengembalikan perekonomian mereka,” katanya. ”Hal itu dapat dimengerti, tetapi Anda juga tidak bisa mengabaikan masalahnya. Masalahnya tidak akan hilang secara ajaib.”
Ryan melihat negara-negara yang menghadapi ledakan jumlah kasus tetap memiliki beberapa pilihan penanganan. Ia menegaskan, ”Tidak pernah ada kata terlambat dalam epidemi untuk mengambil kendali atas sebuah situasi.” Ryan menyarankan, alih-alih menutup total seluruh wilayah negara, negara-negara perlu mencoba memecahkan aneka persoalan yang dihadapi dengan lebih bijaksana.
Ia menyebutkan, misalnya, dimungkinkan saja melonggarkan pembatasan di daerah dengan tingkat penularan rendah. Namun, langkah itu harus tetap diimbangi dengan kebijakan pemberlakuan jarak fisik, mencuci tangan, pengujian, mengisolasi kasus, dan melacak kontak.
Ryan juga mengingatkan, tidak disarankan bagi daerah-daerah dengan penyebaran Covid-19 untuk melonggarkan kewaspadaan. Akibatnya bisa fatal. ”Jika negara melanjutkan pembukaan wilayah tanpa kapasitas untuk mengatasi kemungkinan beban kasus, Anda berakhir dalam skenario terburuk,” ujarnya.
”Jika sistem kesehatan tak mampu mengatasinya, lebih banyak orang akan mati,” kata Ryan.
Ia menyebutkan, antara lain, langkah penanganan di Brasil sebagai contoh. Dengan 1,5 juta kasus positif Covid-19, Ryan melihat jumlah kenaikan kasus di negara itu cenderung mulai stabil. Rumah-rumah sakit di negara itu tidak mengalami kewalahan menampung dan merawat para pasien penyakit itu.
”Kami ingin melihat mereka meningkatkan upaya dan meraih lebih banyak kemajuan,” kata Ryan. ”Kami juga harus mengapresiasi sistem kesehatan di Brasil atas kapasitasnya untuk mengatasi sesuatu yang menjadi perjuangan panjang melawan penyakit ini.” (AFP/REUTERS)