Implementasi Seleksi Jalur Zonasi Belum Berjalan Mulus
Sengkarut penerimaan peserta didik belum tuntas diselesaikan. Pemerintah pusat dan daerah perlu duduk bersama harus mencari solusi.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengakui, implementasi kebijakan seleksi penerimaan peserta didik baru jalur zonasi tidak akan langsung berjalan mulus sejak diterapkan tahun 2017. Kebijakan ini memerlukan ketersediaan kuantitas dan kualitas sekolah secara merata.
”(Barangkali) implementasi jalur zonasi baru lima tahun mendatang akan smooth. Jalur zonasi mengubah kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang sudah berjalan bertahun-tahun. Artinya, pelaksanaan jalur zonasi mengubah pola pikir,” ujar Pelaksana Tugas Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Chatarina Muliana Girsang dalam diskusi daring ”Hitam-Putih PPDB”, Sabtu (4/7/2020), di Jakarta.
Penyebutan lima tahun mengikuti masa jabatan kepemimpinan kepala daerah. Selama kurun waktu tersebut, kepala daerah dituntut kesadarannya memetakan kebutuhan sarana prasarana sekolah. Ini juga bagian dari komitmen menyediakan layanan pendidikan bagi warganya.
Dia menjelaskan, Kemendikbud menyusun petunjuk umum seleksi jalur zonasi harus mendekatkan anak kepada sekolah. Batas minimal daya tampung siswa dari jalur zonasi juga diatur dalam Peraturan Mendikbud. Sementara teknis detail penetapan zonasi diserahkan oleh pemerintah daerah.
Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Nisa Felicia berpendapat pentingnya pemerintah daerah dan pusat mengangkat paradigma keadilan sosial sesungguhnya dalam isu seleksi PPDB jalur zonasi. Selama ini, keadilan sosial untuk pendidikan dimaknai berbeda antara kelompok keluarga menengah atas dan menengah ke bawah.
Bagi kelompok keluarga menengah atas, keadilan seleksi jalur zonasi berarti anak mereka yang pintar bisa diterima di sekolah negeri. Sementara bagi keluarga menengah ke bawah, keadilan berarti bisa masuk sekolah negeri karena biayanya murah.
Makna keberpihakan dalam seleksi jalur zonasi harus dibaca netral.
”Makna keberpihakan dalam seleksi jalur zonasi harus dibaca netral. Selain DKI Jakarta, ada berbagai daerah pernah menerapkan seleksi jalur zonasi dengan ’akal-akalan’. Misalnya, menambahkan kriteria nilai ujian dan rapot,” katanya.
Untuk sengkarut PPDB di DKI Jakarta, Nisa menyampaikan, hasil seleksi jalur zonasi untuk SMA ditemukan data bahwa hanya tiga orang dari seluruh calon siswa berusia di atas 17 tahun. Lalu, homogen latar belakang siswa sudah terlihat di beberapa SMA, seperti asal SMP dan status sosial orangtua semakin beragam.
Menyoroti sengkarut PPDB di DKI Jakarta, Chatarina memandang ada tidak kesesuaian SK Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta No 501/2020 dengan Permendikbud No 44/2019. Salah satunya adalah minimal daya tampung siswa jalur zonasi yang seharusnya 50 persen sesuai Permendikbud No 44/2019, tetapi DKI Jakarta memutuskan 40 persen.
”Tidak bisa dikurangi. Kalau menambah daya tampung, berarti mereka (Dinas Pendidikan DKI Jakarta) harus mengurangi kuota di jalur prestasi. Permendikbud No 44/2020 mengarahkannya demikian,” katanya.
Kabag Hubungan Masyarakat Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) Aang Witarsa saat dihubungi terpisah mengatakan, secara prinsip Kemendagri bersedia menjadi jembatan komunikasi antara Kemendikbud dan dinas pendidikan. Kemendagri akan selalu proaktif menanyakan bantuan ataupun fasilitasi yang bisa dilakukan Kemendagri sebagai upaya penyelesaian sengkarut PPDB.
Sebelumnya, tanggal 3 Juli 2020, Ratu Yunita Ayu, salah satu orangtua murid yang tergabung dalam Paguyuban Orangtua Siswa Korban PPDB DKI 2020, mengatakan, paguyuban memiliki empat tuntutan kepada Pemerintah Provinsi cq Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Pertama adalah menuntut agar segera melakukan PPDB ulang, khususnya jalur zonasi pada tingkat SMP dan SMA, dan melakukan revisi Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta No 501/2020 yang tidak sesuai dengan Permendikbud No 44/2019. Letak ketidaksesuaian itu adalah kriteria seleksi berdasarkan jarak dan tempat tinggal peserta didik ke sekolah dan kuota jalur zonasi minimal 50 persen dari total daya tampung sekolah.
Tuntutan kedua adalah segera melakukan revisi sistem PPDB secara daring. Jika diperlukan, pemerintah provinsi dapat berkonsultasi dengan pakar teknologi informasi dari pemerintah daerah lain yang sudah dapat membuat sistem daring.
Tuntutan ketiga adalah meminta Pemerintah Provinsi cq Dinas Pendidikan DKI Jakarta agar segera mungkin melaksanakan PPDB ulang atau PPDB kedua, khususnya jalur zonasi. Apabila dirasa perlu, pelaksanaan seleksi PPDB jalur afirmasi juga diulang.
Keempat, bagi peserta didik yang telah diterima pada PPDB pertama tetapi tidak diterima pada PPDB ulang atau PPDB kedua, tanpa adanya unsur kesengajaan dengan tidak mendaftar ke sekolah terdekat pada PPDB ulang itu, Pemerintah Povinsi cq Dinas Pendidikan Provinsi DKI JAKARTA harus menyalurkan ke sekolah lain di wilayah zonasi yang sama. Opsi lainnya, pemerintah daerah memberikan kompensasi beasiswa selama tiga tahun bagi peserta didik tersebut.
Pengurus Serikat Guru Indonesia untuk DKI Jakarta, Afdhal, berpendapat, desakan sejumlah orangtua murid di DKI Jakarta untuk membatalkan PPDB yang ada dan melakukan PPDB ulang tidak rasional. Desakan itu akan menciptakan diskriminasi baru terhadap siswa. Sekitar 31.011 siswa telah diterima di SMP negeri. Sekitar 12.684 orang siswa diterima di SMA negeri.
Siswa yang sudah diterima akan cemas, kecewa, dan depresi.
”Konflik horizontal di antara orangtua berpotensi terjadi. Siswa yang sudah diterima akan cemas, kecewa, dan depresi,” ujarnya.
Afdhal sepakat substansi SK Kepala Dinas DKI Jakarta No 501/2020 perlu disesuaikan dengan Permendikbud No 44/2019. Hanya saja, upaya menyesuaikan dalam kurun waktu mendekati tahun ajaran baru 2020/2021 sangat tidak rasional.
Dia menduga kuota PPDB zonasi tahap pertama sudah mencapai 40 persen dari daya tampung sekolah. Ditambah lagi, Dinas Pendidikan DKI Jakarta telah menambah zonasi bina RW dengan menambahkan kuota empat orang per kelas. Dengan demikian, seleksi jalur zonasi di DKI Jakarta telah menyentuh 50 persen dari daya tampung sekolah.
Jika pada seleksi PPDB jalur zonasi, jumlah calon peserta didik melebihi kuota di sekolah yang menerima, maka sekolah tersebut harus melapor ke dinas pendidikan. Dinas kemudian harus menyalurkan ke sekolah lain dalam wilayah zonasi yang sama.
Apabila sekolah dalam zonasi yang sama juga sudah memenuhi kuota, maka dinas dengan segala kewenangannya menyalurkan ke zonasi terdekat dari rumah calon siswa. Jika kuota sekolah zonasi terdekat sudah penuh, maka dinas harus melibatkan sekolah yang dikelola oleh masyarakat sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh pemerintah daerah.
”Hanya saja, hal yang menjadi permasalahan adalah persepsi orangtua terhadap sekolah swasta, mulai dari uang pembayaran mahal sampai mutu sekolah swasta yang mahal. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu melakukan tindakan inklusif atau tindakan penyetaraan terhadap sekolah swasta dan terhadap calon siswa,” kata Afdhal.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menyampaikan, Komisi X juga merekomendasikan pembatalan SK Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta No 501/2020, tetapi ini rekomendasi terakhir. Artinya, Komisi X DPR RI berharap Kemendikbud bersama dinas pendidikan bisa bersama-sama mencari jalan keluar terbaik untuk menuntaskan sengkarut PPDB di DKI Jakarta.
”Kemendagri punya peran ikut membantu menuntaskan sengkarut. Artinya, pembatasan suatu surat keputusan kepala dinas pendidikan bisa dilakukan melalui Kemendagri sehingga tidak harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. Masih ada waktu untuk menyelesaikan sengkarut, apalagi pelaksanaan kelas di tahun ajaran baru 2020/2021 berlangsung secara daring,” katanya.
Baca juga: Pemahaman Beragam jadi Sumber Masalah