”Tak ada orang yang mampu sendiri membangun sesuatu yang besar. Jadi, harap peka pada perjuangan orang lain. Mempertahankan hak-hak mereka. Dan merintis sebuah dunia baru yang lebih adil dan merata.”
Oleh
R William Liddle
·4 menit baca
Tanggal 16 Mei lalu, mantan Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyampaikan secara virtual dua pidato yang menggugah hati saya pada dua upacara wisuda. Yang pertama dialamatkan kepada dan menghormati semua wisudawan dan wisudawati 101 Historically Black Colleges and Universities atau HBCU, perguruan tinggi di seluruh Amerika yang didirikan untuk memberi perhatian khusus pada warga Amerika-Afrika.
Leluhur mereka dibawa ke Amerika selaku budak. Sejak diemansipasikan 1865, mereka terus menderita akibat diskriminasi di hampir semua negara bagian, terutama daerah bekas pemberontak di selatan. Nasib mereka kini lebih baik, berkat perjuangan orang Amerika-Afrika, serta respons pemerintah pusat sejak 1965. Presiden Lyndon Johnson dan Kongres meloloskan sejumlah undang-undang yang mengubah posisi pemerintah pusat dari lawan ke pelindung/pembantu, setidaknya lebih sering dari sebelumnya.
Namun, tak berarti orang Amerika-Afrika bisa bernapas lega. Mereka masih didiskriminasikan di hampir semua sektor kehidupan, termasuk pendidikan dan pekerjaan. Contoh nyata, yang juga disinggung Obama: pembunuhan Ahmaud Arbery ketika tengah joging di Georgia oleh bekas polisi kulit putih tanpa alasan jelas.
Pidato kedua dialamatkan kepada tamatan SMA di seluruh Amerika dari semua jenis warna dan etnisitas. Acara itu diciptakan bintang bola basket LeBron James dan sebagian besar diisi hiburan dari pemain ternama idola muda-mudi, diakhiri dengan wejangan Obama. Menonton dua acara itu, saya melihat dengan terang benderang gaya dan substansi kepemimpinan Obama.
Menonton dua acara itu, saya melihat dengan terang benderang gaya dan substansi kepemimpinan Obama.
Pidato pertama menekankan sumbangan dan pengorbanan komunitasnya sendiri, orang Amerika-Afrika, terutama kontribusi selama 100 tahun lebih universitas-universitas mereka. Pidato kedua ditujukan kepada semua tamatan SMA. Namun, tema intinya sama: semua komunitas perlu bekerja sama demi kemajuan bangsa.
Tegasnya, Amerika bukan sebuah bangsa yang terdiri hanya dari sejumlah suku bangsa. Lebih dasar, ia manfaatkan diversitas itu demi sesuatu yang serba baru. Dalam hal itu, Indonesia memperlihatkan genius yang sama.
Kepada orang Amerika-Afrika, Obama bilang: ”Mari kita bicara jujur—penyakit seperti Covid-19 betul-betul menyoroti betapa dalamnya ketidakmerataan historis dan beban tambahan yang dipikul masyarakat Amerika-Afrika. Ketidakadilan seperti ini tak baru. Yang baru, begitu banyak anggota angkatan Anda sudah bangkit dan sedang mencari solusi-solusi baru.”
Tiga gagasan
Lalu, dia menawarkan tiga gagasan yang perlu dilaksanakan oleh angkatan mereka. Pertama, mulai dengan grassroots, yaitu mencari akar dalam komunitas-komunitas aktual dengan anggota dan pemimpin lokal. Wejangan itu mengingatkan saya pada riwayat Obama sendiri. Ia mulai sebagai aktivis lokal di Chicago, setelah itu masuk politik lokal, lalu nasional.
Kedua, ”Anda tak bisa berhasil sendiri. Sebagai orang Amerika-Afrika, kita lebih peka pada ketidakadilan, ketidakmerataan, dan perjuangan. Tetapi, kita memerlukan sekutu, orang-orang dan golongan-golongan yang termarjinalisasi dan dicambuki diskriminasi.”
Obama lalu menyebutkan beberapa golongan yang perlu dirangkul: para imigran, pengungsi, orang miskin di desa, komunitas LGBTQ, pekerja gaji rendah dari semua latar belakang, serta perempuan yang juga menderita oleh diskriminasi. Ia memuji pejuang hak sipil Fanny Lou Hamer, yang bertutur: ”Tidak ada orang yang bebas kalau semua orang tidak bebas.”
Kepada tamatan SMA, nada Obama lebih ringan. Ia tak bicara banyak tentang orang Amerika-Afrika. Namun, tema intinya sama: kita perlu berjuang dan berkorban demi kemajuan bangsa. ”Pandemi ini telah mengubah drastis pengertian kita tentang berbagai masalah: ketidakmerataan ekonomi yang menonjol, kesenjangan ras yang tak teratasi, kekurangan luar biasa dalam pelayanan kesehatan masyarakat.”
Alangkah sedihnya, pengganti Obama tak meneruskan gaya dan substansi yang masih amat diperlukan bangsa Amerika.
Gagasannya juga tiga. Pertama, jangan takut. Amerika sudah sering mengalami masa-masa sulit, dan setiap kali berhasil keluar lebih kuat. Kedua, berbuat apa yang Anda anggap benar. Sayangnya, sejumlah tokoh, termasuk yang menikmati jabatan tinggi dan pekerjaan penting, belum mengerti makna kejujuran. Dan terakhir, membangun sebuah komunitas.
”Tak ada orang yang mampu sendiri membangun sesuatu yang besar. Jadi, harap peka pada perjuangan orang lain. Mempertahankan hak-hak mereka. Dan merintis sebuah dunia baru yang lebih adil dan merata.” Alangkah sedihnya, pengganti Obama tak meneruskan gaya dan substansi yang masih amat diperlukan bangsa Amerika. Malah dia mengkhianatinya.
(R William Liddle, Pemenang Anugerah Kebudayaan 2018; Profesor Emeritus Ilmu Politik Ohio State University)