Di Jakarta saja belum transparan prosedur peningkatan mutu pendidikan. Sekolah-sekolah swasta dibiarkan berjalan sendiri.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Pemerataan mutu sekolah belum dilihat ataupun dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Minimnya sekolah yang bermutu membuat orangtua berebut memasukkan anak ke sekolah negeri yang berakibat kekisruhan menahun saat penerimaan peserta didik baru.
Hal itu mengemuka dalam diskusi virtual mengenai penerimaan peserta didik baru (PPDB) DKI Jakarta yang tidak kunjung berakhir permasalahannya pada Jumat (3/7/2020). Apabila pada 2019 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai melenceng dari aturan zonasi yang dikeluarkan pemerintah pusat melalui seleksi siswa baru dengan memakai nilai ujian nasional, sekarang melenceng karena menggunakan umur. Padahal, aturan zonasi tegas menyatakan pertimbangan penerimaan siswa adalah jarak atau bisa juga radius tempat tinggal mereka dari sekolah.
”Masalah selesai apabila masyarakat melihat di lingkungan sekitar mereka ada sekolah ataupun madrasah yang menyediakan pendidikan bermutu. Saat ini, dikotomi pendidikan di Indonesia ataupun di Jakarta ialah sekolah negeri yang standarnya dijamin oleh pemerintah, sekolah swasta bermutu dengan harga selangit, dan sekolah swasta kecil yang terseok-seok. Tentu saja masyarakat berbondong-bondong ke sekolah negeri,” papar Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdullah Ubaid Matraji.
Pada 30 Juni, Kepala Dinas Pendidikan Jakarta Nahdiana mengumumkan bahwa jalur zonasi ditambah kuotanya dengan memakai jalur zona RW (rukun warga) binaan sekolah. Ini pun masih memakai umur anak sebagai patokan seleksi. Anak dengan usia lebih tua memiliki kesempatan lebih besar diterima. Akibatnya, anak-anak dengan usia muda berisiko tidak mendapatkan sekolah negeri.
Selain zonasi, ada jalur prestasi yang menyeleksi siswa berdasarkan nilai rapor. Pada jalur ini, akreditasi sekolah asal siswa sangat menentukan. Nahdiana menjelaskan, alasannya karena akreditasi mencerminkan mutu pemelajaran di sekolah.
”Nilai 8 di sekolah yang berakreditas A tentu lebih sukar didapat dibandingkan nilai 8 di sekolah berakreditasi B, C, ataupun yang belum terakreditasi,” katanya.
Nilai 8 di sekolah yang berakreditas A tentu lebih sukar didapat dibandingkan nilai 8 di sekolah berakreditasi B, C, ataupun yang belum terakreditasi.
Data Disdik Jakarta mengungkapkan, tahun ini daya tampung di SMP negeri adalah 46 persen dari total lulusan SD sederajat. Di SMA dan SMK secara kumulatif lebih kecil, yakni 32 persen dari lulusan SMP sederajat. Artinya, mayoritas lulusan SD dan SMP harus masuk sekolah swasta yang mutunya beragam.
Rachmawaty, relawan yang membantu para orangtua di Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, melakukan PPDB, mengutarakan, kebijakan akreditasi itu pukulan berat bagi anak-anak miskin. Mereka umumnya bersekolah di satuan pendidikan swasta yang berakreditasi B ke bawah karena orangtua tidak memiliki biaya memasukkan mereka ke sekolah yang lebih baik ataupun tidak diterima di sekolah negeri.
Anak yang lulus dari SD swasta kecil karena tidak bisa masuk ke SD negeri kian rendah kesempatan masuk SMP negeri. Mereka berisiko terdepak di jalur zonasi jika usia lebih muda dan lolos jalur prestasi nyaris mustahil mengingat sekolah asalnya tidak bonafide.
Ia mengungkapkan, zonasi sekolah di Kelurahan Kenari mencakup RW-RW yang tidak memiliki penduduk karena telah menjadi wilayah perkantoran dan perdagangan. ”Bisakah pemerintah mengecualikan wilayah perniagaan supaya zonasi murni untuk wilayah permukiman?” ujarnya.
Bisakah pemerintah mengecualikan wilayah perniagaan supaya zonasi murni untuk wilayah permukiman.
Ubaid memaparkan, penilaian berbasis akreditasi baru adil jika pemerataan mutu pendidikan berjalan dengan baik dan benar. Tujuan kebijakan zonasi ialah memastikan setiap sekolah memiliki murid dengan kemampuan beragam, tidak hanya menyeleksi siswa dengan kompetensi kognitif yang baik. Akan tetapi, hal ini harus dilanjutkan dengan pemerataan penyebaran guru, pelatihan guru yang berkesinambungan, pengembangan konten pemelajaran, dan kelengkapan sarana.
Terlebih, sistem akreditasi sekolah di Indonesia masih berbasis pengisian oleh orang atau petugas. Belum memperhatikan proses belajar yang terjadi. Pantauan JPPI mengungkapkan bahwa sekolah dengan jumlah guru cukup, laboratorium, dan lapangan olahraga lengkap belum tentu maksimal pemanfaatannya sehingga pemelajaran yang terjadi juga tidak efektif.
”Di Jakarta saja belum transparan prosedur peningkatan mutu pendidikan. Sekolah-sekolah swasta dibiarkan berjalan sendiri,” ucap Ubaid.
Sekolah dengan yayasan penyokong yang besar lebih mudah meningkatkan mutu, tetapi sekolah yang kecil berjuang mati-matian. Apalagi, pandemi Covid-19 mengakibatkan sekolah-sekolah swasta mulai gulung tikar.