Kasus Pelecehan Seksual Lewat CCTV di Starbucks, Cermin Kerentanan Perempuan
›
Kasus Pelecehan Seksual Lewat ...
Iklan
Kasus Pelecehan Seksual Lewat CCTV di Starbucks, Cermin Kerentanan Perempuan
Kasus pelecehan seksual yang terjadi di gerai kopi waralaba Starbucks di Jakarta baru-baru ini menunjukkan kerentanan perempuan sebagai obyek seksual. Hukum yang berlaku sekarang seakan tidak bisa melindungi korban.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejadian yang menimpa VA, perempuan pelanggan kedai kopi Starbucks, mencerminkan kerentanan perempuan sebagai obyek seksual. Posisi perempuan serba tidak menguntungkan karena hukum yang berlaku belum sepenuhnya berpihak pada korban.
Pelecehan terhadap pelanggan kedai kopi ini bermula dari unggahan video dari kamera pengawas atau CCTV di salah satu kedai kopi Starbucks di Sunter, Jakarta Utara. Dalam video tersebut tampak ada pegawai yang tengah menunjukkan gambar CCTV salah seorang pelanggan yang tengah duduk di sudut kedai kopi tersebut. Dalam rekaman video yang kemudian viral di media sosial itu, terlihat salah seorang di antara pegawai tersebut mencoba memperbesar gambar video pada bagian tubuh pelanggan tersebut.
Menurut Kepala Polres Jakarta Utara Komisaris Besar Polisi Budhi Herdi Susianto dalam keterangan pers, Jumat (3/7/2020), ”peristiwa tidak menyenangkan” yang dialami VA ini terjadi pada Rabu (1/6/2020) petang. Bagian tubuhnya diintip oleh seorang barista berinisial KH melalui kamera pengawas atau CCTV.
Aksi KH kemudian direkam oleh rekannya, DD, dan diunggah di media sosial. Unggahan tersebut viral. Polisi pun mendatangi dan memeriksa kedai kopi itu. Pada akhirnya, KH dan DD diringkus polisi.
”Dari hasil penyelidikan, kami menduga ada tindak pidana di peristiwa tersebut sehingga kami lanjutkan menjadi penyidikan. Ada tersangka yang harus bertanggung jawab atas viralnya video itu, yakni DD. Dia yang berperan sebagai pembuat (video) dan yang mengunggahnya ke media sosial,” kata Budhi.
Pihak Starbucks melalui akun resmi Twitter mereka, @SbuxIndonesia, mengakui memang terjadi insiden yang membuat pelanggannya tidak nyaman. Starbucks Indonesia pun telah memecat pegawai mereka yang terlibat insiden ini.
Polisi lalu menetapkan DD sebagai tersangka. Polisi menjerat DD dengan Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ia terancam hukuman enam tahun penjara. Sementara itu, KH, barista yang mengintip melalui CCTV, berstatus sebagai saksi.
Menurut Komisioner Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Peremuan) Siti Aminah saat dihubungi pada Sabtu (4/7/2020), kejadian yang menimpa VA termasuk pelecehan seksual. Aksi mengintip yang dilakukan KH termasuk sebagai pelecehan non-fisik.
Menurut Komnas Perempuan dalam 15 Bentuk Kekerasan Seksual, pelecehan non-fisik termasuk bersiul, main mata, mengatakan ucapan bernuansa seksual, menunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, mencolek; serta memberi gerakan atau isyarat bersifat seksual sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, hingga menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
”Pelecehan seksual kini berkembang. Pelecehan non-fisik lainnya, antara lain, mengintip, sexting (sex texting), dan pelecehan melalui gestur tubuh,” kata Siti.
Kendati termasuk pelecehan seksual, posisi tawar (bargaining power) VA sebagai korban lemah. Itu karena hukum yang berlaku sekarang belum mengatur tentang pelecehan non-fisik. Yang termasuk dalam kekerasan seksual menurut hukum saat ini baru mencakup perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan.
”Kekosongan hukum itulah yang mau dijawab oleh Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS),” kata Siti.
Definisi kekerasan seksual pada RUU PKS lebih luas dibandingkan hukum yang ada sekarang. Sedikitnya ada sembilan jenis kekerasan yang diatur dalam RUU PKS, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, dan perbudakan seksual.
Pelaku bisa dijerat denggan UU ITE karena menyiarkan konten asusila. Padahal, esensinya berbeda dengan pelecehan. Itu bukan konten asusila, tapi menunjukkan bahwa perempuan menjadi obyek seksual laki-laki.
RUU PKS bukan hanya mendefinisikan kekerasan seksual dengan lebih luas, tetapi juga akan mendorong aturan yang terintegrasi dengan penanggan dan pencegahan kekerasan seksual. Pemulihan korban pun termasuk di dalamnya.
”VA sebagai korban pelecehan seksual sulit untuk melapor karena hukumnya belum ada (untuk aksi mengintip). Pelaku bisa dijerat denggan UU ITE karena menyiarkan konten asusila. Padahal, esensinya berbeda dengan pelecehan. Itu bukan konten asusila, tapi menunjukkan bahwa perempuan menjadi obyek seksual laki-laki,” kata Siti.
RUU PKS mendesak
Pengesahan RUU PKS dinilai mendesak untuk melindungi semua orang dari potensi kejahatan seksual. Namun, DPR mengusulkan untuk menarik sejumlah Rancangan Undang-Undang dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020, termasuk RUU PKS.
Pada rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (30/6/2020), sebanyak 13 RUU diusulkan agar ditarik dari Prolegnas 2020. Pandemi Covid-19 menjadi alasan DPR menurunkan target penyelesaian RUU dalam Prolegnas 2020. RUU yang ditarik dari Prolegnas 2020 dapat dimasukkan kembali ke Prolegnas 2021.
”Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan mendorong agar DPR melaksanakan komitmennya untuk dengan sungguh-sungguh membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di tahun 2021 demi kepentingan terbaik korban kekerasan seksual, khususnya perempuan,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andi Yentriyani (Kompas, 2/7/2020).