Peternak di Palembang Tertutup, ASF Masih Mengancam
›
Peternak di Palembang...
Iklan
Peternak di Palembang Tertutup, ASF Masih Mengancam
Pemerintah Kota Palembang masih kesulitan dalam mendata jumlah pasti kasus kematian babi di Palembang. Hal ini karena para peternak sangat tertutup dalam memberikan informasi. Risiko virus ini mewabah kian besar.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pemerintah Kota Palembang, Sumatera Selatan, masih kesulitan dalam mendata jumlah pasti kasus kematian babi di Palembang. Hal ini karena peternak sangat tertutup dalam memberikan informasi. Kondisi ini dikhawatirkan akan mimicu lebih banyak kasus kematian babi dan berdampak pada kesehatan lingkungan atau kerugian para peternak itu sendiri.
”Kebanyakan peternak babi mengaku mereka hanya dititipkan babi untuk kemudian akan disembelih, bukan untuk diternak,” ucap Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Palembang Novayanti, Sabtu (4/7/2020). Tertutupnya para peternak babi ini berdampak pada baru diketahuinya kematian 878 ekor babi pada beberapa hari terakhir, padahal kasusnya sudah terjadi sejak dua bulan lalu.
Kamis (2/7/2020), petugas dari Balai Veteriner Lampung datang ke Palembang untuk mengambil sampel guna memeriksa penyebab kematian babi di Palembang. Ada indikasi kematian babi ini disebabkan virus demam babi afrika/african swine fever (ASF).
Kebanyakan peternak babi mengaku mereka hanya dititipkan babi untuk kemudian akan disembelih, bukan untuk diternak. (Novayanti)
Ketakutan ini cukup beralasan karena sudah sejak lama peternakan babi dilarang beroperasi di Kota Palembang. Ada surat edaran Wali Kota Palembang terkait larangan peternakan babi yang diterbitkan pada masa kepemimpinan Wali Kota Palembang Eddy Santana Putra. ”Ini merupakan hal yang sangat sensitif sehingga peternak cenderung lebih tertutup,” ucapnya.
Padahal, jika saja peternak lebih terbuka, kematian babi di Palembang bisa segera diantisipasi. ”Pasti akan ada bantuan untuk mencegah kematian seperti pemberian vaksin atau vitamin,” ungkap Novayanti.
Hingga kini, menurut Novayanti, pihaknya masih menunggu hasil pemeriksaan dari Balai Veteriner Lampung. Dari hasil penelitian tersebut, pemerintah akan mengambil tindakan lanjutan, termasuk kemungkinan menyetop pasokan bibit babi dari daerah asal.
Dari Medan
Untuk di Palembang, babi kebanyakan didatangkan dari Medan (Sumatera Utara) dan Lampung. Kedatangan Balai Veteriner Lampung ini juga untuk menyangkal dugaan bahwa virus ASF ini berasal dari Lampung.
Seperti diketahui, awal tahun 2020 lalu, ASF pernah terjadi di Medan dan Lampung. Puluhan ribu ekor babi pun mati. Jika benar kematian babi di Palembang akibat ASF, tentu pemerintah akan mengimbau peternak menyetop pasokan bibit babi dari daerah tersebut.
Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PHDI) Cabang Sumsel Jafrizal mengatakan, kuat dugaan babi yang mati di Palembang disebabkan oleh ASF. Memang penyakit ini tidak menular ke manusia, hanya saja kematian babi ini akan berdampak pada kerugian para peternak itu sendiri.
Dugaan itu muncul karena berdasarkan keterangan sejumlah peternak, ada beberapa gejala layaknya ASF, seperti demam tinggi hingga 41 derajat celsius, pendarahan akibat pecahnya pembuluh darah, dan menurunnya nafsu makan.
Walau ada kasus kematian babi, ujar Jafrizal, sampai saat ini masih ada peternak yang memelihara babi, tetapi dengan jumlah yang lebih sedikit.
”Dulu ada peternak babi yang memelihara sampai 100 ekor babi dalam satu kandang, sekarang jumlah babi yang dipelihara jauh lebih sedikit,” ucapnya.
Dalam proses pemeliharaan, mereka mengandalkan dokter hewan swasta memang tetutup karena ada larangan beternak babi. Kebanyakan peternakan babi memang berada di sebuah komunitas tertentu sehingga jarang ada pertentangan di wilayah itu.
”Namun, karena mereka masih warga Palembang, keberadaan para peternak ini harus dilindungi termasuk ancaman dari kerugian akibat kematian babi,” ungkap Jafrizal.
Joni, warga Talang Buruk, Kecamatan Alang-Alang Lebar, mengatakan, saat ini banyak warga yang kapok memelihara babi setelah kematian massal babi tersebut. Mereka takut merugi lebih banyak lagi. Kasus kematian babi memang kerap terjadi, dan itu menjadi risiko. ”Namun, kematian babi sebanyak ini baru pertama kali terjadi,” ungkap Joni.