Sumut Masih Daerah Wabah ASF, Peternak Diminta Tidak Masukkan Ternak Baru
›
Sumut Masih Daerah Wabah ASF, ...
Iklan
Sumut Masih Daerah Wabah ASF, Peternak Diminta Tidak Masukkan Ternak Baru
Peternak babi di Sumatera Utara diminta tidak memasukkan ternak baru karena masih berstatus daerah wabah demam babi Afrika (”African swine fever”/ASF). Peternak mulai tergiur harga jual yang naik.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Peternak babi di Sumatera Utara diminta tidak memasukkan ternak baru dari daerah lain karena masih berstatus daerah wabah demam babi Afrika (African swine fever/ASF). Sejumlah peternak mulai tergiur memasukkan ternak karena harga jual yang naik. Pemerintah diminta melakukan langkah percepatan penanganan ASF yang kini meluas ke Kepulauan Nias.
”Hingga kini Sumut masih berstatus sebagai daerah wabah ASF. Kami meminta peternak rakyat beralih sementara sampai wabah ini bisa ditanggulangi dan Sumut dinyatakan bebas ASF,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara Azhar Harahap, Sabtu (4/7/2020).
Hingga kini Sumut masih berstatus sebagai daerah wabah ASF. Kami meminta peternak rakyat beralih sementara sampai wabah ini bisa ditanggulangi dan Sumut dinyatakan bebas ASF.
Azhar mengatakan, wabah ASF di Sumut sudah sempat reda melihat jumlah kematian yang menurun. Namun, dalam dua bulan belakangan, Kepulauan Nias mulai terjangkit ASF dan kematian massal pun terjadi.
Menurut Azhar, wabah ASF diduga masuk ke Nias melalui daging babi hutan yang dikirim dari Sumatera Barat melalui jalur tidak resmi. Kematian ternak babi di daerah itu pun mencapai 16.060 ekor pada Mei dan 2.060 ekor pada Juni. ”Melihat jumlah kasus kematian yang terus menurun, kami perkirakan wabah ASF di Nias sudah mulai mereda,” katanya.
Azhar mengatakan, populasi babi di Kepulauan Nias sangat penting karena mencakup 465.000 ekor atau 38 persen dari 1,22 juta ekor populasi babi di Sumut. Nias pun sebelumnya direncanakan menjadi daerah restocking atau daerah yang menyuplai bibit baru ke Sumut karena masih bebas ASF. ”Namun, dengan statusnya yang sudah terjangkit ASF, Nias tidak bisa lagi menjadi daerah restocking,” katanya.
Di daerah lainnya di Sumut, kata Azhar, wabah ASF sudah mereda karena pengurangan populasi yang terjadi secara alami, baik karena dikonsumsi maupun karena kematian akibat wabah. Azhar pun meminta agar peternak tetap menerapkan protokol penanganan wabah, seperti penutupan lalu lintas ternak, tidak saling mengunjungi kandang, tidak bertukar peralatan, dan menyemprot kandang dengan disinfektan.
Wabah ASF sebelumnya mulai masuk ke Sumut sejak September 2019. Sumut merupakan daerah pertama yang terjangkit ASF di Indonesia. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendeklarasikan wabah ASF di Sumut 12 Desember.
Hendri mengatakan, banyak peternak yang mencoba memasukkan kembali ternak baru melihat harga yang sudah mulai merangkak naik. Saat wabah mulai merebak, harga babi di tingkat peternak sempat anjlok hingga Rp 10.000 per kilogram karena konsumsi masyarakat yang menurun.
Saat ini, harga ternak babi mencapai Rp 30.000 per kilogram karena permintaan yang meningkat dan pasokan yang menurun. ”Pasokan babi di Sumut saat ini masih mencukupi, tetapi pada Desember ini kami perkirakan terjadi kekurangan pasokan,” kata Hendri.
Menurut Hendri, produksi babi dari daerah peternakan rakyat, yakni Kabupaten Deli Serdang, Karo, Dairi, Humbang Hasundutan, Samosir, Toba, Tapanuli Utara, dan Simalungun, kini menurun drastis. Pasokan babi kini lebih banyak dari peternak skala menengah di Langkat, Serdang Bedagai, dan Tanjung Balai.
Andri Siahaan (34), peternak rakyat di Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Deli Serdang, mengatakan, hingga kini ia belum berani berternak kembali setelah 50 ternaknya mati. Namun, beberapa peternak di desanya itu sudah mulai memasukkan bibit baru karena tergiur harga jual yang naik.
”Namun, beberapa peternak yang memasukkan bibit baru kini merugi kembali karena ternaknya mati terjangkit ASF,” kata Andri.