Selain angka kesakitan dan kematian, penyakit akibat virus korona ini memberikan tekanan yang sangat besar terhadap ekonomi dunia.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Memasuki bulan ketujuh, pandemi Covid-19 telah menginfeksi lebih dari 11 juta warga dunia, 524.614 orang di antaranya meninggal. Ketika setidaknya 137 negara menerapkan karantina wilayah penuh atau sebagian dan 141 negara membatasi pergerakan warganya di dalam negeri untuk mengendalikan pandemi, aktivitas ekonomi global pun terhenti.
Pada pertengahan Mei lalu, Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan, kerugian ekonomi global akibat pandemi Covid-19 bisa mencapai 2,8 triliun dollar AS sampai 8,8 triliun dollar AS. Prediksi kerugian terendah mengasumsikan karantina wilayah dilakukan selama tiga bulan dan prediksi tertinggi dihitung dengan asumsi karantina wilayah berlangsung selama enam bulan.
”Analisis terbaru ini merupakan gambaran besar potensi kerugian ekonomi dari Covid-19,” kata Kepala Ekonomi ADB Yasuyuki Sawada. Prediksi ini juga menekankan pentingnya intervensi kebijakan dalam memitigasi kerugian ekonomi.
Adapun Bank Dunia dalam laporannya, Global Economic Prospects, Juni 2020, memperkirakan kontraksi produk domestik bruto (PDB) global tahun 2020 sebesar 5,2 persen. Ini merupakan resesi global terdalam selama delapan dekade.
Sistem pelayanan kesehatan di banyak negara berada dalam tekanan yang luar biasa besar. Malah ada sebagian yang sudah kewalahan menampung pasien Covid-19. Di luar ekonomi dunia yang berdarah-darah, beban ekonomi langsung setiap negara juga timbul dari besarnya biaya perawatan pasien Covid-19.
Bagi negara seperti Amerika Serikat yang memiliki kasus Covid-19 terbanyak di dunia (2,7 juta pasien) dan biaya kesehatan yang mahal, bisa terbayang beban ekonomi langsung dari perawatan pasien Covid-19.
Pada April, Larry Levitt, Wakil Presiden Eksekutif Kebijakan Kesehatan di Kaiser Family Foundation, dan timnya memberikan gambaran lebih konkret besaran biaya kesehatan yang dibayarkan kepada rumah sakit yang merawat pasien Covid-19.
Levitt mengasumsikan, biaya perawatan pasien Covid-19 yang tidak parah relatif sama dengan diagnosis infeksi pernapasan dan peradangan dengan penyakit penyerta. Tahun 2017, untuk diagnosis ini, Medicare rata-rata membayarkan 13.297 dollar AS (Rp 193,7 juta) per pasien kepada rumah sakit.
Adapun biaya perawatan pasien Covid-19 yang lebih parah mirip dengan diagnosis sistem pernapasan dengan bantuan ventilator lebih dari 96 jam. Rata-rata klaim yang dibayarkan oleh Medicare 40.218 dollar AS (Rp 586 juta).
Berdasarkan Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security (CARES) Act Pasal 3710 besaran klaim biaya perawatan pasien Covid-19 di AS ditetapkan lebih besar 20 persen dari klaim diagnosis serupa.
Sebenarnya, sebelum ditambahkan 20 persen, besaran klaim yang dibayarkan Medicare tadi hanya sekitar separuh dari yang dibayarkan oleh asuransi swasta untuk diagnosis yang sama. Dengan begitu, bisa dibayangkan betapa besarnya tagihan rumah sakit yang akan diterima pasien yang tidak memiliki asuransi sama sekali.
Namun, Public Health Informatics, Computational, and Operations Research (PHICOR) City University of New York Graduate School of Public Health and Health Policy (CUNY-SPH) menghitung, karena mayoritas orang positif dengan gejala Covid-19 tidak perlu dirawat di rumah sakit, median biaya yang diperlukan selama infeksi virus korona adalah 3.045 dollar AS (Rp 44,3 juta) per orang.
CUNY-SPH bersama lembaga kolaboratornya juga melakukan pemodelan jumlah biaya kesehatan di AS untuk merawat pasien Covid-19. Hasilnya, jika 20 persen penduduk AS terinfeksi Covid-19, total biaya perawatan yang dibutuhkan selama masa infeksi 163,4 miliar dollar AS. Apabila biaya perawatan setahun sesudah keluar rumah sakit ditambahkan, jumlahnya jadi 214,5 miliar dollar AS.
Sementara apabila 80 persen penduduk AS terinfeksi, kebutuhan biaya perawatannya naik jadi 654 miliar dollar AS.
”Hasil ini menunjukkan apa yang akan terjadi jika pembatasan dilonggarkan terlalu cepat,” kata Prof Bruce Y Lee, Direktur Eksekutif PHICOR CUNY-SPH seperti dilaporkan Eurekalert.
Oleh karena itu, ketika pelonggaran dengan alasan ekonomi dilakukan saat infeksi masih tinggi, hal itu akan membawa risiko melonjaknya kasus yang justru membawa potensi beban ekonomi.
Sementara itu, di Korea Selatan, mengutip data National Health Insurance Service (NHIS), Pulse News melaporkan bahwa rata-rata biaya perawatan pasien Covid-19 kritis 57.562 dollar AS, pasien yang perlu ruang perawatan intensif 9.971 dollar AS, dan pasien dengan gejala ringan 3.985 dollar AS.
Studi itu juga memperlihatkan rata-rata biaya perawatan pasien dengan gejala ringan 150 dollar AS-216 dollar AS sehari. Sementara biaya perawatan pasien para bisa mencapai 541 dollar AS per hari. Pemerintah Korea Selatan menanggung semua biaya perawatan pasien positif Covid-19.
Tetapi, secara total, biaya medis bagi 13.000 lebih pasien Covid-19 dan pasien penyakit lainnya yang dikeluarkan pemerintah Korea Selatan hanya 310 juta dollar AS.
Dalam wawancara eksklusif dengan Asia Times, Presiden Badan Penilaian dan Pengkajian Asuransi Kesehatan Korea Selatan Kim Sun-min menyampaikan, ”Ini penyakit yang relatif murah. Penyakit lain membutuhkan teknologi canggih, seperti pencitraan resonansi magnetik (MRI) dan bedah..., Covid-19 tidak.”
Karena tidak ada terapi atau obat yang sepenuhnya efektif dalam tata laksana Covid-19, mayoritas pasien tidak butuh ventilator ”yang mahal”. ”Menempatkan pasien di bangsal isolasi bertekanan negatif sangat penting.”
Setelah wabah sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) tahun 2015, Korea Selatan berinvestasi memperkuat kapasitas pelayanan kesehatannya. Salah satunya adalah membangun ruang perawatan bertekanan negatif. Saat ini terdapat lebih dari 1.000 ruang perawatan bertekanan negatif di Korea Selatan.
Sebenarnya, beban ekonomi akibat pandemi tidak berhenti pada biaya intervensi kesehatan masyarakat, perawatan pasien positif, atau kerugian akibat aktivitas ekonomi yang terdisrupsi. Potensi pendapatan yang hilang akibat menurunnnya produktivitas karena meninggal dini, sakit, dan disabilitas juga perlu dikuantifikasi untuk melihat beban ekonomi secara komprehensif.
Untuk itulah, setiap negara sebaiknya cermat berhitung agar kebijakan pelonggaran pembatasan memberikan efek yang diharapkan tanpa harus memunculkan risiko melonjaknya kasus yang kembali membebani ekonomi.