Normal Baru dan Waktu untuk ”Build Back Better”
Pandemi Covid-19 adalah waktu yang tepat untuk menerapkan strategi pembangunan "Build Back Better" di Indonesia.
Menapaki normal baru, Indonesia memerlukan pemulihan pembangunan dengan menerapkan konsep ”Build Back Better”. Namun, mewujudkan konsep untuk memulihkan ekonomi, sosial dan menjaga kelestarian lingkungan tersebut bukanlah hal mudah.
Indonesia memilih opsi kehidupan normal baru untuk beradaptasi bersama virus yang belum bisa diatasi, sembari melanjutkan kehidupan ekonomi dan sosial yang sempat terhenti karena pembatasan berskala besar.
Pilihan kebijakan tersebut belumlah cukup untuk melanjutkan pembangunan karena hanya solusi jangka pendek. Indonesia juga memerlukan kebijakan komprehensif jangka menengah dan panjang untuk mengatasi tantangan dan agenda pembangunan lainnya.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam webinar ”Pemulihan Ekonomi & Sosial Pasca-Covid-19 Melalui Pembangunan Rendah Karbon” menyebutkan perlunya Normal Baru dengan konsep ”Build Back Better”. Konsep membangun kembali lebih baik tersebut untuk menghadapi tantangan mempertahankan kebijakan rendah karbon pasca-pemulihan Covid-19, sekaligus mempertahankan momentum agenda pembangunan berkelanjutan 2030.
Konsep ”Build Back Better”, menurut paparan Bappenas, diadopsi dari pemulihan pasca-bencana. Tujuannya untuk menghindari terjadinya kondisi kerentanan semula (yang lama) dan menjadikan proses pemulihan sebagai transformasi sosial, ekonomi, dan lingkungan menuju arah yang lebih baik.
Konsep Build Back Better bukan hal yang baru. Konsep ini mulai diperkenalkan pasca-bencana tsunami di kawasan Samudra Hindia 2006. PBB menawarkan 10 rencana utama untuk membangun kembali lebih baik sebagai upaya pemulihan pasca-bencana. Di antaranya, pemulihan harus mengutamakan keadilan dan kesetaran, pemerintah harus meningkatkan kesiapan menghadapi bencana di masa depan, serta pemulihan yang baik harus membuat masyarakat lebih aman dengan mengurangi risiko dan membangun ketahanan.
Selama ini, menurut Bappenas, pembangunan pasca-bencana adalah business as usual. Rekonstruksi pasca-bencana hanya fokus pada perbaikan fisik, pemulihan cepat yang terkadang meningkatkan kembali kerentanan di masyarakat. Disebutkan pula oleh Wisner (2004) dalam paparan tersebut, kerentanan muncul sebagai kurangnya kapasitas untuk mencegah, beradaptasi dan memulihkan diri dari dampak bencana.
Selanjutnya, Build Back Better dipakai untuk pemulihan Aceh pasca bencana tsunami. Terakhir, konsep ini juga dipakai untuk pemulihan bencana tsunami dan likuifaksi Palu-Donggala. Bappenas dan JICA mengusung konsep ”Build Back Better, Safer and Sustainable for Resilient Indonesia” dalam ”Master Plan for the Rehabilitation and Reconstruction of the Affected Regions in the Central Sulawesi”.
Pembangunan Rendah Karbon
Pasca-bencana wabah Covid-19, pemerintah mendorong pembangunan rendah karbon dalam menerapkan konsep Build Back Better. Prioritas kebijakan alokasi dan penggunaan anggaran pada masa pemulihan didorong dalam kerangka pertumbuhan ekonomi rendah karbon.
Di antaranya, mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon yang inklusif, adil, dan tangguh; meningkatan bauran penggunaan energi bersih; serta investasi dalam penanggulangan perubahan iklim berbasis alami. Selain itu, mendorong mobilitas yang bersih-sehat serta transformasi infrastruktur dan bangunan rendah karbon. Terakhir adalah mendukung transisi sektor industri menuju rendah karbon.
Pembangunan rendah karbon ini memberi kabar baik pada manfaat ekonomi dan sosial dalam jangka panjang. Mengutip dari laman WRI-Indonesia, aksi iklim yang tegas dapat menghasilkan manfaat ekonomi global sebesar 26 trilliun dollar AS sampai dengan 2030, dibandingkan dengan jika tidak ada perubahan yang dibuat. Manfaat ekonomi ini termasuk 65 juta pekerjaan rendah karbon baru di tahun 2030, setara dengan keseluruhan tenaga kerja di Inggris dan Mesir .
Bagaimana dengan di Indonesia? Masih merujuk pada laman WRI-Indonesia, Bappenas telah mengidentifikasi jalur pertumbuhan rendah karbon yang melampaui komitmen iklimnya saat ini. Diperkirakan akan menghasilkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata lebih dari 6 persen per tahun sampai 2045.
Pada 2045, manfaat yang akan muncul, antara lain, 15 juta kesempatan kerja tambahan yang lebih ramah lingkungan dengan tingkatan gaji yang lebih tinggi, mempercepat pengurangan kemiskinan, serta memberikan manfaat lainnya bagi kesetaraan gender dan daerah.
Bappenas mencontohkan salah satu implementasi konsep ”Membangun Kembali Lebih Baik” yang telah dilakukan. Salah satunya, rehabilitasi mangrove di lahan bekas tambang timah menjadi kawasan ekowisata. Rehabilitasi tersebut telah memberikan manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial bagi lingkungan sekitarnya.
Pemulihan Ekonomi
Pembangunan rendah karbon dalam semua aspek secara menyeluruh adalah pertarungan yang sudah berlangsung lama. Pasca-pandemi Covid-19 ini saat semua kebijakan ekonomi difokuskan pada penanggulangan wabah dan memacu pertumbuhan ekonomi setelah masa pembatasan sosial.
Bappenas dalam paparan ”Dampak Covid-19 terhadap Pembangunan & Respons Pemerintah dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan” menyebutkan, Rencana Kerja Pemerintah 2021: mempercepat pemulihan ekonomi dan reformasi sosial.
Pemerintah akan berfokus pada empat hal, yakni pertama adalah pemulihan industri, pariwisata, dan investasi termasuk penguatan sistem ketahanan pangan. Fokus berikut adalah reformasi sistem kesehatan nasional, ketiga sistem perlindungan sosial, dan keempat adalah reformasi sistem ketahanan bencana.
Anggaran negara tahun 2021 difokuskan untuk pemulihan ekonomi pasca-Covid-19. Hal ini berarti anggaran untuk penanganan perubahan iklim dikhawatirkan berkurang atau bahkan tidak ada. Pos anggaran pengendalian kebakaran hutan dan lahan, misalnya, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dipangkas hampir 40 persen (Kompas, 10/06/2020).
Padahal, upaya pengendalian perubahan iklim ini cukup penting bagi Indonesia. Perubahan iklim memiliki keterkaitan dengan kepentingan ketahanan nasional bagi Indonesia. Selain itu, menjamin kehidupan yang layak dan lingkungan hidup yang sehat bagi masyarakat.
Meski demikian, ada beberapa alokasi dalam Pemulihan Ekonomi Nasional sebesar Rp 695,2 triliun yang bisa dimanfaatkan untuk dukungan investasi ramah lingkungan. Alokasi sebesar Rp 18,4 triliun bisa digunakan untuk dukungan padat karya kementerian/Lembaga untuk adaptasi perubahan iklim (Kompas, 10/06/2020).
Itu baru tantangan awal dari sisi kebijakan yang memang tidak bisa disalahkan jika harus memulihkan kembali perekonomian Indonesia. Masih ada sejumlah tantangan lainnya dari sektor transportasi, energi, limbah, dan sektor kehutanan.
Tantangan
Konsep ”Build Back Better” dalam transportasi adalah pembangunan transportasi umum yang dapat memberikan manfaat penciptaan lapangan kerja dan menurunkan emisi. Namun, pada masa normal baru, penggunaan transportasi publik akan menurun.
Hal tersebut didasari oleh aturan Kemenkes yang menyarankan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan angkutan umum. Alasannya, untuk menghindari paparan virus korona di dalam moda umum. Menurut Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 (BPS, 2020), 83 persen masyarakat juga menghindari penggunaan transportasi umum, termasuk transportasi daring pada masa pandemi ini.
Baca juga: ”Tantangan Normal Baru pada Perubahan Lingkungan”
Bappenas telah mempunyai strategi menjawab isu tersebut dengan pengelolaan operasional dan sistem baru yang memanfaatkan penggunaan Intelligent Transport System dan menerapkan protokol kesehatan.
Meski demikian, konsep di atas kertas tersebut tidaklah mudah diwujudkan di masa pandemi ini. Ketidakpercayaan masyarakat pada angkutan umum yang dianggap sebagai salah satu tempat penyebaran virus sebaiknya dijawab juga dengan pengaturan jam kerja dari setiap kantor/perusahaan untuk menghindari antrean dan berdesakan dalam moda umum.
Masih terkait meningkatnya penggunaan moda pribadi, juga memberikan tantangan pada penggunaan energi dalam konsep ”Build Back Better”. Energi fosil diperkirakan akan meningkat kembali karena penggunaan moda pribadi juga dengan bangkitnya ekonomi pasca-Covid-19 untuk mengejar pertumbuhan.
Energi yang digunakan dalam pembangunan rendah karbon adalah energi baru terbarukan (EBT) yang mampu menurunkan emisi gas rumah kaca dan efisiensinya mampu memberikan dampak ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan dengan penggunaan energi fosil.
Selanjutnya ”Membangun kembali lebih baik” untuk pengelolaan limbah. Pengelolaan sampah menurut Bappenas terintegrasi dari hulu sampai hilir menuju circular economy. Caranya mengoptimalkan pemilahan sampah dari sumber didukung dengan sarana prasarana pengumpulan yang lebih baik. Hal ini didukung dengan upaya penguatan kelembagaan dan kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah.
Namun, sekali lagi konsep pengelolaan limbah yang ideal di atas kertas tersebut mendapatkan tantangan di masa pandemik ini. Konsumsi sampah plastik meningkat volume dibandingkan sebelumnya.
Aktivitas di rumah membuat belanja daring meningkat. Belanja daring memicu penggunaan plastik sebagai bahan pembungkus. Faktor kekhawatiran penggunaan pembungkus plastik akan menambah risiko terpapar virus juga membuat sampah plastik dibuang tanpa diolah terlebih dulu.
Belum lagi masalah limbah medis yang sudah pasti meningkat. Limbah medis yang dihasilkan rumah tangga, seperti masker ataupun bekas tisu yang mengandung droplet juga menjadi permasalahan tersendiri.
Apalagi adanya penggunaan sabun dan detergen yang sangat masif selama masa pandemi. Masa pandemi membuat kita untuk rutin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
Juga dengan imbauan untuk segera mencuci pakaian setelah keluar dari rumah. Etty Riani, akademisi IPB dalam webinar ”Kota Sehat yang Tangguh dan Berkelanjutan dalam Tatanan Kehidupan Baru” menyebutkan, penggunaan sabun, detergen, dan air selama masa wabah yang beberapa kali lipat dari biasa berpotensi menurunkan kualitas (pencemaran) dan kuantitas air.
Konsep ”Build Back Better” melalui pembangunan rendah karbon diharapkan dapat membangun kembali Indonesia pasca-pandemi secara berkelanjutan dan jangka panjang. Namun, tak mudah mewujudkan konsep ideal tersebut pada masa transisi ini. (LITBANG KOMPAS)