Tanpa Perlindungan Negara, Luka Mereka Kian Dalam
Kasus kekerasan seksual pada 20-an anak di Depok menegaskan negara ini butuh UU PKS. Program Legislatif Nasional sejak 2016, tetapi hingga 2020 tak juga disahkan DPR. Negara tak hadir melindungi korban kekerasan seksual.
Penarikan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari Program Legislatif Nasional 2020 oleh DPR menambah lama proses meraih pemenuhan hak perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasaan seksual.
Sebagai pendamping korban kekerasan seksual, aktivis, dan sekaligus penyintas kekerasan seksual, perasaan Helga Inneke campur aduk mendengar kabar DPR menarik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislatif Nasional (Proglenas) 2020.
”Saya survivor kekerasan seksual, jujur masih agak emosional dan depresi ketika tahu RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas 2020. Meski saya juga pendamping korban, mendengar hal itu buat saya seperti trauma kembali,” lirih Helga, Sabtu (4/7/2020).
Helga menilai, lambatnya pembahasan RUU PKS dari 2016 hingga sekarang yang tak kunjung ketuk palu memperlihatkan negara dalam hal ini DPR tak serius melindungi anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual dan termasuk kelompok rentan lainnya. Ketidakserius negara melukai hak dan keadilan bagi korban.
”Salah satu poin di RUU PKS ialah hak rehabilitasi bagi korban hingga tuntas. Hak ini sebagai bentuk perlindungan korban. Hak rehabilitasi harus ada karena selama ini tak ada di peraturan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, RUU PKS sangat penting segera disahkan menjadi Undang-undang,” kata Helga.
Helga melanjutkan, pentingnya pengesahan RUU PKS karena dampak kekerasan seksual terhadap korban dan penyintas rentan mengalami trauma psikologis atau post-traumatic stress disorder (PTSD). Untuk itu perlu rehabilitasi hingga tuntas.
Oskar (24), salah satu korban kekerasan seksual di rumah ibadah di Depok, Jawa Barat, mengatakan, meski sudah terbuka menceritakan pengalaman pahitnya 12 tahun yang lalu kepada orangtua dan lingkungan sosial, rasa trauma dan takut masih tetap ada.
Baca juga: Selama 12 Tahun Memendam Rahasia Kekerasan Seksual
”Akhirnya setelah 12 tahun memendam peristiwa pahit itu, saya memberanikan diri untuk cerita. Saya tak pernah lupa peristiwa itu, makanya saya membutuhkan pendampingan psikolog dan suster untuk rehabilitasi. Saya masih takut, takut trauma itu kembali muncul, dalam hati ada ketakutan saya menjadi seperti pelaku,” kata Oskar.
Oskar pun menilai, RUU PKS yang semakin larut tak dibahas dan disahkan menegaskan ketidakpedulian negara terhadap kelompok rentan dan korban. Penuntasan rehabilitasi sangat dibutuhkan dan dijamin oleh negara sebagai bentuk kepedulian dan perlindungan. Jika RUU PKS tak kunjung disahkan, anak-anak dan perempuan semakin masuk dalam kerentanan kekerasan seksual. Begitu pula para korban dan penyintas kehilangan hak keadilan dan perlindungan dari negara.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Veryanto Sitohang mengatakan, Komnas Perempuan kecewa DPR menarik RUU PKS dari Prolegnas 2020. Hal itu menunjukkan komitmen pemerintah yang minim dan lemah terhadap perlindungan kepada korban kekerasan seksual.
Ia menilai, anak-anak dan perempuan memiliki kerentanan terhadap kekerasan seksual. Untuk itu, korban berhak mendapat pemulihan, perlindungan, dan keadilan. Tak hanya itu, perlu ada efek jera bagi pelaku tindak kejahatan seksual agar di masa mendatang tidak terjadi kasus serupa.
”Seharusnya dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang sudah terjadi selama ini, salah satunya kekerasan seksual pada anak di Depok, DPR melihat urgensi RUU PKS untuk segera disahkan. Korban perlu memiliki hak perlindungan,” ujar Veryanto.
Seharusnya, dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang sudah terjadi selama ini, salah satunya kekerasan seksual pada anak di Depok, DPR melihat urgensi RUU PKS untuk segera disahkan. Korban perlu memiliki hak perlindungan.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan pada 2020, ada sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang 2019. Angka tersebut naik 6 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 406.178.
Sementara laporan kekerasan terhadap perempuan di ranah publik dan komunitas berjumlah 3.062 kasus. Sebanyak 58 persen di antaranya kasus kekerasan seksual perkosaan, disusul oleh pelecehan seksual, dan pencabulan.
”Dari catatan tersebut, kami berharap tidak ada lagi penundaan pengesahan RUU PKS. Padahal, RUU sudah dirancang Komnas Perempuan sejak 2012, disusun drafnya pada 2014, hingga masuk sebagai RUU Prolegnas sejak 2016. Namun, kini RUU itu tak kunjung disahkan DPR, justru ditarik dari Prognas 2020. Alasan penundaan karena pandemi Covid-19 sungguh tak logis. Jadi, pada 2021, DPR wajib memasukan RUU PKS menjadi agenda prioritas, tidak bisa ditunda, kita kawal bersama,” kata Veryanto.
Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Sulistiowati Irianto, mengatakan, RUU PKS mendesak disahkan karena sistem peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum memadai melindungi korban. Seperti KUHP yang dinilai belum mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat supaya merasa aman dari kekerasan seksual.
RUU PKS hadir sebagai lex specialis dari KUHP yang hanya mengatur mengenai perkosaan dan pencabulan. Di KUHP ada pasal yang bersifat progresif, tetapi ada juga yang masih memberikan celah bagi korban terutama anak-anak tidak mendapat perlindungan.
Sulistiowati memberi contoh kasus kekerasan seksual pada anak di bawah umur di rumah ibadah di Depok tidak memiliki kemampuan atas namanya sendiri di depan hukum. Oleh karena itu, perlu ada perisai hukum yang melindungi anak-anak, terutama ketika berhadapan dengan hukum. Perisai hukum itu salah satunya ada dalam RUU PKS yang hingga saat ini tak jua disahkan.
Baca juga: Bela dan Tuntas Lindungi Korban Kekerasan Seksual
Sulistiowati menjelaskan, dalam upaya perlindungan kepada korban hingga penegakan hukum, ada kesulitan dalam pembuktian. Di dalam hukum acara masih ada pasal-pasal yang menyulitkan korban yang harus membuktikan tindak kekerasan seksual. Korban, keluarga korban, atau pendamping korban harus menyajikan pembuktian tersebut berupa bentuk fisik (visum et repertum dan visum psikiatrikum).
Beban pembuktian tersebut, menurut Sulistiowati, tentu sukar disajikan di persidangan karena faktor psikologis, trauma, dan rasa malu korban untuk pulih bisa memakan waktu lama sehingga tidak bisa langsung melapor dan melakukan visum. Seperti dalam hukum pidana, Pasal 285 KUHP menjadi parameter penegak hukum melihat kekerasan seksual harus ada pemaksaan dan penetrasi.
Padahal, menurut Sulistiowati, pemaksaan tidak perlu terjadi jika ada relasi kuasa. Oleh karena itu, penegak hukum perlu memahami relasi kuasa yang menimpa anak-anak.
”Perlu waktu bagi korban untuk berani bicara dan ada yang bersedia mendengarkannya. Jadi, kalau dilakukan visum, kejadiannya sudah lewat, dan jika dibawa ke pengadilan, bisa kalah. Di sini perlindungan terhadap anak hilang. Ini kritik kita terhadap sistem peradilan konvensional yang tidak memastikan keadilan bagi korban kekerasan seksual,” ujar Sulistiowati.
Tidak berhenti di situ saja, dalam proses penyidikan, penegak hukum kerap melontarkan pertanyaan yang justru kembali menyakitkan perasaan anak-anak. Penegak hukum ingin mencari tahu tindakan itu dilakukan atas dasar suka sama suka atau tidak. Anak-anak dianggap sebagai orang dewasa.
Sulistiowati menilai perlu ada terobosan atau perubahan besar bagi penegak hukum dalam menyelidiki dan menyidik proses hukum yang melibatkan anak korban kekerasan. Penegak hukum harus mendapat pelatihan untuk memiliki pengetahuan dasar tentang keadilan jender dan sensitivitas tentang keadilan.
Terkait persidangan yang tak berpihak kepada anak-anak korban kekerasan seksual, tambah Sulistiowati, harus ada reformasi hukum untuk keadilan anak. Oleh karena itu, kehadiran RUU PKS sangat penting segera disahkan sebagai instrumen hukum untuk melindungi hak anak-anak.
Tak patah semangat
Meski DPR menarik RUU PKS dari Prolegnas 2020, tim Komnas HAM bersama tim advokasi yang diketuai Azaz Tigor Naingolan, dan tim paroki Gereja Herkulanus yang dipimpin Pastor Yosep Sirilius Natet, tetap semangat mengawal penanganan kasus kekerasan seksual yang menimpa 20 anak misdinar di bawah umur.
Kuasa hukum korban, Azaz Tigor Naingolan, mengatakan, lambatnya pengesahan RUU PKS hingga ditarik dari Proglenas 2020 tidak menyurutkan semangat dan kendur dalam mengawal kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di Gereja Herkulanus.
”Justru harus semangat dalam pengungkapan dan penanganan kasus. Jangan kendor, ini menjadi pemicu kami, korban, dan keluarga korban untuk membantu korban lainnya bersuara,” kata Tigor.
Selain itu, menurut Tigor, dengan tetap mengawal kasus kekerasan seksual di gereja atau teman-teman aktivis lainnya yang melakukan hal serupa, diharapkan timbul kesadaran dan kritik kepada pemerintah yang belum berpihak kepada hak keadilan dan perlindungan korban.
”RUU PKS harusnya segera disahkan karena wujud negara hadir, korban dilindungi, sampai ke pemulihan. Sekarang apakah pemerintah hadir?” kata Tigor.
RUU PKS harusnya segera disahkan karena wujud negara hadir, korban dilindungi, sampai ke pemulihan. Sekarang apakah pemerintah hadir?
Sementara itu, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Mohammad Choirul Anam mengatakan, penanganan kasus kekerasan seksual tetap harus dilakukan secara serius. Penarikan RUU PKS dari Prolegnas 2020 tidak melemahkan perjuangan dan semangat untuk mencari hak keadilan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
Baca juga: Komnas HAM Mulai Tangani Kasus Kejahatan Seksual di Gereja Depok
”Tidak hanya di gereja ya, ini untuk semuanya bahwa ini tidak melemahkan perjuangan dan semangat kami dan teman-teman lainnya mencari keadilan dan perlindungan terhadap korban kekerasaan seksual. Memang sangat disesalkan RUU PKS ditarik dalam Prognas 2020,” kata Anam.
Anam menilai, lambatnya pembahasan dan pengesahan RUU PKS memperlihatkan ketidaksensitifan terhadap korban kekerasan. Hal itu merupakan cerminan politik hukum di Indonesia.
”Penanganan kasus kekerasan seksual di gereja tetap menjadi perhatian. Kami meletakkan kasus ini sebagai satu pola untuk mendapat perhatian lebih dari semua pihak dan lembaga. Apakah kita berani memaksimalkan hukum fisik bagi pelaku dan hak pemulihan bagi anak-anak?” kata Anam.
Anam berharap semua pihak membantu mengawal dan mengawasi kasus kekerasan seksual. ”Pengawalan kasus sangat penting, bagaimana nanti polisi, kejaksaan, hingga hakim punya keberanian tidak hanya penghukuman terhadap pelaku, tapi juga memberikan hak pemulihan kepada korban. Perlu dipahami sekali lagi kekerasan seksual adalah sebuah tindak kejahatan,” kata Anam.