Suara yang Dibisukan
Jika kehadiran Kim Ji-yeong mampu memicu perubahan di negerinya, mari memupuk harapan hal serupa bisa pula terjadi di negeri ini. Sebuah perubahan yang membutuhkan para pemberani sangatlah dinantikan.
Judul : Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982
Penulis : Cho Nam-Joo
Penerjemah : Iingliana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2019
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-063-619-1
Alkisah, seekor putri duyung rela menukar suaranya dengan sepasang kaki. Dengan kaki itu, putri duyung ingin mengejar mimpinya bertemu pangeran pujaan di daratan. Dikisahkan, di Korea Selatan, seorang perempuan merasa kehilangan suaranya setelah bertahun-tahun menikah. Dia pun berulah seolah kerasukan demi meminjam suara orang lain. Dia bernama Kim Ji-yeong.
Manusia terlahir dengan suara masing-masing. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya dilengkapi alat produksi suara yang membuat hal tersebut bisa terjadi. Namun, kehadiran suara tidak sebatas fenomena fisik dan biologis, tapi lebih kompleks daripada itu. Suara laki-laki dan suara perempuan dikonstruksi pula secara sosial. Kim Ji-yeong salah satu buktinya.
Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 membuka apa sebenarnya yang dialami istri Jeong Dae-hyeon ini. Sejak kecil, bersama kakak perempuannya, dia belajar menjalani hidup yang tidak seistimewa adik laki-laki mereka. Dia dan kakaknya wajib mengalah, berkorban dan dikorbankan demi si bungsu. Dia dan kakaknya dipaksa menerima kenyataan bahwa posisi mereka dalam rumah berada di bawah si adik laki-laki.
Di luar rumah, posisi Ji-yeon juga sama. Oleh pihak sekolah, dia dan pelajar perempuan lain diajarkan berpenampilan, berpikir, dan bersikap sesuai aturan yang khusus dibuat untuk perempuan. Oleh pihak perusahaan, dia dan pekerja perempuan lain dituntut banyak hal, tapi dikucilkan begitu menuntut sesuatu. Oleh masyarakat, dia dan sesamanya dipaksa tunduk pada tradisi dan pemilik suara otoritas. Pada suatu hari, masalah pun timbullah.
Oleh masyarakat, dia dan sesamanya dipaksa tunduk pada tradisi dan pemilik suara otoritas.
Ditulis oleh pengarang perempuan Korea Selatan, Cho Nam-joo, Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 memberikan gambaran yang cukup detail tentang apa yang terjadi di negeri itu. Dengan fasih, Nam-joo mengisahkan pengalaman hidup perempuan Korea Selatan lewat tokoh Ji-yeong yang berpendidikan tinggi, tapi tertindas hingga bernasib serupa putri duyung.
Sejak ide tentang putri duyung disisipkan Nam-joo dalam novel ini, mudah membayangkan Ji-yeong sebagai putri duyung yang berusaha mewujudkan mimpinya. Dengan berdiri di atas kakinya sendiri, Ji-yeong berhasil meraih gelar sarjana, sempat menjadi pegawai, sebelum kemudian menjadi istri lelaki pilihannya dan ibu untuk anaknya. Ironisnya, apa yang didapatinya setelah itu ternyata bukan masa depan impian.
Baca juga :Satire Don Quijote
Ji-yeong menganggap rumahnya kurungan. Perkawinan justru mengisolasinya sekaligus merenggut kebebasannya. Dia menjadi istri yang bergantung pada suami dan hanya berputar-putar dalam rumah bersama anaknya. Di antara tugas-tugas domestik yang tiada habis, Ji-yeong perlahan kehilangan dirinya seiring timbul satu kesadaran baru. Dunia ternyata milik laki-laki.
Dunia maskulin
Di tengah dunia yang maskulin, perempuan seperti Ji-yeong merasa terjebak dalam perlawanan yang terus-menerus. Pemilik suara otoritas selalu memaksanya beradaptasi dengan masyarakat patriarki yang kejam. Mendiktekan bahwa kepatuhannya sebagai perempuan kelak berganjar kebahagiaan.
Di tengah dunia yang maskulin, perempuan seperti Ji-yeong merasa terjebak dalam perlawanan yang terus-menerus.
Maka berkompromilah dia selama bertahun-tahun. Membiarkan suara otoritas mengatur perannya, termasuk mengecilkan atau jika perlu ”menghilangkan” suaranya. Sebentuk kehilangan yang terjadi bukan karena suara itu direnggut darinya, melainkan si pemilik memilih untuk membisukannya. Ada persetujuan dalam hal ini.
Hingga kebahagiaan yang dijanjikan ternyata tidak kunjung datang. Perempuan seperti Ji-yeong mulai disergap cemas, takut, dan marah karena merasa hidupnya tidak bakal berubah. Dia pun bersikap tidak percaya pada dunia, tidak puas pada kehidupannya, tidak bangga pada dirinya. Maka tergeraklah dia untuk melakukan sesuatu. Dengan kegigihan yang mengerikan, dia memulai perlawanan pasif.
Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 termasuk novel yang bisa diselesaikan dalam sekali duduk. Ia ditulis dalam bahasa yang ringan dan alur cerita yang mudah diikuti. Barangkali itulah salah satu penyebab novel ini banyak dibaca. Ia mudah diterima oleh semua jenis pembaca.
Baca juga : ”Upheaval”: Mengungkap Jati Diri Bangsa melalui Krisis
Penyebab lain yang membuat novel ini mengguncang publik hingga dibicarakan dunia adalah karena tema yang diangkatnya kebetulan sejalan dengan isu diskriminasi jender yang sedang bergulir di Korea Selatan. Ia seperti menelanjangi ”Negeri Ginseng” itu dengan membuka rahasia gelap keluarganya sendiri. Dan, sesuai sifat pasar, produk yang menjual sesuatu yang mengandung unsur ”kontroversi” mesti banyak peminatnya.
Sebagai novel yang dianggap sensasional, sesungguhnya apa yang diberikan Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 cukup mengecewakan dari segi pertukangan. Entah disebabkan oleh kemalasan pengarangnya mengolah data mentah atau ketidakpercayaannya pada kekuatan tokoh utama dalam meyakinkan pembaca, dia membuat novel ini diseraki banyak informasi statistik. Dengan catatan kaki pada setiap penyisipannya, membaca novel ini meninggalkan kesan seperti tengah membaca, katakanlah, sebuah ”prosa-esai”.
Terlepas dari keberuntungan dan kekurangannya, Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 memang hadir pada saat yang tepat di negerinya. Ia menyampaikan suara perempuan kelas menengah masyarakat industri Korea Selatan. Sesuatu yang, jika dibawa ke Indonesia, tidak akan berdampak sebesar di negerinya sebab suara perempuan sesungguhnya tidak cuma satu.
Kim Ji-yeong hanya mewakili sebagian kecil suara perempuan kelas menengah perkotaan, tapi tidak dengan suara perempuan Indonesia kebanyakan. Yaitu, perempuan kelas bawah yang tinggal di perkampungan kumuh, perdesaan, dan pulau terpencil.
Jika kehadiran Kim Ji-yeong mampu memicu perubahan di negerinya, mari memupuk harapan hal serupa bisa pula terjadi di negeri ini. Sebuah perubahan yang membutuhkan para pemberani sangatlah dinantikan.
ANINDITA S THAYF
Novelis dan esais,
pemenang pertama sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2008