Fotografer Anton Ismael Tumbuh Tanpa Batas Ruang
Banyak orang menilai Anton Ismael adalah fotografer yang terus berdiri di pinggiran. Sesuatu yang mungkin dianggap bahaya justru dipilihnya jadi cara hidup.
Banyak orang menilai Anton Ismael adalah fotografer yang terus berdiri di pinggiran. Sesuatu yang mungkin dianggap bahaya justru dipilihnya jadi cara hidup. Setelah sukses sebagai fotografer profesional, direktur seni, hingga penggagas sekolah fotografi gratis Kelas Pagi, Anton kini ancang-ancang meninggalkan dunia fotografi komersial dan melangkah menuju ”hutan”.
Sejak tiga tahun terakhir, perenungan tentang hidup membawanya pada kesimpulan bahwa sistem urban yang dijalaninya ternyata rapuh. ”Hal-hal kecil. Teman cewek enggak jadi pulang karena hujan. Di rahim ibumu sembilan bulan itu air. Ilmu yang paling tua yang ngajarin kita, ya, alam,” kata Anton ketika dihubungi sembari membagi pelajaran fotografi virtual dengan aplikasi Zoom pada Rabu (24/6/2020).
Sebagai pendiri rumah produksi fotografi komersial Third Eye Space, Anton sudah 15 tahun mengejar eksplorasi kreatif serta memenuhi permintaan basis klien yang beragam. Bersama timnya, ia memproduksi beragam iklan komersial dari berbagai perusahaan. Ia juga menjadi art director untuk konser seperti Metamorfosa Andien Concert hingga direktur seni untuk pergelaran busana Desainer Mel Ahyar.
Anton juga merefleksikan energi kreatif seni dalam dirinya lewat karya-karya personal yang antara lain dipamerkan di Jakarta Biennale 2013: ”Blok M” , Group Show: ”Abad Fotografi” 2016 di Galeri Nasional, dan Solo Exhibition: ”Rumah” 2016 di Ruci Art Space. Lewat karya foto yang sifatnya personal di pameran tunggal bertajuk ”Rumah”, misalnya, Anton menyebut rumah sebagai akar dari pendidikan.
”Ada sebuah kalimat: pendidikan akan membebaskanmu, tetapi saya percaya bahwa ketidaktahuan pun akan membebaskan. Diawali tanpa batas ruang,” tambah Anton.
Pendidikan dari rumah itu pula yang membentuk karakternya. Kedisiplinan serta cara mendidik yang keras diperolehnya dari sang ayah yang seorang tentara, sedangkan seni diwarisi dari ibu. ”Mereka dua orang yang cukup kontras. Mereka memberikan kebebasan kepada saya. Terserah mau jadi apa, tapi harus jadi yang terbaik,” ujarnya.
Latar belakang
Disiplin dari rumah itu pula yang dibawanya ketika menjadi pengajar fotografi di Kelas Pagi yang dimulai sejak tahun 2006. Kelas Pagi di Jakarta, Yogyakarta, dan bahkan telah berkembang ke Papua ini memiliki kelas rutin yang digelar sangat pagi, yaitu pukul 06.00 hingga 09.00.
Jika peserta datang terlambat, Anton memberlakukan hukuman push up yang tak hanya dijalani oleh si peserta yang terlambat, tapi juga harus dilakukan seluruh kelas, termasuk pengajar. ”Saya cukup keras. Artinya kalau lu datang terlambat lu mencelakakan satu tim. Tim lu rugi. In real life kayak gitu. Kalau ada yang nggladrah, semua kena,” ujar Anton yang di antara para muridnya akrab disapa dengan panggilan Pak-e ini.
Kesiapan beraktivitas sejak pukul 06.00 sudah dijalaninya sejak kecil. Ayahnya sudah duduk di meja pada jam tersebut dan ia pun sudah harus siap duduk di depan sang ayah. ”Pukul enam pagi, seprai harus sudah kencang. Ngeceknya gampang: pakai koin kalau enggak membal harus push up sepuluh kali. Ada pelajaran hidup dari situ,” tambahnya.
Latar belakang seorang model termasuk keluarga dan cara ia dididik—selalu menjadi unsur penting ketika Anton memotret. Penegasan pentingnya latar belakang ini antara lain diwujudkannya dalam karya foto keluarga yang seluruh wajahnya justru difoto blur, sedangkan latar belakangnya sangat tajam.
”Kamu terbentuk dari latar belakang seperti apa? Keluarga sangat memengaruhi pola pikir. Ketika menghargai latar belakang, maka akan menghargai orangnya,” kata Anton.
Cara mendidik yang ”keras” pula diterapkan kepada putrinya. Sejak lulus SD, sang putri sudah ”dilempar” bersekolah di kaki gunung di Thailand tanpa pendampingan fisik dari orangtua. ”Bagaimana menjadikan dia kuat. Walau saya enggak akan sombong bilang anak saya yang terbaik. Dia banyak kekurangan, tapi ada karakter bagaimana kedewasaan dan pola berpikir. Saya merasa I’m in a right track,” ujarnya.
Telah meluluskan hingga 4.000 alumnus, peserta Kelas Pagi sangat beragam, dari tukang siomai hingga eks narapidana. Pesertanya dituntut kritis dengan hanya mengajukan pertanyaan pintar berbasis riset supaya memperoleh jawaban pintar. Ia menekankan bahwa konsep konten yang baik pasti bisa diterjemahkan menjadi visual yang baik. Muridnya wajib membuat esai 2.000 kata agar bisa mempertanggungjawabkan pemikirannya.
Sebagai pengajar, Anton piawai membagikan ilmu tentang teknik fotografi. Kali ini, di tengah masa pandemi, ia pun mengajarkan tentang teknik baru fotografi jarak jauh. Sesi pemotretan virtual ini serupa sesi pemotretan biasa, hanya medianya berbeda. Fotografer tak bertemu dengan modelnya secara langsung, tetapi bisa melalui aplikasi seperti Facetime atau Zoom.
Foto yang diambil adalah tampilan layar dari panggilan video. Sepertinya sederhana, tetapi kepiawaian seorang fotografer justru diasah karena ia harus pintar mengarahkan model, mencari latar belakang dengan pencahayaan tepat, dan menambahkan sentuhan sederhana yang berbuah hasil foto yang unik dan beda.
Sebagai model dalam sesi pemotretan jarak jauh ini, Anton-lah yang mengarahkan fotografer. Ia, misalnya, menambahkan efek blur di latar belakang foto dengan memutar kencang kamera di ponselnya. ”Ini sewajarnya harus dilakukan. Teknologi bisa dipelajari. Pertama agak bingung. Permasalahannya hanya pola pikir berani mencoba atau enggak,” tambah Anton.
Karya fotografi virtual Anton berupa foto diri banyak artis antara lain sudah ditampilkan di sampul majalah Bazaar. Ia pun membuat iklan komersial dengan teknik videografi virtual dengan mengoneksikan kamera profesional ke komputer. Kualitas gambar yang jelek ketika memotret dengan cuplikan layar, bagi Anton, justru menunjukkan kondisi sejati dari era pandemi saat ini.
Rumah hutan
Pandemi punya peran dalam meredefinisi ulang cara bekerja Anton sebagai fotografer profesional. Klien seperti perusahaan tak punya pilihan dan harus menerima teknik virtual ini. Fotografi virtual juga membantu proses kerja menjadi lebih efisien karena tak harus melibatkan banyak orang.
”Saya harap bisa berkelanjutan. Semua orang harus melakukan itu, dengan pembatasan, enggak bisa protes. Aku akan memastikan bahwa mereka bisa merasakan mereka seolah berada di studio bersama saya,” katanya.
Momentum pandemi justru semakin meneguhkan keinginan untuk mengambil jarak dengan fotografi komersial. Perlahan, Anton melepas nama besar dengan lebih mengandalkan timnya dan mengambil jarak dengan fotografi komersial maupun mengajar di Kelas Pagi.
Momentum pandemi justru semakin meneguhkan keinginan untuk mengambil jarak dengan fotografi komersial.
”Motret enggak bakal ditinggalin, tapi bukan cari duit. Fotografi tetap akan saya pakai sebagai penyampaian bahasa, bertutur, bernarasi,” ujar Anton.
Anton sudah menemukan kesenangan dari gambar sejak masih kecil. Rekannya kala SD pernah berujar, ”Ton, karya tulisan dan gambarmu bagus dari jauh, tapi dari dekat jelek.”
Menyandang disleksia, ia memang punya kelemahan dalam menulis dan bahasa. Tulisan justru dilihatnya sebagai sebuah visual. Jatuhnya, ia pun bertutur lewat gambar.
Mulai menekuni berkebun, mimpi Anton adalah pindah ke sebuah hutan seluas 40 hektar di Kalibawang, Kulonprogo, DI Yogyakarta. Dari awalnya hanya menanam sayur-sayuran seperti sawi dan pakcoy di atap rumahnya, seorang rekan telah memintanya menggarap ladang 15 hektar di Bekasi dan akan lanjut 30 hektar di Jawa Timur.
”Saya akan bertanam mempelajari kehidupan yang bertahan jutaan tahun di situ. Bagaimana mereka bisa diam dan kuat dengan kehidupan ingar-bingar manusia. Setelah mati pun masih memberi manfaat untuk tumbuhan berikutnya,” kata Anton yang juga punya hobi memasak dan membuka kafe kopi dengan menu mangut lele.
Kehidupan yang tak berbatas tembok sedang menantinya. Kehidupan yang berbatas cakrawala. Namun, fotografi akan tetap menjadi caranya untuk berkomunikasi dengan dunia luar.
Anton Ismael
Nama Lengkap: Antonius Widya Ismael
Lahir: Jakarta, 17 September 1975
Ayah: Sebastian Ismail (alm)
Ibu: Aloysia Dewanti (alm)
Pendidikan:
- S-1 Royal Melbourne Institute of Technology – Photography
Pekerjaan:
- 1998-2000: Bekerja sebagai video editor
- 2000-2005: Bergabung di The Loop Indonesia, sebuah perusahaan fotografi yang bergerak di bidang industri periklanan
- 2005-sekarang: Mendirikan Third Eye Space
- 2006-sekarang: Mendirikan dan mengajar kelas fotografi gratis Kelas Pagi