Bank Indonesia Beli Surat Utang Pemerintah Rp 397,56 Triliun
›
Bank Indonesia Beli Surat...
Iklan
Bank Indonesia Beli Surat Utang Pemerintah Rp 397,56 Triliun
Bank Indonesia akan membeli surat berharga negara yang diterbitkan pemerintah senilai Rp 397,56 triliun berikut beban bunganya. Dampak kebijakan terhadap neraca keuangan dan tingkat inflasi tidak signifikan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia akan membeli surat berharga negara yang diterbitkan pemerintah senilai Rp 397,56 triliun berikut beban bunganya. Monetisasi utang ini akan berimplikasi terhadap neraca keuangan Bank Indonesia dan tingkat inflasi kendati masih dalam batas aman.
Total kebutuhan dana untuk penanganan Covid-19 tahun ini mencapai Rp 695,2 triliun.
Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan akan membagi beban (burden sharing) pendanaan untuk biaya penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi dengan skema pembelian surat berharga negara (SBN) tanpa mekanisme pasar dan pembagian beban bunga utang.
Pendanaan yang akan ditanggung BI menyangkut program hajat hidup orang banyak (public goods), seperti di bidang kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, serta bantuan untuk UMKM dan pemerintah daerah Rp 106,11 triliun. Dengan demikian, BI akan menanggung pendanaan senilai total Rp 397,56 triliun.
”Kebutuhan anggaran untuk public goods akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian SBN dengan mekanisme private placement atau bilateral,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (6/7/2020).
Monetisasi utang pemerintah melalui pembelian SBN secara langsung oleh BI hanya berlaku untuk tahun ini. Pembelian SBN dengan mekanisme privat placement ini memiliki tingkat kupon sebesar suku bunga acuan BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate. Saat ini suku bunga acuan BI sebesar 4,25 persen.
Sri Mulyani mengatakan, pembelian SBN oleh BI akan dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan pembiayaan APBN dan kebutuhan riil program Pemulihan Ekonomi Nasional. Jenis dan karakteristik SBN yang diterbitkan memiliki tenor jangka panjang dan dapat diperjualbelikan di pasar (tradable) dengan memperhatikan profil jatuh tempo utang.
Selain membeli SBN pemerintah, BI akan membantu menanggung beban bunga utang untuk pendanaan pemulihan ekonomi dan dunia usaha (non-public goods), termasuk bantuan UMKM dan pembiayaan korporasi. BI akan menanggung beban sebesar selisih antara bunga pasar (market rate) dan suku bunga acuan BI dikurangi 1 persen.
Sebagai contoh, jika tingkat bunga SBN pemerintah tenor 10 tahun saat ini sebesar 7,36 persen, maka BI akan menanggung beban bunga sebesar 4,06 persen, sementara pemerintah 3,3 persen.
”Pembelian SBN pemerintah untuk pendanaan non-public goods dilakukan dengan mekanisme pasar. BI bertindak sebagai pembeli siaga atau stand by buyer apabila pasar tidak mampu menyerap,” kata Sri Mulyani.
Penerapan skema pembagian beban antara otoritas fiskal dan moneter tidak hanya dilakukan oleh Indonesia. Skema ini juga diterapkan beberapa negara, seperti Inggris, Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Thailand. Kebijakan ini harus dilakukan untuk merespons kondisi yang luar biasa akibat Covid-19.
Sri Mulyani menekankan, skema pembagian beban pendanaan antara Kemenkeu dan BI akan dilakukan secara hati-hati dan tetap menjaga independensi masing-masing institusi. Tata kelola yang transparan dan akuntabel akan melandasi setiap keputusan dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi.
”Pemerintah dan BI terbuka melihat perkembangan yang terjadi di masing-masing pos belanja. Kami akan sangat transparan dan komunikatif untuk terus menjaga kepercayaan rakyat dan investor,” kata Sri Mulyani.
Dampak inflasi
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, pembelian SBN pemerintah akan memengaruhi neraca keuangan BI dan tingkat inflasi. Namun, implikasi dari kebijakan itu masih relatif terjaga dan aman. Saat ini, kerja sama otoritas fiskal dan moneter sangat diperlukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
Pembelian SBN pemerintah akan berdampak terhadap inflasi kendati tidak signifikan. BI memproyeksikan inflasi akhir tahun masih dalam kisaran target 2-4 persen. Saat ini, pembelian SBN pemerintah oleh BI juga dimungkinkan karena tingkat inflasi sejak awal tahun (year to date) masih relatif rendah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi tahun kalender (Januari-Juni) 2020 sebesar 1,09 persen, sementara tingkat inflasi secara tahunan sebesar 1,96 persen.
”Pembelian SBN Rp 397,56 triliun tidak berdampak besar terhadap inflasi karena permintaan ekonomi saat ini masih rendah,” kata Perry.
Perry menambahkan, neraca keuangan BI akan terpengaruh kendati tidak signifikan. Pada akhir 2019, BI memiliki modal Rp 216 triliun. Rasio modal BI masih di atas 10 persen sehingga cukup aman untuk membagi beban dengan Kemenkeu dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi. Penurunan rasio modal tidak akan mengganggu rumusan kebijakan moneter.
Sejauh ini BI telah melakukan kebijakan pelonggaran moneter melalui perbankan senilai Rp 614,5 triliun. Pelonggaran moneter sebagian akan disalurkan untuk membantu pendanaan fiskal sehingga pemerintah bisa lebih fokus ke penyerapan anggaran, sedangkan BI membantu dari sisi pendanaan.
Neraca keuangan BI akan terpengaruh kendati tidak signifikan.
Secara terpisah, Direktur Riset Center of Reform and Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah berpendapat, pemerintah memang perlu menempuh pembiayaan non-konvensional untuk memenuhi besarnya kebutuhan anggaran. Sumber pembiayaan dari SBN tidak akan mencukupi karena daya serap pasar terbatas. Dalam lima tahun terakhir, daya serap pasar untuk SBN pemerintah maksimal hanya sekitar Rp 900 triliun.
Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menambahkan, pemerintah harus menyusun strategi agar bunga dari penerbitan SBN tidak terlalu tinggi. Tujuannya agar tambahan penerbitan SBN tidak membebani APBN di masa depan. Dalam kondisi serba sulit seperti saat ini, beban pembiayaan utang perlu dibagi antara pemerintah dan Bank Indonesia.