Covid-19 Bukan Rekayasa, Lebih dari Setengah Juta Jiwa Meninggal
›
Covid-19 Bukan Rekayasa, Lebih...
Iklan
Covid-19 Bukan Rekayasa, Lebih dari Setengah Juta Jiwa Meninggal
Di tengah bias informasi yang menyebut Covid-19 adalah sebuah rekayasa, media arus utama diharapkan dapat membantu menjernihkannya. Bias informasi sangat menghambat percepataan penanganan covid-19.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Media arus utama dianggap telah berperan besar dalam memberikan sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat sebagai bagian dari upaya penanggulangan Covid-19. Sekitar 63 persen keberhasilan sosialisasi ditentukan oleh media. Di tengah bias informasi yang menyebut Covid-19 adalah sebuah rekayasa, media arus utama diharapkan dapat membantu menjernihkannya. Bias informasi sangat menghambat percepatan penanganan Covid-19.
Demikian disampaikan Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, di Ambon, Senin (6/7/2020). Bersama Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy serta Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Doni melakukan kunjungan kerja ke Ambon yang dilanjutkan ke sejumlah wilayah di timur Indonesia.
Doni menyampaikan apresiasi atas dukungan media bersama para jurnalis yang telah membantu pemerintah dalam penanggulangan Covid-19 lewat liputan yang bersifat edukatif dan membangun harapan publik di tengah situasi pandemi. Ia mengajak agar media tidak bosan-bosan membangun narasi yang menuntun publik di tengah simpang siur informasi.
”Isu bahwa Covid-19 ini rekayasa, tolong sama-sama dibantah. Bukan hanya oleh pemerintah pusat, bukan hanya oleh menteri kesehatan, melainkan kita semua komponen bangsa ini harus menjelaskan kepada rakyat. Korban jiwa seluruh dunia telah mencapai lebih dari setengah juta orang. Di Indonesia, lebih dari 3.000 orang. Jangan anggap enteng Covid-19,” tutur Doni.
Belakangan ini, di ruang publik, termasuk jagat maya, beredar isu bahwa Covid-19 hanya suatu rekayasa belaka. Isu itu lalu dikaitkan dengan sejumlah fakta ketidakberesan dalam penanganan Covid-19 di sejumlah daerah. Isu itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Di sisi lain, sebagian besar publik tetap percaya akan bahaya Covid-19 dan selalu menyampaikan narasi-narasi edukatif.
Seperti yang diberitakan harian ini pada Senin (6/7/2020), bias informasi tentang Covid-19 membuat masyarakat belum memahami risiko penularan penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu dengan baik. Situasi ini diperparah dengan menguatnya tekanan ekonomi sehingga banyak orang mengabaikan risiko.
Akibatnya, dari aspek persepsi risiko, warga DKI Jakarta dinilai belum siap memasuki normal baru. Demikian temuan survei sosial oleh Social Resilience Lab Nanyang Technological University (NTU) bekerja sama dengan Laporcovid19.org yang dipaparkan pada Minggu (5/7).
Transparansi
Pengamat sosial dari Universitas Pattimura Ambon, Josep Antonius Ufi, mengatakan, bias informasi di ruang publik menjadi tanggung jawab media massa untuk menetralkannya. Publik masih sangat percaya pada pemberitaan media arus utama karena dianggap memberikan informasi yang akurat. Kepercayaan itu menjadi modal media arus utama.
Menurut dia, media sosial sempat menjadi alternatif sebagai sumber informasi bagi publik. Namun, belakangan, lantaran banyaknya konten media sosial yang tidak akurat dan cenderung menyebar hoaks, sebagian besar publik kemudian beralih mencari sumber informasi tepercaya. Inilah kesempatan media arus utama untuk menunjukkan eksistensinya sebagai penjernih informasi.
Ia juga mengkritik sejumlah pemberitaan media daring yang dianggap bombastis, sensasional, dan minim substansi. Oleh karena itu, ia mengajak publik selektif dalam memilih media. ”Saya pribadi membeli informasi dengan mengakses berita berbayar. Saya merasa betapa pentingnya informasi saat ini. Yang gratis berseliweran, tetapi apakah itu dapat dipercaya? Publik harus cerdas memilih media,” katanya.
Ia berharap agar pemerintah dapat menggunakan media tepercaya untuk melakukan sosialisasi. Agar kepercayaan publik tidak tergerus, pemerintah diminta menjelaskan sejumlah tanda tanya di publik secara meyakinkan melalui media arus utama yang kredibel. ”Pemerintah harus transparan, salah satunya dalam hal penggunaan anggaran. Kalau itu dibuka, publik akan percaya,” ujarnya.
Di Maluku, pemerintah dianggap tidak terbuka soal anggaran penanganan Covid-19. Beredar isu, dana Covid-19 disalahgunakan. Dua pekan lalu, Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku Kasrul Selang berjanji, tanda tanya publik itu akan dijawab. ”Nanti dinas terkait akan menjelaskan,” ujarnya. Hingga kini, belum ada penjelasan.