Adaptasi dan Inovasi Dorong Daya Serap Produk UMKM
›
Adaptasi dan Inovasi Dorong...
Iklan
Adaptasi dan Inovasi Dorong Daya Serap Produk UMKM
Akibat Covid-19, para pelaku UMKM kini kehilangan pasar. Untuk tetap bertahan dan mengambil peluang usaha, mereka harus bisa beradaptasi dan berinovasi sesuai dengan permintaan pasar agar produk dapat diserap.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 telah membuat pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah kehilangan pasar yang selama ini menyerap produk buatan mereka. Adaptif dan inovatif diharapkan dapat dilakukan para pelaku usaha sebagai modal dasar untuk tetap bertahan dan berkompetisi.
Kiki (45), pemilik usaha sepatu dengan merek Fortuna Shoes, merasakan langsung dampak akibat Covid-19. Penjualan yang berorientasi ekspor sejak tahun 1970 menurun hingga 55 persen karena negara tujuan, yaitu Eropa, Korea, dan Jepang, terdampak pandemi.
”Pesanan sepatu ada yang ditunda, dikurangi, bahkan dibatalkan. Padahal, waktu awal tahun kemarin kami sudah semangat dan menyiapkan material untuk persiapan Olimpiade 2020 di Jepang karena kami perkirakan akan menjadi momentum penjualan,” kata Kiki saat dihubungi Kompas, Senin (6/7/2020).
Produksi sepatu Kiki kini hanya sekitar 50 persen dari kapasitas terpasang. Persoalannya kemudian, dana cadangan perusahaan kini terkuras untuk membayar karyawan yang berjumlah sekitar 300 orang.
Menurut dia, budaya bersepatu di Indonesia berbeda dengan negara tujuan ekspor sepatunya selama ini. Keadaan inilah yang juga menjadi tantangan untuk mencari peluang pasar di Indonesia.
”Jenis sepatu kami masuknya ke dress shoes yang di Indonesia diasumsikan model sepatu ini termasuk sepatu klasik untuk ke undangan atau untuk kalangan eksekutif. Padahal, model sepatu kami banyak sekali jenisnya, dari yang sangat formal hingga kasual,” tutur Kiki.
Tantangan lain, harga yang tergolong tinggi karena 90 persen materialnya menggunakan bahan impor. Misalnya, untuk bahan sol sepatu lapis atas diimpor dari Perancis dan untuk bahan sol sepatu dalam dan luar berasal dari Italia.
Untuk ekspor, harga pesanan dalam jumlah 3.000-4.000 pasang per bulan, mulai dari sekitar 60 euro hingga 90 euro atau sekitar Rp 1,5 juta per pasang. ”Tergantung bahan dan konstruksinya karena bahan sepatu yang kami gunakan memiliki spesifikasi khusus,” ucap Kiki.
Untuk tetap mempertahankan usaha, Kiki kini berencana memulai bisnis secara dalam jaringan (daring). Dengan tetap mempertahankan kualitas ekspor, Fortuna Shoes juga akan mencoba berkolaborasi dengan artisan kulit lokal untuk mengembangkan lukisan tangan (hand painted).
Begitu pula dengan Lala Gozali (65), pelaku UMKM di bidang mode dengan nama usaha Roemah Kain dan Badjoe Gianti. Selama ini, penjualan baju dan kain batik mengandalkan pameran dan membuka usaha di pusat perbelanjaan.
Tak hanya itu, peminat kain batik pun diakuinya menurun lebih dari 50 persen karena bukan merupakan kebutuhan pokok. Lala kemudian mulai mengalihkan usahanya dengan memproduksi masker kain dan celemek.
”Sekarang, kan, banyak orang diam di rumah, jadi saya rasa ada kebutuhan untuk bisa tetap eksis meski hanya di rumah. Orang-orang itu butuh tetap tampil keren, jadi saya coba produksi celemek yang fashionable,” kata Lala.
Ia pun berharap pameran-pameran busana segera kembali diadakan agar daya serap untuk produk UMKM kembali hidup. ”Kalau jual kain batik, orang itu ada kebutuhan untuk memegang bahan kainnya. Jadi, semoga pameran bisa kembali diadakan sesuai protokol kesehatan,” ucapnya.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki menyampaikan, pemerintah sejak Maret 2020 terus berupaya membantu para pelaku UMKM agar beradaptasi dengan keadaan akibat pandemi. Misalnya, pelaku usaha yang awalnya konfeksi kemudian dialihkan membuat masker sesuai dengan permintaan pasar yang baru.
”Produk UMKM yang sekarang tumbuh, kan, antara lain makanan dan minuman, kebutuhan pribadi di rumah, serta peralatan olahraga. Maka diharapkan para pelaku usaha juga mengarah ke sini,” ujar Teten pada Kamis (2/7/2020).
Selain itu, Kemenkop dan UKM sedang bekerja sama dengan beberapa kementerian untuk mendorong belanja pemerintah agar membeli produk UMKM. Tahun 2020, ada anggaran sebesar Rp 318 triliun yang bisa dibelanjakan untuk produk UMKM.
”Kami sudah kerja sama dengan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) untuk membuat laman produk UMKM. Jadi, nanti kami akan mengurasi produk UMKM supaya membuka akun di e-katalog LKPP agar nanti pengadaan produk UMKM tidak harus lewat tender, jadi lebih mudah,” kata Teten.
Kini sedang dalam tahap pelatihan LKPP kepada kementerian dan lembaga terkait bagaimana melakukan paket pengadaan produk UMKM. ”Kalau anggaran ini dibelanjakan produk UMKM, semoga ekonomi kembali bergulir,” ujar Teten.
Saat konsumsi masyarakat melemah, kata Teten, memang belanja pemerintah yang harus digenjot, tetapi tetap tidak akan cukup. Untuk itu, diperlukan juga sentuhan solidaritas dari kalangan kelas menengah untuk membeli produk UMKM.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai belanja pemerintah memang dapat diarahkan untuk meningkatkan daya serap produk UMKM, tetapi hanya akan berlaku efektif bagi UMKM yang menjual kebutuhan pokok.
Sementara bagi pelaku usaha di bidang nonpangan, daya serap tetap akan bergantung pada kemampuan mereka beradaptasi dengan pasar. ”Pelaku usaha harus tetap adaptif dan mulai memanfaatkan bisnis daring untuk memasarkan produknya,” ujar Tauhid.