Media Sosial Diboikot dan Dibutuhkan
Literasi dalam bermedia sosial sangat penting sebagai bentuk perlawanan pada ujaran kebencian. Etika dalam media sosial penting untuk mendukung peningkatan literasi
Tagar #StopHateForProfit menjadi ajakan langsung yang muncul merespons situasi yang memanas jelang pemilu di Amerika Serikat. Untuk pertama kali, platform media sosial didesak aktivis bersama beragam brand besar melakukan langkah yang lebih nyata untuk melakukan filter terhadap ujaran kebencian. Langkah ini dilakukan di tengah situasi kehidupan masyarakat yang serba digital dengan optimalisasi media sosial.
Ketegangan sosial di Amerika Serikat membuat suasana mulai memanas, tak terkecuali di media sosial. Beberapa NGO, termasuk Anti-Defamation League (ADL) dan NAACP, memopulerkan tagar kampanye #StopHateforProfit di Twitter dan meminta berbagai perusahaan menghentikan beriklan di Facebook.
Ratusan merek usaha terlibat dalam kampanye tersebut. Surat terbuka untuk perusahaan yang beriklan di Facebook disampaikan pada 25 Juni 2020. Sehari setelah itu, tagar #StopHateForProfit mulai muncul dan menjadi trending topic di Twitter.
Hingga pada 29 Juni tagar #StopHateForProfit kian direspons dengan keikutsertaan ratuan brand dalam kampanye menolak memasang iklan di media sosial milik Mark Zuckenberg, seperti Facebook, Whatsapp, ataupun Instagram.
Gerakan #StopHateforProfit dalam laman resminya menyampaikan, Facebook mengizinkan ujaran kebencian dari media bias nasionalis kulit putih untuk menyerang para pemrotes yang berjuang untuk keadilan rasial, seperti George Floyd, Ahmaud Arbery, ataupun Rayshard Brooks. Gerakan ini juga menuduh Facebook mengambil keuntungan dari ujaran kebencian ataupun rasisme dan antisemitisme.
Media sosial telah menjadi menjadi tulang punggung sarana komunikasi di abad yang serba digital. Namun, ketiadaan saringan pertimbangan nilai baik dan buruk oleh warganet merupakan awal dari bencana penyalahgunaan media sosial.
Akibatnya, kasus ujaran kebencian, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan agama, dan provokasi, bahkan menyebarkan berita-berita bohong (hoaks) di berbagai aplikasi media sosial, salah satunya Facebook, masih terus terjadi.
Kondisi ini terjadi karena warganet diberi kebebasan pribadi dalam mengeksplorasi media sosial sehingga bebas berujar ataupun mengunggah sesuatu tanpa memikirkan dampaknya.
Fungsi penyaringan
Sebelumnya, pemerintah setempat yang cenderung proaktif membuat peraturan atau dasar hukum tersendiri dalam merespons ujaran kebencian yang memanas di media sosial jelang perhelatan politik, tetapi kali ini dorongan lahir dari aktivis. Uniknya, ratusan merek memutuskan menghentikan beriklan.
Salah satu sarana komunikasi pada media sosial ini berlangsung secara publik. Sifat keterbukaan informasi di media sosial menjadi pemicu tingginya potensi melakukan ujaran kebencian, seperti ketersediaan fasilitas komentar untuk pembaca pada media yang berbasis elektronik.
Hal itu menyebabkan hubungan antara penulis dan pembaca menjadi resiprokal, bisa, dan mudah untuk saling mengomentari. Interaksi antarpribadi menjadi tidak terkontrol karena bentuk-bentuk ujaran kebencian saling menstimulus satu dengan lainnya.
Fungsi penyaringan ungkapan kebencian dan kekerasan di beberapa media sosial memang berbeda sesuai dengan perbedaan karakter yang dimiliki oleh setiap media sosial tersebut.
Ujaran kebencian dan kekerasan terhadap individu atau kelompok berdasarkan salah satu atribut, seperti usia, kasta, disabilitas, etnis, identitas dan ekspresi jender, kewarganegaraan, ras, status imigrasi, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, korban peristiwa kekerasan besar dan keluarganya, status veteran, tidak diizinkan dan akan dihapus oleh Youtube.
Konten tersebut juga dapat dilaporkan oleh pengguna apabila melihatnya. Konten yang dilaporkan tidak otomatis dihapus, tetapi ditinjau terlebih dahulu sesuai dengan panduan.
Penyaringan di Twitter dilakukan dengan mengeluarkan fitur layanan untuk melaporkan ujaran kebencian. Sama seperti laporan kebencian yang ada, bedanya di laporan ini pengguna bisa melaporkan daftar akun-akun yang selalu melakukan ujaran kebencian sekaligus.
Daftar akun ini akan dikonfirmasi apabila laporan telah dilakukan sehingga memungkinkan terlihat publik dan masuk ke Twitter Time Out hingga dihapus permanen. Fitur ini baru dapat diaplikasikan pada pengguna iOS yang nantinya akan segera muncul bagi pengguna Android.
Penyaringan di Instagram dilakukan dengan beberapa cara. Jika menurut pengguna ada akun yang tidak mengikuti salah satu atau beberapa panduan, pengguna dapat melaporkan kasus gangguan dengan pelaporan dalam aplikasi.
Hal ini adalah cara tercepat agar unggahan atau profil yang mengganggu dapat ditinjau. Namun, jika mengalami gangguan berulang atau berlebihan, atau ada akun kebencian yang dibuat menggunakan identitas yang mirip dengan pengguna, atau jika ada gangguan yang berlanjut setelah mengambil tindakan pencegahan, pengguna bisa melaporkan akun tersebut ke Instagram secara langsung untuk ditinjau.
Instagram hanya menghapus akun dan postingan yang tidak mengikuti pedoman dan ketentuan. Instagram juga tidak menyediakan mediasi untuk perselisihan di antara orang-orang yang menggunakan layanan. Jika penghapusan unggahan yang melanggar pedoman komunitas dilakukan, maka akun yang mengunggah akan diinformasikan.
Whatsapp memperbarui ketentuannya untuk semakin melakukan penyaringan pesan. Whatsapp menetapkan batasan untuk meneruskan pesan yang menurunkan kemungkinan viralitas sebuah pesan. Secara global, Whatsapp hanya akan membatasi penerusan pesan sebanyak lima orang.
Jika pengguna menemukan adanya pesan hoaks dan mengandung ujaran kebencian, pengguna bisa menggunakan fitur Report Spam. Whatsapp bisa melakukan identifikasi apakah pesan tersebut merupakan hoaks atau ujaran kebencian berdasarkan konteks lokal Indonesia.
Ketika sebuah nomor tidak terdaftar dalam buku telepon, maka Whatsapp akan menawarkan pilihan untuk melakukan block atau ditambahkan sebagai teman. Jika dilaporkan sebagai akun spam, Whatsapp akan menganalisis perilaku pengguna tersebut sebelum akhirnya ditutup oleh Whatsapp.
Sementara Facebook akan menghapus ucapan kebencian setiap kali menyadarinya. Penghapusan dilakukan, termasuk kepada unggahan yang mungkin telah dilaporkan bukan karena ucapan kebencian, melainkan alasan lain, serta unggahan yang dilaporkan karena alasan lain tetapi dihapus karena ucapan kebencian.
Facebook juga bekerja sama dengan media massa terverifikasi di setiap negara meluncurkan Fact Checker untuk mengecek keabsahan data dan fakta yang tersebar luas di lini massa.
Namun, upaya yang dilakukan media sosial, terutama Facebook, Whatsapp, dan Instagram, dinilai belum optimal oleh aktivis ataupun ratusan merek usaha yang memutuskan berhenti beriklan untuk sementara. Ketiga platform tersebut masih digunakan oleh berbagai individu ataupun kelompok untuk menyebarkan ujaran kebencian ataupun kekerasan.
Etika
Media sosial saat ini, terlebih lagi pada masa pandemi Covid-19, menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Berbagai macam keunggulan dan kemudahan ditawarkan untuk melakukan interaksi kepada semua orang, termasuk dalam berbisnis.
Tidak hanya itu, dengan adanya perkembangan penggunaan internet serta perangkat teknologi komunikasi, seperti telepon pintar yang semakin maju, menjadi salah satu pendorong pertumbuhan situs-situs jejaring baru.
Media sosial menawarkan dunia yang mirip dengan dunia nyata, seperti ruang chatting, conference, ataupun percakapan, dalam berbagai isu, sehingga pesan, informasi, ataupun propaganda politik dapat viral dalam waktu singkat.
Akibatnya, kebutuhan literasi media semakin kuat. Kemampuan membedakan antara realitas sosial dan realitas media sangat diperlukan sehingga publik lebih mampu menggunakan media secara lebih kritis sehingga tidak mudah dimanipulasi.
Kemampuan membedakan antara realitas sosial dan realitas media sangat diperlukan.
Selain literasi, etika dalam bermedia sosial menjadi sangat penting supaya publik mampu berkomunikasi saat harus berhadapan dengan orang-orang yang hanya percaya pada apa yang ingin mereka percayai.
Kemampuan literasi media dan memiliki etika dalam bermedia sosial memampukan publik untuk tidak saja menyalahkan platform media sosial tetapi juga mampu menggunakannya secara bijak. (LITBANG KOMPAS)