Nomenklatur RUU HIP Diusulkan untuk Diubah
Sepekan terakhir muncul usulan untuk mengubah nomenklatur RUU Haluan Ideologi Pancasila menjadi RUU Pembina Ideologi Pancasila. RUU tersebut nantinya hanya mengatur penguatan secara teknis lembaga BPIP.
JAKARTA, KOMPAS — Usulan perubahan nomenklatur Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila mengemuka sebagai respons untuk menguatkan posisi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Di dalam nomenklatur baru yang diusulkan, RUU tersebut tidak mengatur atau menafsirkan ideologi Pancasila, tetapi lebih pada pengaturan yang bersifat teknis atas penguatan BPIP selaku lembaga pembinaan bagi implementasi pembinaan Pancasila.
Pemikiran untuk mengubah nomenklatur dari RUU HIP menjadi RUU PIP atau RUU BPIP itu mengemuka dalam sepekan terakhir setelah RUU HIP mendapatkan tentangan dari berbagai komponen masyarakat. Dukungan terhadap perubahan nomenklatur untuk menguatkan BPIP dan bukan mengatur Pancasila sebagai ideologi negara itu, antara lain, muncul dari lawatan dan pertemuan sejumlah perwakilan komponen masyarakat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pekan lalu, setidaknya ada dua pertemuan yang dilakukan MPR terkait dengan RUU HIP dan dorongan untuk mengakhiri polemik di masyarakat terkait RUU tersebut. Pada Kamis (2/7/2020), Ketua MPR Bambang Soesatyo menerima kunjungan Wakil Presiden RI ke-6 Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Mayor Jenderal TNI (Purn) Saiful Sulun, dan Ketua Umum PPAD Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri. Dalam pertemuan itu, muncul pembicaraan agar RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) ditarik dan diganti menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP).
Try menilai, Pancasila sebagai ideologi negara merupakan pembentuk norma hukum sehingga kedudukannya tidak bisa diatur oleh norma hukum seperti undang-undang. Atas dasar itu, pengaturan Haluan Ideologi Pancasila dalam undang-undang dinilai tidak tepat.
Pada Jumat, pimpinan MPR melawat ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan bertemu dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Dalam pertemuan itu, PBNU meminta agar RUU HIP ditarik dari pembahasan di DPR. PBNU juga mendorong agar pembahasan RUU itu diulang dari awal, baik penyusunan naskah akademis, substansi, maupun namanya. ”Namanya juga harus diubah total, supaya tidak multitafsir. Langsung saja RUU BPIP,” kata Said.
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan, berdasarkan risalah rapat-rapat di DPR, wacana RUU PIP bukan hal baru. Akan tetapi, justru nomenklatur RUU HIP itu pada awalnya adalah RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila (RUU PHIP).
”Saat pertama kali diumumkan menjadi Prolegnas 2020 pada 17 Desember 2019 hingga rapat Panja Baleg (Panitia Kerja Badan Legislasi) yang kedua, nama RUU tersebut masih bernama RUU PHIP,” kata Basarah, saat dihubungi, Minggu (5/7/2020) di Jakarta.
Hilangnya kata ”pembinaan” dalam judul RUU tersebut akhirnya berdampak pada bergesernya tujuan hukum pembentukan RUU tersebut, yaitu semula hanya untuk memberi payung hukum yang lebih kokoh (dari peraturan presiden menjadi undang-undang) atas tugas, fungsi dan wewenang, serta struktur kelembagaan BPIP menjadi meluas pada pembahasan serta penafsiran sejarah dan falsafah Pancasila.
Kata ”pembinaan” itu tidak ditemui lagi pada rapat Panja Baleg yang ketiga, dan nama RUU tersebut menjadi RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Hilangnya kata ”pembinaan” dalam judul RUU tersebut akhirnya berdampak pada bergesernya tujuan hukum pembentukan RUU tersebut, yaitu dari tujuan semula hanya untuk memberi payung hukum yang lebih kokoh (dari peraturan presiden menjadi undang-undang) atas tugas, fungsi dan wewenang, serta struktur kelembagaan BPIP menjadi meluas pada pembahasan serta penafsiran sejarah dan falsafah Pancasila hingga akhirnya menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Basarah, karena saat ini wewenang hukum atas RUU HIP ada di tangan pemerintah dan sudah diputuskan agar RUU HIP tersebut ditunda, berdasarkan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pemerintah berwenang untuk melakukan koreksi dan perbaikan melalui daftar inventarisasi masalah (DIM). Koreksi itu dapat meliputi juga pengembalian judul RUU HIP ke judul awalnya, yakni RUU PIP.
Baca juga: Islam dan Pancasila
”Jika namanya sudah kembali pada RUU PIP, konsekuensi hukumnya, batang tubuh atau pasal-pasal dalam RUU PIP harusnya hanya mengatur tentang tugas, fungsi dan wewenang serta struktur kelembagaan BPIP. Dengan kata lain, RUU PIP tersebut benar-benar bersifat UU teknis yang mengatur strategi internalisasi dan implementasi Pancasila dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,” kata Basarah.
Pandangan dan sikap pemerintah tersebut tentu saja harus dibicarakan bersama dengan DPR. Meskipun demikian, lanjut Basarah, mengenai cara apa yang akan ditempuh pemerintah, hal tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah.
”Kami akan menghormati apa pun keputusannya. Namun, kami berharap semangat dan keinginan memberi payung hukum yang lebih kokoh pada upaya dan tanggung jawab pembinaan ideologi Pancasila kepada bangsa Indonesia jangan sampai dihentikan mengingat tantangan kebangsaan kita saat ini semakin kompleks,” ungkapnya.
Di dalam konsideran RUU PIP perlu dimasukkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dan Tap I Tahun 2003 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Komunisme/Marxisme. Di sisi lain, perlu juga konsideran memuat UU Terorisme, UU Keormasan, dan UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan.
Basarah menegaskan, di dalam konsideran RUU PIP perlu dimasukkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 dan Tap I Tahun 2003 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Komunisme/Marxisme. Di sisi lain, perlu juga konsideran memuat UU Terorisme, UU Keormasan, dan UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan.
Pengokohan Pancasila melalui penguatan tugas pembinaan BPIP di dalam UU dipandang perlu dilakukan agar pelaksanaan tugas dan wewenang pembinaan ideologi Pancasila oleh pemerintah tidak dilakukan sewenang-wenang oleh pemerintah, siapa pun presidennya kelak.
”Hal ini juga kami pandang penting agar tugas pembinaan ideologi Pancasila tidak menimbulkan perasaan dan suasana traumatik seperti era Orde Baru dulu,” kata Basarah.
Hal ini juga kami pandang penting agar tugas pembinaan ideologi Pancasila tidak menimbulkan perasaan dan suasana traumatik seperti era Orde Baru dulu (Ahmad Basarah).
Melalui DIM
Bambang mengatakan, pemerintah memiliki waktu hingga 20 Juli 2020 untuk merespons RUU HIP yang dikirim DPR. Pilihan sikap pemerintah bisa dalam bentuk tidak mengeluarkan surat presiden untuk pembahasan hingga batas waktu 20 Juli (60 hari), dan mengembalikan kepada DPR karena adanya penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Atau, pemerintah meneruskan dengan menyusun DIM yang isinya mencoret semua materi RUU yang menjadi keberatan berbagai elemen masyarakat dan membatasinya hanya pada pengaturan eksistensi dan tugas pokok serta fungsi BPIP.
”Selanjutnya, pemerintah dapat pula mengajukan hak inisiatif dengan RUU baru sebatas penguatan BPIP. Misalnya, usul PBNU, agar tidak dipelintir-pelintir, judulnya langsung saja, RUU BPIP,” katanya.
Namun, Bambang mengatakan, semua perkembangan itu sangat tergantung pada dinamika yang ada di pemerintah, dalam hal ini presiden dalam mengomunikasikannya kepada pimpinan partai politik pendukung pemerintah. Selanjutnya, jika pemerintah sudah mengambil keputusan, terserah kepada DPR, apakah langsung membahasnya bersama pemerintah atau menunggu hingga masa pandemi Covid-19 ini mereda.
Baca juga: Polemik Warganet Menyoal RUU HIP
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi, Minggu (5/7/2020), mengatakan, sampai saat ini belum ada lagi pembicaraan atau rapat di DPR terkait dengan RUU HIP. RUU itu saat ini telah dikirimkan kepada pemerintah untuk dimintakan surat presiden dan DIM. Akan tetapi, pemerintah menyatakan untuk menunda pembahasan RUU tersebut dan meminta DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat dalam pembahasan RUU tersebut.
”Saat ini prosesnya sudah bukan di DPR lagi karena itu kalau ditanya tentang RUU HIP itu, kini bolanya sudah ada di pemerintah,” katanya.
Sampai saat ini belum ada lagi pembicaraan atau rapat di DPR terkait dengan RUU HIP. RUU itu telah dikirimkan kepada pemerintah untuk dimintakan surat presiden dan DIM. Akan tetapi, pemerintah menyatakan untuk menunda pembahasan RUU dan meminta DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat.
Kalaupun ingin mengubah substansi RUU HIP, menurut Baidowi, pemerintah dapat saja mengubah substansi yang bermasalah di dalam draf RUU HIP itu dan dibawa ke dalam pembahasan bersama DPR. Namun, dalam pertemuan dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, pekan lalu, saat membahas evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 dengan Baleg DPR, pemerintah sama sekali tidak menyinggung adanya rencana perubahan nama, nomenklatur, dan substansi RUU HIP.
Yasonna mengatakan, pemerintah memiliki waktu 60 hari dalam menanggapi draf RUU HIP yang dikirimkan oleh DPR. Respons itu pun akan dilakukan dengan berbagai opsi, sembari terus mengkaji perkembangan yang ada.
”Bisa melalui mekanisme DIM tentang penghapusan pasal-pasal. Bisa juga menyurati DPR dalam membentuk rapat bersama. Nanti kita lihat perkembangannya. Pemerintah masih mempunyai jangka waktu yang panjang,” katanya.
Karena RUU HIP disetujui di dalam rapat paripurna sebagai RUU inisiatif DPR dan telah dikirimkan kepada pemerintah, Baleg beralasan penarikan RUU itu dari Prolegnas harus disampaikan oleh kesepakatan fraksi-fraksi dalam rapat Badan Musyawarah.
Berdasarkan ketentuan di dalam tata tertib DPR, penarikan usulan RUU dalam Prolegnas dapat dilakukan oleh DPR, baik melalui alat kelengkapan Dewan (AKD) maupun Baleg. Akan tetapi, khusus untuk RUU HIP, karena RUU itu disetujui di dalam rapat paripurna sebagai RUU inisiatif DPR dan telah dikirimkan kepada pemerintah, Baleg beralasan penarikan RUU itu dari Prolegnas harus disampaikan oleh kesepakatan fraksi-fraksi dalam rapat Badan Musyawarah. Selanjutnya, berdasarkan rapat Bamus, pimpinan DPR menggelar rapat paripurna untuk memutuskan penarikan RUU.
Baidowi mengatakan, sampai saat ini belum ada rapat-rapat fraksi lagi melalui Bamus di DPR untuk membahas penarikan RUU HIP. Kalaupun perubahan susbtansi dan nomenklatur RUU HIP ingin dilakukan pemerintah, hal itu bisa dilakukan karena hal itu merupakan praktik yang biasa dilakukan dalam pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR.
”Pemerintah, kan, punya waktu 60 hari menyikapi RUU HIP. Sekalipun ini usulan DPR, bisa saja kalau pemerintah ingin meneruskan, lalu ada modifikasi-modifikasi, termasuk mengganti judul. Selain itu, terhadap pasal-pasal yang tidak disetujui lalu diganti, itu juga boleh dilakukan. Kalau dari DPR, RUU itu dapat ditarik dulu dari Prolegnas, melalui kesepakatan fraksi-fraksi, baru diajukan lagi ke dalam Prolegnas dengan nama dan substansi baru,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, pihaknya belum bisa berkomentar terkait dengan rencana perubahan nomenklatur, berupa nama serta substansi RUU HIP, karena hal itu masih wacana.
”Nomenklatur yang ada di dalam prolegnas adalah RUU HIP. Kalau ada perubahan, apa pun namanya, kedudukannya merupakan RUU baru. Karena itu prosesnya harus sesuai mekanisme pembentukan perundang-undangan. Tidak bisa tambal sulam,” katanya.
Baca juga: Cabut RUU HIP dari Prolegnas