Pilkada di tengah pandemi berpotensi memantik praktik politik uang. Penyelenggaraan dan pengawasan tahapan pilkada akan makin berat di tengah sebagian besar daerah masih dihadapkan pada upaya penanganan Covid-19.
Oleh
Eren Marsyukrilla/Litbang Kompas
·5 menit baca
Kecenderungan makin besarnya praktik politik uang terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Sebanyak 70,1 persen responden menilai, penyelenggaraan pilkada di saat pandemi belum selesai berpotensi mendorong terjadinya politik uang. Kondisi serba sulit secara ekonomi yang dihadapi masyarakat sebagai dampak dari pandemi dikhawatirkan separuh responden akan dimanfaatkan oleh oknum yang berkepentingan dalam kontestasi pilkada guna meraih simpati elektoral.
Politik uang atau money politic dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai uang sogok. Secara umum, politik uang biasa dimaknai sebagai upaya untuk memengaruhi perilaku orang dengan cara memberikan imbalan tertentu. Pada konteks pemilu, politik uang adalah tindakan transaksional dengan cara menyuap seseorang untuk memengaruhi pilihan atau tindakan politiknya.
Tidak heran jika di tengah upaya perang terhadap politik uang yang makin gencar, praktik ini tetap saja ditemui. Data dari Badan Pengawas Pemilu, pada Pilkada 2018 tercatat ada 22 kasus politik uang yang diputus pengadilan. Sementara di Pemilu 2019, angkanya meningkat menjadi 82 kasus. Politik uang ibarat candu, dibenci tetapi juga sekaligus menggoda. Hal ini tentu menarik karena tak jarang yang terjadi di akar rumput menempatkan praktik kotor ini sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa.
Kondisi serba sulit secara ekonomi yang dihadapi masyarakat sebagai dampak dari pandemi dikhawatirkan separuh responden akan dimanfaatkan oleh oknum yang berkepentingan dalam kontestasi pilkada guna meraih simpati elektoral.
Hampir 70 persen responden bahkan bersikap ”netral” ketimbang menuntut dengan memilih membiarkan saja praktik politik uang, yang penting pemilih memilih sesuai hati nuraninya. Peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Dian Permata, menyebutkan, rata-rata pemilih ketika ditawari politik uang mengaku akan menerima.
”Alasannya beragam, seperti rezeki yang tidak boleh ditolak, sebagai ongkos coblosan dan pengganti pendapatan lantaran tidak bekerja pada pada hari itu, sebagai tambahan untuk kebutuhan dapur dan mencukupi kebutuhan sehari-hari,” ungkap Dian Permata dalam diskusi daring bertema ”Politik Uang di Pilkada 2020: Madu atau Racun”, Kamis (2/7/2020).
Hal yang sama juga diungkap responden dalam jajak pendapat Kompas. Meski mayoritas publik mengaku belum pernah melihat secara langsung politik uang, ada 36,7 persen responden yang mengaku pernah menerimanya.
Modus politik uang bermacam-macam, mulai dari pembagian sembako, uang tunai, voucer, hingga bantuan sosial dalam rangka penanganan Covid-19. Tidak kurang dari sepertiga responden mengatakan sering menemui praktik politik uang berupa pembagian uang atau sembako dari rumah ke rumah ketika masa kampanye politik. Sementara 23 persen responden lain menjumpai praktik politik uang jelang waktu pencoblosan.
Bantuan sosial
Salah satu potensi besar terjadinya praktik politik uang atau transaksi politik bersumber dari program bantuan sosial, terutama yang saat ini sedang digencarkan dalam upaya penanganan Covid-19 di daerah. Posisi kepala daerah petahana cukup strategis untuk menjadikan ajang bantuan sosial sebagai alat untuk berkampanye dan memengaruhi pemilih.
Salah satu potensi besar terjadinya praktik politik uang atau transaksi politik bersumber dari program bantuan sosial, terutama yang saat ini sedang digencarkan dalam upaya penanganan Covid-19 di daerah.
Kasus pemasangan stiker foto Bupati Klaten di botol pembersih tangan (hand sanitizer) bantuan dari Kementerian Sosial adalah contoh nyata bagaimana bantuan sosial pun bisa menjadi media kampanye guna memengaruhi pemilih. Hal yang sama juga terjadi di Kota Bandar Lampung, Kabupaten Way Kanan, dan Kabupaten Lampung Tengah (Lampung), Kabupaten Kaur (Bengkulu), Kabupaten Sumenep (Jawa Timur), serta sejumlah daerah di Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.
Jajak pendapat Kompas awal Mei lalu mencatat bagaimana soal bantuan sosial ini semestinya tidak dikaitkan dengan agenda politik dan pencitraan. Pengawasan menjadi penting agar bantuan ini tetap jadi bagian dari kerja sosial kemanusiaan. Sebagian besar responden (79 persen) tidak setuju jika pemberian bansos disusupi kepentingan politis (Kompas, 11 Mei 2020).
Tak hanya pada masa kampanye dan mendekati waktu pemilihan, gerilya untuk menarik suara pemilih dan praktik politik transaksional sudah terbuka sejak awal dimulainya pencalonan. Bahkan, hal itu terjadi saat proses verifikasi faktual jalur perseorangan yang dimulai 24 Juni lalu.
Gejala politik uang juga melibatkan aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana kasus di Nusa Tenggara Barat, saat 20 ASN dilaporkan karena mendukung salah satu calon yang maju dalam Pilkada 2020. Padahal, pegawai negeri seharusnya bersikap netral.
Jajak pendapat Kompas menangkap, sebanyak 52 persen responden yang kebetulan tinggal di wilayah yang akan menggelar pilkada akhir tahun ini mengatakan khawatir terhadap potensi penyelewengan karena keadaan sosial ekonomi masyarakat yang sedang tidak kondusif.
Keputusan untuk melanjutkan tahapan pilkada di tengah suasana pandemi Covid-19 sebetulnya telah memunculkan kritik publik. Jajak pendapat menangkap, sebanyak 52 persen responden yang kebetulan tinggal di wilayah yang akan menggelar pilkada akhir tahun ini mengatakan khawatir terhadap potensi penyelewengan karena keadaan sosial ekonomi masyarakat yang sedang tidak kondusif.
Kesepakatan menggelar pilkada di ujung tahun merupakan hasil musyawarah pemerintah, DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada rapat Komisi II DPR, 27 Mei 2020 lalu. Sebelumnya, di awal Mei 2020, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perppu Nomor 2/2020 untuk penundaan pelaksanaan pilkada yang semestinya pada September 2020.
Pengawasan
Besarnya celah penyelewengan membuat tugas pengawasan pada pilkada kali ini menjadi lebih berat. Kerja para pengawas di lapangan perlu dioptimalkan. Salah satu penyebab kegagalan mencegah dan mengungkap praktik politik uang ini adalah ketiadaan kepedulian dari masyarakat. Jajak pendapat merekam, bagian terbesar responden menyatakan tidak akan melaporkan tindakan praktik politik uang, baik yang diketahuinya maupun dialami langsung.
Keengganan publik untuk melaporkan tindak suap pemilihan tentu menjadi dilema tersendiri ketika publik juga menilai kinerja pengawasan selama ini kurang optimal. Tidak kurang dua pertiga bagian responden menilai pengawasan dan penindakan kasus politik uang belum memadai dan memuaskan. Keberhasilan pengawasan pilkada juga membutuhkan pengawasan partisipatif dari publik.
Bagaimanapun, politik uang bisa menjadi benalu dalam demokrasi melalui suap dalam kontestasi politik. Untuk itu, selain pengawasan, pendidikan politik kepada pemilih penting dilakukan untuk memperkuat kesadaran pemilih bahwa suap memiliki daya rusak pada demokrasi.