Reaksi sebagian warganet terhadap video kemarahan Presiden Jokowi terhadap para menterinya cenderung negatif. Dalam konteks kekuasaan Jawa, kemarahan itu bisa dibaca sebagai pertanda makin melemahnya kekuasaan Jokowi.
Oleh
INGKI RINALDI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemarahan Presiden Joko Widodo terhadap kinerja para menterinya dalam menangani pandemi Covid-19 ditanggapi sebagian masyarakat pengguna media sosial. Kemarahan Presiden tersebut juga dinilai menunjukkan kecenderungan makin melemahnya kekuasaan Presiden.
Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Didik J Rachbini, Senin (6/7/2020), dalam pemaparan hasil analisis sentimen media sosial secara daring mengatakan, sentimen negatif publik terkait isu kemarahan Presiden itu mencapai 45 persen. Adapun sentimen positif terhadap isu tersebut hanya 25 persen.
Sentimen negatif publik terkait isu kemarahan Presiden itu mencapai 45 persen. Adapun sentimen positif terhadap isu tersebut hanya 25 persen.
Pemaparan riset media sosial itu dilakukan LP3ES dan DroneEmprit dengan tema ”Memaknai Kemarahan Jokowi: Analisa Big Data dan Budaya Politik”. Studi sepanjang 26 Juni-3 Juli tersebut dilakukan dengan mesin analitis Media Kernels di media sosial Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube. Adapun kata kunci yang dipergunakan adalah ”Jokowi” dan ”Joko Widodo”.
Selain itu, LP3ES dan DroneEmprit memantau sejumlah media daring. Menurut Didik, posisi pemberitaan yang ada cenderung netral.
Ia menambahkan, sumber data terbanyak dalam pemantauan percakapan di media sosial itu berasal dari Twitter dengan sekitar 63.000 unggahan. Adapun dari Facebook hanya 875 unggahan. Sementara Youtube dan Instagram, masing-masing 649 unggahan dan 607 unggahan.
Menurut Didik, kemarahan yang dilempar kepada publik itu cenderung menjadi drama. Hal tersebut dinilai menutupi kinerja yang ada dan membuat kehidupan demokrasi menjadi tidak substantif.
”Sekarang orang-orang kritis, dan (menganggap kemarahan) seperti itu tidak sepatutnya,” sebut Didik.
Kemarahan yang dilempar kepada publik itu cenderung menjadi drama. Hal tersebut dinilai menutupi kinerja yang ada dan membuat kehidupan demokrasi menjadi tidak substantif.
Analis senior Drone Emprit Rizal Nova Mujahid pada kesempatan yang sama mengatakan, peta dukungan dan akun-akun yang mendukung Jokowi memang dilakukan mereka yang selama ini konsisten mendukung Jokowi dalam berbagai isu. Sementara akun-akun yang kontra dengan Jokowi juga berasal dari akun-akun yang konsisten berlawanan dengan Jokowi dalam berbagai isu.
Director Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengatakan, jika dimaknai dari konsep kekuasaan dalam budaya Jawa, kemarahan tersebut dapat dibaca sebaagai pertanda semakin melemahnya kekuasaan politik Jokowi. Apabila Jokowi masih kuat, ia tidak perlu marah seperti itu.
Pada sisi lain, kemarahan Jokowi juga menunjukkan makin tajamnya perseteruan elite oligark. Para elite ini, imbuh Wijayanto, bersaing untuk mengamankan posisi dalam Pemilu 2024.
Sementara dalam konteks penanganan pandemi, Wijayanto mengatakan, hal tersebut menandakan kecenderungan hilangnya kepemimpinan menyusul tidak dijalankannya instruksi dari presiden. Berikutnya, hal ini menjadi salah satu sebab kegagalan dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Jika dimaknai dari konsep kekuasaan dalam budaya Jawa, kemarahan tersebut dapat dibaca sebagai pertanda semakin melemahnya kekuasaan politik Jokowi. Apabila Jokowi masih kuat, maka ia tidak perlu marah seperti itu.
Fakta tersebut masih ditambah dengan kenyataan bahwa setelah kemarahan itu pun, pada akhirnya tidak ada pergantian menteri dalam kabinet yang dilakukan. Dalam konteks politik hari ini, tatkala presiden makin lemah, maka gesekan persaingan kekuatan oligark untuk mencuri permulaan kampanye Pemilu 2024 bakal makin keras.
”(Sebab) Tidak ada tokoh yang ditakuti,” sebut Wijayanto.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno memadamkan wacana bongkar kabinet sebagaimana diserukan Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu. Alasannya, Kabinet Indonesia Maju telah melaksanakan teguran keras Presiden dan mencatatkan sejumlah perbaikan selama beberapa pekan terakhir.
”Dalam waktu yang relatif singkat, kita melihat progres yang luar biasa di kementerian dan lembaga. Ini antara lain bisa dilihat dari serapan anggaran yang meningkat dan program-program yang sudah mulai berjalan. Artinya apa? Artinya teguran keras tersebut punya dampak yang signifikan. Teguran keras tersebut dilaksanakan secara cepat oleh kabinet. Jadi, ini progres yang bagus. Kalau progresnya bagus, ngapain di-reshuffle. Intinya begitu,” kata Pratikno, Senin (6/7/2020), sembari mengungkapkan bahwa isu tersebut kini tak relevan lagi.
Wacana membongkar kabinet itu disampaikan Presiden Jokowi pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020). Saat itu, Presiden menumpahkan kekesalannya kepada para menteri dan pimpinan lembaga yang dianggap kurang sensitif terhadap krisis Covid-19 sehingga penanganan pandemi di bawah harapan. Di bagian akhir video yang dipublikasikan pada 28 Juni itu, Presiden mengancam akan membongkar kabinet, bahkan juga membubarkan lembaga.