Saat Presiden Kembali Blusukan di Tengah Pandemi Covid-19
›
Saat Presiden Kembali Blusukan...
Iklan
Saat Presiden Kembali Blusukan di Tengah Pandemi Covid-19
Presiden Joko Widodo kembali blusukan setelah hampir tiga bulan "beristirahat". Blusukan di tengah pandemi Covid-19 membuat sejumlah penyesuaian harus dilakukan. Apa itu? Apa pula tafsir publik atas blusukan itu?
Oleh
ANITA YOSSIHARA/NINA SUSILO
·5 menit baca
Pesawat kepresidenan Indonesia 1 lepas landas dari Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (25/6/2020) pagi, tepat pukul 08.15. Pesawat Boeing Business Jet itu terbang perdana membawa rombongan Presiden Joko Widodo setelah hampir tiga bulan ”beristirahat”.
Pagi itu, Presiden memang kembali melakukan kunjungan kerja ke daerah setelah 84 hari fokus bekerja di ibu kota negara. Kunjungan kerja terakhir Presiden dilakukan 1 April 2020 untuk meninjau pembangunan rumah sakit darurat Covid-19 di Pulau Galang, Kepulauan Riau.
Surabaya dan Kabupaten Banyuwangi menjadi tujuan kunjungan kerja Presiden kali ini.
Bersama Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio, Presiden mendatangi Surabaya karena ibu kota Jawa Timur itu termasuk wilayah dengan tingkat penularan Covid-19 yang tinggi atau masuk zona merah. Presiden ingin memastikan penanganan Covid-19 bisa berjalan lebih cepat agar angka penderita Covid-19, terutama korban akibat Covid-19, tidak terus bertambah.
Adapun di Banyuwangi, Presiden meninjau persiapan penerapan normal baru dalam pelayanan publik di pasar tradisional Rogojampi. Di sana terdapat pasar pelayanan publik yang dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Tak hanya mengatur jarak antarwarga yang mengantre, semua warga yang datang juga diwajibkan mengenakan masker dan pelindung wajah, membersihkan tangan, serta melakukan pengecekan suhu tubuh.
Melakukan lawatan saat pandemi Covid-19 belum terkendali membuat Sekretariat Kepresidenan harus melakukan persiapan ekstra. Serangkaian protokol kesehatan harus diikuti seluruh anggota rombongan Presiden, tanpa kecuali. Tak cukup hanya memakai masker dan mencuci tangan, seluruh anggota rombongan dan kru pesawat diwajibkan mengikuti serangkaian protokol kesehatan lainnya.
Sebagai contoh, semua yang akan melakukan perjalanan bersama Presiden harus melalui pemeriksaan kesehatan, termasuk di dalamnya menjalani tes cepat Covid-19.
”Sebelum berangkat, para pendamping Bapak Presiden, baik itu menteri, Paspampres, dan perangkat lainnya di-rapid test (tes cepat). Ini untuk memastikan semua aman dari Covid-19,” kata Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono.
Tak hanya itu, kapasitas pesawat kepresidenan yang digunakan selama kunjungan kerja juga dikurangi. Jika pada kondisi normal hampir semua kursi di pesawat kepresidenan diisi penuh, saat ini hanya diisi separuhnya. Dari biasanya 55 penumpang menjadi tinggal 25 penumpang.
Memakai masker, mencuci tangan, tes cepat, serta pembatasan jumlah penumpang pesawat itu akan menjadi kebiasaan baru dalam kunjungan kerja Presiden. Protokol kesehatan ketat diberlakukan demi menjaga seluruh rombongan Presiden aman dari Covid-19.
Ini seperti terlihat pula saat kunjungan kedua Presiden Joko Widodo ke Semarang dan Batang, Jawa Tengah, Selasa (30/6/2020). Presiden bersama rombongan terbang dengan pesawat kepresidenan ke Semarang untuk mengikuti rapat percepatan penanganan Covid-19 di Semarang. Selanjutnya, Presiden meninjau lokasi Kawasan Industri Terpadu Batang di Desa Ketanggan, Kecamatan Gringsing, Batang.
Tak tahan blusukan
Blusukan memang sudah menjadi kebiasaan Presiden Jokowi sejak lama, bahkan saat masih Wali Kota Solo. Ketika menjabat Presiden, saban bulan, ia tidak pernah absen blusukan ke daerah. Blusukan menjadi caranya untuk mengetahui secara riil persoalan yang dihadapi masyarakat.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo menyampaikan, sebelum kunjungan kerja ke Jawa Timur, sebenarnya Presiden sudah tidak tahan blusukan ke daerah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Pandemi Covid-19 membuatnya harus menahan diri.
Sekalipun blusukan penting supaya Presiden mengetahui persoalan yang dihadapi di daerah secara riil, terutama di tengah pandemi Covid-19, kunjungan kerja ke daerah di tengah pandemi rawan pula disalahtafsirkan oleh publik.
Ini seperti disampaikan pengajar Kebijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo, dan pengajar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Gabriel Lele, secara terpisah, beberapa waktu lalu.
Kunjungan, menurut keduanya, bisa disalahartikan sebagai ”undangan” bagi masyarakat untuk kembali beraktivitas di luar rumah karena kondisi sudah aman dari Covid-19. ”Undangan” itu pun bisa dengan mudahnya diterima publik terlebih karena kondisi psikologis masyarakat sudah jenuh akibat terus berada di rumah.
”Orang akan melihat, kenapa Presiden jalan-jalan, sedangkan kami tidak,” kata Gabriel. Padahal, realitanya, kondisi pandemi Covid-19 di Tanah Air sama sekali belum terkendali. Hingga kini, jumlah penderita Covid-19 terus meningkat, begitu pula angka korban jiwa.
Akan lebih baik, menurut dia, Presiden tetap memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengetahui persoalan-persoalan di daerah, misal rapat telekonferensi dengan kepala-kepala daerah. Metode yang sebenarnya telah diterapkan Presiden sejak awal pandemi Covid-19.
Aspek simbolik
Dengan berkunjung ke daerah di tengah ancaman Covid-19 yang belum mereda, Gitadi pun melihat Presiden hanya mengutamakan aspek simbolik, yakni simbol kehadiran untuk menunjukkan adanya kepedulian dan perhatian Presiden kepada masyarakat.
Namun, di luar aspek tersebut, dari seorang pemimpin diharapkan pula muncul sikap keteladanan. Dalam kondisi pandemi, teladan yang diharapkan dari pemimpin adalah membatasi kegiatan di ruang terbuka guna memutus rantai penularan Covid-19 sehingga rakyatnya pun mengikutinya.
”Apakah semua sepakat bahwa Covid-19 ini betul-betul bahaya? Untuk masyarakat, bahaya tersebut jadi tidak terlihat nyata, ditambah lagi ada tuntutan perut. Teladan tidak optimal ditunjukkan oleh para pemimpin,” ungkap Gitadi.
Maka, sekalipun baik niat Presiden untuk kembali blusukan, lawatan Presiden apalagi ke zona merah bisa saja menimbulkan tafsir, situasi dan kondisi sudah baik-baik saja. Tafsir yang bisa mendorong orang beraktivitas bebas di luar rumah dan berpotensi membuat mereka tertular Covid-19.
Memang, berulang kali Presiden telah mengingatkan, ancaman Covid-19 di Tanah Air belum berakhir. Masyarakat diminta tetap waspada dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Akan tetapi, seperti dikemukakan oleh Gitadi, tak cukup hanya dengan pernyataan, tindak tanduk pemimpin akan dijadikan rujukan rakyatnya