Status RI Bisa Turun Kembali Jadi Negara Berpenghasilan Menengah Rendah
›
Status RI Bisa Turun Kembali...
Iklan
Status RI Bisa Turun Kembali Jadi Negara Berpenghasilan Menengah Rendah
Tahun ini, status Indonesia bisa kembali lagi menjadi negara berpenghasilan menengah rendah. Kendati begitu, Indonesia tetap perlu memitigasi potensi melebarnya ketimpangan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 bisa menyebabkan pendapatan nasional bruto per kapita Indonesia tahun ini turun. Ketimpangan pendapatan juga berpotensi melebar. Oleh karena itu, transformasi ekonomi mesti dilakukan dengan pendekatan berbasis wilayah.
Per 1 Juli 2020, Bank Dunia mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah tinggi (upper middle income) dari sebelumnya negara berpendapatan menengah rendah (lower middle income). Klasifikasi itu berdasarkan pendapatan nasional bruto (gross national income/GNI) per kapita pada 2019.
Pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita Indonesia 4.050 dollar AS. Adapun kelompok negara berpendapatan menengah tinggi memiliki PNB per kapita 4.046 dollar AS-12.535 dollar AS, sementara PNB per kapita kelompok negara berpendapatan menengah rendah berkisar 1.036 dollar AS-4.045 dollar AS.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander kepada Kompas, Minggu (5/7/2020), mengatakan, pandemi Covid-19 yang penuh ketidakpastian akan menurunkan PNB per kapita semua negara di dunia pada 2020. Indonesia berpotensi jatuh kembali ke kelompok negara berpendapatan menengah rendah.
”Ada kemungkinan, bukan hanya Indonesia, melainkan juga banyak negara di dunia bisa turun level karena klasifikasi pendapatan mereka berubah akibat imbas Covid-19,” ujarnya.
Pandemi Covid-19 yang penuh ketidakpastian akan menurunkan PNB per kapita semua negara di dunia pada 2020. Indonesia berpotensi jatuh kembali ke kelompok negara berpendapatan menengah rendah.
Menurut Frederico, kendati meningkat, PNB per kapita Indonesia tergolong rentan karena berada di batas bawah kelompok negara berpendapatan tinggi. PNB per kapita Indonesia meningkat sekitar 210 dollar AS dari sebelumnya 3.840 dollar AS pada 2018. Peningkatan PNB per kapita itu karena pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun lalu masih kisaran 5 persen.
Untuk itu, Indonesia mesti memperkuat kerangka makroekonomi karena ketidakpastian masa depan masih tinggi. ”Kerangka makroekonomi yang solid akan mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan pandemi. Pertumbuhan ekonomi berimplikasi terhadap peningkatan PNB per kapita yang lebih tinggi,” katanya.
Terjun melihat masalah
Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian periode 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menuturkan, upaya menjaga stabilitas ekonomi perlu dibarengi dengan transformasi dan reformasi. Namun, transformasi dan reformasi yang ingin dilakukan tak bisa hanya mengacu pada literatur yang ada.
”Pembuat kebijakan harus benar-benar terjun melihat masalah di dalam negeri. Tak bisa hanya mengandalkan ’buku panduan’,” ujarnya dalam peluncuran dan bedah buku ”Terobosan Menghadapi Perlambatan Ekonomi” yang digelar Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi Bisnis UI, Sabtu (4/7/2020).
Pembuat kebijakan harus benar-benar terjun melihat masalah di dalam negeri. Tak bisa hanya mengandalkan ’buku panduan’.
Buku tersebut ditulis oleh 12 ekonom alumnus FEB UI, antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu, ekonom Faisal Basri dan Lana Lana Soelistianingsih. Beberapa topik yang ditulis terkait isu-isu fiskal, moneter, kemiskinan, ketimpangan, investasi, dan perdagangan.
Transformasi ekonomi, lanjut Dorodjatun, tak boleh berhenti kendati Indonesia dalam kondisi pandemi. Saat ini, transformasi harus diarahkan per wilayah untuk mengatasi ketimpangan Jawa dan luar Jawa. Transformasi juga mesti mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomi dalam pembangunan.
Koefisien atau rasio gini Indonesia terus menciut dari 0,402 pada tahun 2015 menjadi 0,382 pada tahun 2019. Koefisien gini menjadi indikator ketimpangan kemakmuran dengan skor 0-1, makin tinggi angka menunjukkan makin timpang.
Menteri Keuangan periode 2013-2014 M Chatib Basri menuturkan, selama ini kebijakan pembangunan terkesan hanya fokus pada faktor ekonomi. Padahal, ada faktor-faktor non-ekonomi yang mesti dipertimbangkan pemerintah, seperti politik dan sosial. Situasi ini yang akhirnya memperlambat pembangunan nasional.
”Teori ekonomi berbicara mengenai pentingnya reformasi, tetapi teori ekonomi itu sendiri bisu tentang bagaimana melakukan reformasi,” kata Chatib.
Teori ekonomi berbicara mengenai pentingnya reformasi, tetapi teori ekonomi itu sendiri bisu tentang bagaimana melakukan reformasi. (M Chatib Basri)
Menurut Chatib, agenda reformasi dan kebijakan transformasi ekonomi membutuhkan peran institusi dan dukungan politik. Faktor-faktor non-ekonomi krusial dalam situasi yang penuh ketidakpastian seperti saat ini. Pemerintah harus bisa mengambil kebijakan-kebijakan yang paling memungkinkan di tengah keterbatasan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah mendengar seluruh aspirasi, tetapi dalam praktiknya pengambilan kebijakan tidak bisa mengakomodasi semua kepentingan. Terlebih pemerintah kini dihadapkan pada situasi serba mendesak yang membutuhkan respons kebijakan cepat agar ekonomi tidak semakin terperosok.
Koreksi pertumbuhan ekonomi menyebabkan dilema kebijakan makin pelik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diproyeksikan minus 0,4 persen sampai dengan 1 persen. Jauh lebih rendah dari proyeksi awal 5,3 persen. Dalam situasi serba terbatas, respons kebijakan harus diarahkan untuk mencegah pemburukan lebih dalam.
”Pengambil kebijakan sering kali tidak dihadapkan pada kemewahan untuk mendesak kebijakan dalam situasi tenang,” kata Sri Mulyani.