Warga Abaikan Protokol Kesehatan Saat Lonjakan Kasus Semakin Tinggi
›
Warga Abaikan Protokol...
Iklan
Warga Abaikan Protokol Kesehatan Saat Lonjakan Kasus Semakin Tinggi
Kasus positif Covid-19 di Jakarta terus terjadi hingga mencapai penambahan harian sebesar 256 pasien pada 5 Juli 2020. Di tengah penambahan sebesar itu, warga justru semakin mengabaikan protokol kesehatan.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
Ruas jalan raya di RW 001, Kelurahan Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat, begitu padat kendaraan pada Senin (6/7/2020) siang. Salah satu penyebab keramaian adalah toko wadah plastik yang tampak tak henti bertransaksi meski pekerja sedang rehat saat tengah hari.
Selain ruas jalan yang ramai, warga juga tampak beraktivitas di gang-gang permukiman. Padahal, RW 001 di Jembatan Besi adalah satu dari puluhan kawasan zona merah penularan Covid-19 yang masuk daftar pantauan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Anam (28), pengojek yang juga warga setempat, melenggang di salah satu gang tanpa rasa cemas. Dia hanya tahu ada kabar simpang siur warga yang positif Covid-19 meski belum pernah benar-benar menemuinya. Kekhawatiran dia juga minim karena tidak ada tanda kawasan zona merah di sekitar rumah, seperti di wilayah RW lain. ”Saya memang dengar di RW 001, katanya, ada yang positif, tetapi sepertinya bukan di deretan gang sini. Kalau bukan daerah sini, sepertinya masih aman. Mudah-mudahan,” kata pria beranak satu ini.
Kondisi RW 001 di Jembatan Besi ini mewakili sebagian wilayah di Jakarta yang semakin ramai dan kurang waspada terhadap Covid-19. Tidak jauh dari Jembatan Besi, ada RW 011, Kelurahan Angke, Tambora, yang juga zona merah. Kondisi di RW 011 Angke pun minim penerapan protokol jaga jarak.
Gambaran aktivitas warga di kawasan Jembatan Besi mewakili sikap warga yang mengabaikan protokol kesehatan di sejumlah wilayah Jakarta. Bersamaan dengan itu, kasus baru pasien positif Covid-19 terus bertambah. Pada Sabtu (4/7) lalu, 16 orang di RW 006 dan RW 014 Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dinyatakan positif Covid-19.
Sementara per 5 Juli 2020 terjadi penambahan kasus harian tertinggi di Jakarta, yakni 256 pasien. Angka itu mengalahkan rekor kasus pada 9 Juni yang mencapai 239 pasien dalam sehari.
Kepala Subbagian Lembaga Kemasyarakatan Biro Pemerintahan DKI Jakarta Rizky Anggoro Adhi menyatakan, Jakarta masih berkutat untuk menghilangkan zona merah penularan Covid-19. Dia menyebutkan pada 26 Juni, masih ada sekitar 27 RW zona merah di Jakarta. Jumlah ini menurun dari catatan 66 RW zona merah pada Mei silam.
”Jumlah 27 wilayah RW zona merah terdiri dari 5 RW yang masih terinfeksi sejak Mei silam serta 22 RW lain adalah zona penularan baru,” ujarnya, seperti dilaporkan Kompas.com. Wilayah tersebut semestinya menerapkan pembatasan sosial berskala lokal (PSBL) demi mencegah penularan agar tidak menjadi masif.
Penerapan PSBL yang semestinya berlaku di zona merah pun tidak tampak di lapangan. Dalam praktiknya, warga masih banyak bepergian dan tidak bermasker. Kondisi semacam ini banyak dijumpai baik di Jembatan Besi maupun Angke.
Mamat (47), warga Jakarta Timur, yang bekerja di pabrik konfeksi wilayah Angke tampak bepergian tanpa masker. Saat ditanyai, dirinya mengakui bahwa dia kerap lupa memakai masker saat berada di lingkungan kerja.
Sejumlah warga yang lalu lalang dengan sepeda motor juga kadang tampak tak bermasker. Ada pula pengendara yang bermasker, tetapi bagian mulutnya terbuka, atau tidak dipakai secara benar.
Kondisi tersebut selaras dengan survei indeks persepsi risiko yang dibuat oleh gerakan masyarakat Lapor Covid 19. Survei yang melibatkan 154.471 responden di Jakarta selama periode 29 Mei-20 Juni menilai skor persepsi risiko warga dengan skor 3,30. Angka ini mendekati kategori rendah (3,00) dan jauh dari kategori agak tinggi (4,00).
Associate Professor dari Social Resilience Lab Nanyang Technological University (NTU) Singapura Sulfikar Amir menjelaskan, banyak responden yang meyakini tidak akan tertular Covid-19. Sekitar 77 persen responden yakin kemungkinan tertular Covid-19 sangat kecil.
Sulfikar melanjutkan, anggapan responden itu dapat berimplikasi pada kepatuhan sosial dalam menjalankan protokol kesehatan. ”Mungkin mereka memakai masker, tetapi tidak rapat, atau mereka mengaku berjaga jarak, tetapi tidak konstan. Hal ini harus dilihat praktiknya di lapangan,” ujarnya dalam telekonferensi pers, Minggu (5/7/2020).
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan menilai longgarnya protokol kesehatan karena edukasi kepada warga yang lemah. Protokol kesehatan dan praktik PSBL akan mencegah laju transmisi Covid-19 apabila dijalankan secara konsisten.
”Saya pikir edukasi di tingkat warga harus terus dijalankan secara terus-menurus sebab, lokasi seperti pasar dan permukiman warga belakangan ini menjadi rawan. Pembatasan sosial semestinya berlaku ketat di sana,” kata Ede saat dihubungi sore ini.
Sulfikar menyarankan, perpanjangan PSBB yang berlaku saat ini harus disambung dengan kebijakan yang bersifat jangka panjang. Ia memandang perpanjangan PSBB untuk 14 hari selanjutnya hanya akan menjadi solusi jangka pendek. ”Harus ada langkah lebih lanjut terkait pencegahan transmisi lokal yang tertuang lewat kebijakan strategis, tidak hanya mengandalkan perpanjangan PSBB saja,” tuturnya.