Gunakan Pasal 263 KUHAP, Benarkah Putusan MA Joko Tjandra Batal demi Hukum?
›
Gunakan Pasal 263 KUHAP,...
Iklan
Gunakan Pasal 263 KUHAP, Benarkah Putusan MA Joko Tjandra Batal demi Hukum?
Terpidana buron kasus ”cessie” Bank Bali, Joko S Tjandra, mengggunakan celah hukum Pasal 263 Ayat (1) KUHAP untuk bisa melenggang dari jeratan hukum. Namun, putusan MK yang dijadikan dasar tak bisa batalkan putusan MA.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasal 263 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP digunakan oleh terpidana Joko S Tjandra untuk melenggang dari jeratan hukum. Melalui pengacaranya, Joko pun menilai putusan Mahkamah Agung PK No 12/PIDSUS/2009 batal demi hukum. Benarkah argumen tersebut?
Sejumlah pengamat hukum tata negara dan hukum pidana menilai bahwa klaim pengacara Joko S Tjandra itu justru dipertanyakan. Selama ini, Mahkamah Agung menilai bahwa kejaksaan sebagai wakil negara harus melindungi kepentingan umum ketika ada esensi keadilan yang terganggu. Kejaksaan Agung dinilai berhak mengajukan PK ke MA.
Pada 11 Juni 2009, MA sebelumnya mengabulkan permohonan PK Kejaksaan, dan memutus Joko Tjandra dihukum dua tahun penjara serta denda Rp 15 juta. Sehari sebelum putusan tersebut, yaitu pada 10 Juni 2009 malam, Joko Tjandra justru kabur ke Papua Niugini dengan menggunakan pesawat carteran dari Bandara Hali Perdanakusuma.
Putusan MA sudah jauh lebih dulu berkekuatan hukum tetap (inkrah) sejak tahun 2009, dan dapat dieksekusi. Kekosongan hukum, yaitu putusan MA yang tidak segera dieksekusi, justru menjadi celah bagi terpidana untuk melakukan upaya hukum lainnya.
Dalam arsip pemberitaan Kompas, saat Kejaksaan hendak mengeksekusi putusan MA, Joko melalui pengacaranya selalu berdalih bahwa pengajuan upaya hukum luar biasa (PK) merupakan hak terpidana atau ahli warisnya. Hal tersebut mengacu pada Pasal 263 KUHAP. Kini, setelah 11 tahun menjadi buronan, alasan itu pun masih digunakan. Joko kemudian malah mengajukan PK terhadap putusan MA itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni lalu.
”Putusan MA sudah jauh lebih dulu berkekuatan hukum tetap (inkrah) sejak tahun 2009 dan dapat dieksekusi. Kekosongan hukum, yaitu putusan MA yang tidak segera dieksekusi, justru menjadi celah bagi terpidana untuk melakukan upaya hukum lainnya,” kata Sekretaris Jenderal Perhimpuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani saat dihubungi pada Selasa (7/7/2020) di Jakarta.
Sementara itu, Julius Ibrani menilai bahwa karut-marut sistem hukum di Indonesia ini selalu menjadi celah dan dimanfaatkan banyak pihak untuk berkelit dari proses hukum. Pelaku kejahatan selalu mencari celah hukum agar dapat bebas dari segala tuntutan. Ke depan, perlu ada revisi peraturan agar dapat memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan.
Tak berlaku surut
Setelah kabur ke Papua Niugini, istri Joko, Anna Boentaran, kemudian mengajukan uji materi Pasal 263 Ayat (1) KUHAP terhadap UUD 1945. MK melalui putusan 33/PUU-XIV/2016 menegaskan bahwa jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan permohonan MK, kecuali terpidana atau ahli warisnya. MK menilai bahwa permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya terhadap putusan pemidanaan.
Pertimbangannya adalah PK ditujukan sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia (HAM), bukan kepentingan negara atau korban. Apabila jaksa penuntut umum tetap diberikan hak mengajukan PK, dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli waris dan tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas atau lepas.
Putusan MK Nomor 33/PUU-XVI/2016 ini kemudian dianggap oleh pengacara Joko, Andi Putra Kusuma, membuat putusan PK dari MA, batal demi hukum. Namun, pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menilai bahwa putusan MK berlaku ke depan dan tidak berlaku surut. Putusan MA yang memvonis Joko Tjandra dua tahun dan denda Rp 15 juta muncul terlebih dahulu. Akibatnya, aturan MK tidak berlaku dalam putusan itu. Apalagi, MK dalam putusannya juga tidak menyebutkan bahwa putusan itu membatalkan putusan MA.
”Putusan itu tidak berlaku surut. Oleh karena itu, putusan MA tidak berlaku dalam ruang lingkup putusan MK itu,” kata Feri.
Putusan itu tidak berlaku surut. Oleh karena itu, putusan MA tidak berlaku dalam ruang lingkup putusan MK itu.
Dari sisi hukum tata negara pun, menurut Feri, putusan MK tidak berwenang untuk membatalkan putusan MA. Masing-masing kekuasaan kehakiman itu berdiri sendiri. Dalam Pasal 24 UUD 1945 disebutkan bahwa kedua institusi itu sama-sama tidak berwenang mengatur kewenangan masing-masing. Termasuk, membatalkan putusan terhadap suatu perkara yang sudah diputuskan.
Apalagi, menurut Feri, putusan dari Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat. Siapa saja yang berkaitan dengan putusan itu berdampak langsung. Jadi, tidak ada upaya hukum lain yang dapat mengesampingkan putusan MA tersebut. Termasuk di antaranya, proses pengujian pasal KUHAP di Mahkamah Konstitusi.
Dalam kasus ini, bagi Feri yang layak dipertanyakan justru adalah mengapa negara melalui pengadilan negeri justru memberikan ruang kepada terpidana untuk melakukan haknya dalam proses hukum. Hak dalam pengajuan proses hukum itu adalah pengajuan PK di PN Jaksel. Padahal, terpidana ini sudah melarikan diri selama 11 tahun. Melarikan diri dari hukuman pidana juga termasuk tindakan pidana lainnya. Namun, pertanyaannya, mengapa kemudian negara memberikan fasilitas terhadap orang yang mengabaikan putusan MA.