Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadikan guru penggerak sebagai ujung tombak transformasi pendidikan. Keberadaan mereka perlu didukung sarana dan prasarana pendidikan serta politik yang berpihak pada pendidikan.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Reformasi pendidikan harus berawal dan berakhir pada guru. Demikian dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim saat peluncuran secara virtual Merdeka Belajar Episode 5: Guru Penggerak, Jumat (3/7/2020), di Jakarta.
Guru menjadi kunci sukses reformasi sistem pendidikan yang ditempuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui kebijakan merdeka belajar. Bukan sekadar guru yang baik dan berkualitas, tetapi juga guru yang mempunyai kemauan untuk berinovasi melakukan perubahan dalam pendidikan.
Dan persyaratan tersebut, kata Nadiem, ada pada guru yang disebut sebagai guru penggerak, guru yang mampu memimpin perubahan dalam ekosistem pendidikan. Selama ini sudah ada guru penggerak, tetapi belum terfasilitasi dan belum terwadahi. Jumlahnya pun masih sangat terbatas.
Pada tahap awal, Kemendikbud akan melatih 2.800 guru dan akan terus meningkat tiap tahun sehingga pada 2024 paling tidak terdapat 405.000 guru penggerak yang tersebar merata di semua wilayah. Para guru penggerak diharapkan menjadi kepala sekolah, pengawas sekolah, atau instruktur dalam program pelatihan guru yang menjadi ujung tombak transformasi pendidikan.
Diharapkan, dengan adanya guru penggerak, 5-7 tahun ke depan kualitas pembelajaran meningkat, dan dengan demikian kualitas sumber daya manusia yang dihasilkannya pun meningkat.
Transformasi pendidikan melalui pembelajaran yang berpusat pada siswa serta pembelajaran yang relevan dan kontekstual dimaksudkan untuk mendorong siswa tumbuh dan berkembang secara menyeluruh. Diharapkan, dengan adanya guru penggerak, 5-7 tahun ke depan kualitas pembelajaran meningkat, dan dengan demikian kualitas sumber daya manusia yang dihasilkannya pun meningkat.
Hasil tes Program Asesmen Siswa Internasional (PISA) 2018 menunjukkan, kualitas pembelajaran di Indonesia masih rendah dan cenderung stagnan. Dengan skor 371 untuk literasi, 379 untuk numerasi (matematika), dan 396 untuk sains, Indonesia berada di peringkat ke-66 dari 76 negara yang mengikuti tes PISA (Kompas, 4/12/2019).
Hasil PISA tersebut menunjukkan, hasil belajar pendidikan dasar dan menengah kurang memadai. Sebanyak 70 persen siswa berada di bawah kompetensi minimum literasi, 71 persen siswa berada di bawah kompetensi minimum matematika, dan 60 persen siswa di bawah kompetensi minimum sains.
Dalam 11 target yang menjadi fokus utama merdeka belajar tahun 2030-2035, Kemendikbud, antara lain, menargetkan peningkatan skor PISA menjadi 451 untuk literasi, 407 untuk numerasi, dan 414 untuk sains. Ini langkah bertahap untuk paling tidak mencapai nilai rata-rata global 500.
Kecakapan guru mengarahkan siswa mengembangkan minat dan bakat sambil memahami berbagai jalan keluar dari problem sosial memang menjadi kunci. Dengan rata-rata skor kompetensi guru hanya 57 dari skor tertinggi 100, tugas berat menanti guru penggerak.
Butuh dukungan
Namun, hasil pendidikan dasar dan menengah yang kurang memadai—tecermin dari hasil PISA—tersebut bukan hanya karena faktor kualitas guru. Pendidikan yang berkualitas juga membutuhkan dukungan infrastruktur sekolah, termasuk sarana dan prasarana yang memadai, serta politik yang berpihak pada pendidikan.
Kepemimpinan kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan proses pendidikan di sekolah. Adapun sarana dan prasarana merupakan penunjang utamanya. Berdasarkan data Kemendikbud, lebih dari 50 persen gedung sekolah dalam kondisi rusak ringan dan lebih dari 20 persen sekolah tidak mempunyai perpustakaan yang produktif atau bisa menjadi sumber belajar-mengajar.
Di era otonomi daerah, dukungan politik yang berpihak pada pendidikan menjadi sangat relevan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan. Selama ini, tak jarang dinamika politik daerah berimbas pada pengelolaan sekolah. Pengangkatan kepala sekolah sering kali bukan berdasarkan kapasitas kepemimpinan, melainkan kedekatan dengan atau dukungan kepada kepala daerah saat pilkada.
Kerja sama Kemendikbud dengan pemerintah daerah untuk memastikan guru penggerak bisa berdampak pada pendidikan perlu dibarengi koordinasi antar-kementerian terkait, termasuk dalam hal perekrutan guru. Dari sekitar 2,7 juta guru SD hingga SMA/SMK, lebih dari 30 persen merupakan guru honorer dan guru tidak tetap yang sebagian besar bergaji kecil. Jumlah mereka diperkirakan akan bertambah seiring berkurangnya guru PNS karena pensiun.
Karena itu, program guru penggerak hendaknya dibarengi dengan gerak pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut. Kerja sama pihak ketiga menjadi alternatif untuk mengatasi kendala dana.
Salah satu contoh ideal adalah pendirian SMAN 1 Bali Mandara di Kabupaten Buleleng, Bali, pada 2011. Dengan guru-guru pilihan yang berkualitas, ditambah sarana dan prasarana lengkap serta dukungan penuh pemerintah daerah, sekolah ini dapat mengantarkan para siswanya yang berasal dari keluarga tidak mampu ke jenjang pendidikan lebih tinggi baik di dalam maupun di luar negeri.
Mengutip profil SMAN 1 Bali Mandara di laman Bulelengkab.go.id, sekolah ini merupakan sekolah layanan khusus berasrama bagi siswa dari keluarga miskin. Bahkan, kata Kepala SMAN 1 Bali Mandara I Nyoman Darta dalam peluncuran secara virtual Merdeka Belajar Episode 5: Guru Penggerak, beberapa siswa berkemampuan akademik terbatas.
Keberhasilan SMAN I Bali Mandara merupakan bukti nyata bahwa jika semua bergerak bersama, tidak ada yang tidak mungkin untuk menghasilkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing di era Industri 4.0 sebagaimana diamanatkan Presiden Joko Widodo.