Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak DPR segera menarik kembali keputusan pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas Prioritas 2020 untuk kemudian membahasnya kembali menjadi undang-undang.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecaman dan kemarahan terus ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat menyusul keputusan DPR yang mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Selain tidak serius menangani kekerasan seksual di Indonesia, para wakil rakyat dinilai tidak menjalankan peran dan kewajiban untuk melindungi rakyat dengan membiarkan korban kekerasan seksual terus berjatuhan dan tidak mendapatkan keadilan.
”Kami meyakini, DPR telah bersikap sewenang-wenang terhadap proses demokrasi dan pemenuhan hak setiap warga negara Indonesia, terutama korban kekerasan seksual, atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,” ujar Mutiara Ika melalui pernyataan sikap secara daring, mewakili gerakan masyarakat sipil dari berbagai kelompok dan individu yang tergabung dalam Gerak Perempuan, Senin (6/7/2020).
Gerak Perempuan yang terdiri atas puluhan organisasi masyarakat sipil menyayangkan nihilnya transparansi dari DPR sejak proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) hingga keputusan pencabutannya dari Prolegnas Prioritas 2020 pada 30 Juni lalu.
Para aktivis organisasi perempuan dan anak yang selama ini aktif mengawal proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mempertanyakan sikap DPR tersebut. Sebab, setelah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditetapkan sebagai Prolegnas Prioritas, sebenarnya DPR belum melakukan pembahasan apa pun terhadap RUU tersebut.
Sebuah ironi mengingat perubahan UU Pertambangan dan Mineral Batubara dibahas dan disahkan di tengah-tengah pandemi.
Pandemi Covid-19 justru digunakan sebagai alasan oleh DPR sebagai justifikasi untuk menarik RUU tersebut dari Prolegnas Prioritas 2020 karena menganggap pembahasan RUU tersebut sulit. ”Sebuah ironi mengingat perubahan UU Pertambangan dan Mineral Batubara dibahas dan disahkan di tengah-tengah pandemi,” kata Mutiara.
”Sama halnya dengan pembahasan omnibus law atau RUU Cipta Kerja yang terus dikebut. Meski kedua produk perundang-undangan ini kami nilai tidak menguntungkan rakyat.”
Oleh karena itulah, Gerak Perempuan menuntut DPR segera menarik kembali keputusan pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Prolegnas Prioritas 2020 dan segera melakukan pembahasan RUU tersebut serta mengesahkannya menjadi undang-undang.
Adapun jajaran pemerintahan dan instansi terkait, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, juga diminta terus mendorong DPR untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Sejumlah perwakilan organisasi perempuan menyatakan, DPR seharusnya peka terhadap situasi kekerasan seksual di Tanah Air yang dalam kondisi darurat karena kejahatan seksual terus meningkat.
”Kami dari buruh merasakan betul bagaimana perempuan sama sekali tidak bebas dari pelecehan seksual, baik yang dilakukan oleh atasan maupun rekan kerja di tempat tempat kerja kami. Jadi, saat ini, yang kita butuhkan adalah bagaimana perlindungan hukum itu betul-betul ada di negara kita karena kondisi kedaruratan kekerasan seksual,” ujar Jumisi, Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik.
Kekerasan seksual di kampus
Tri Rahmawati, Wakil Ketua BEM Universitas Indonesia, juga menyatakan sangat sangat kecewa dengan hal ini. Kehadiran RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dinilai mendesak karena di kampus juga rentan terjadi kekerasan seksual. Ia mencontohkan, sepanjang Maret 2019-Mei 2020, pihaknya menerima laporan sebanyak 47 kasus kekerasan seksual yang hampir semuanya terjadi di kampus.
”Pelakunya pun beragam, mulai dari dosen hingga teman (mahasiswa). Dengan kejadian ini, tentu kami percaya bahwa adanya perlindungan hukum untuk kasus kekerasan seksual ini sangat dibutuhkan. Karena dalam penanganan isu kekerasan seksual di lingkungan kampus, sering kali korban-korban yang mendapatkan kekerasan seksual itu justru mendapatkan stigma negatif,” katanya.
Kekecewaan terhadap keputusan DPR atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga disuarakan Dara Ayu dari GenderTalk dan perwakilan Jaringan Muda Setara serta Sabina Puspita, akademisi Pusat Kajian Gender UI. Sikap DPR yang tidak serius terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dinilai sangat mengecewakan rakyat.
Untuk mendorong proses pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Gerak Perempuan mengajak masyarakat luas yang anti-kekerasan seksual dan mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk bersolidaritas mengawal proses pembahasan RUU tersebut. Caranya adalah dengan melakukan aksi setiap Selasa di depan Gedung DPR atau DPRD daerah masing-masing. Aksi tersebut akan dimulai pada Selasa (7/7/2020) pukul 15.00-16.30 hingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diundangkan.
Selain aksi, para aktivis juga menggalang dukungan untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui berbagai cara, seperti mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani. Selain itu, menggalang dukungan melalui petisi untuk mendukung pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui Change.org dengan #MulaiBicara #GerakBersama serta berbagai media sosial.