Dugaan Komersialisasi Mencuat pada Penerapan Tes Cepat
›
Dugaan Komersialisasi Mencuat ...
Iklan
Dugaan Komersialisasi Mencuat pada Penerapan Tes Cepat
”Rapid test” atau tes cepat menuai pro dan kontra. Selain tarifnya mahal, efektivitas langkah ini juga dipertanyakan. Sebagian kalangan melihat ada potensi komersialisasi tes cepat oleh oknum tertentu.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga mengeluhkan mahalnya tarif rapid test atau tes cepat supaya bisa bepergian dengan pesawat atau kereta api. Keluhan itu sejalan dengan temuan Ombudsman RI akan potensi komersialisasi tes tersebut.
Ketentuan tes cepat sebagai salah satu syarat bepergian tertuang dalam Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19.
Menurut anggota Ombudsman RI, Alvin Lie, Selasa (7/7/2020), warga mengadukan mahalnya tarif tes cepat sebagai salah satu syarat bepergian dengan pesawat atau kereta api. Biayanya beragam, mulai dari Rp 95.000 hingga Rp 1.000.000. Padahal, harga alat tes cepat berkisar Rp 60.000 hingga Rp 400.000. ”Tarif tesnya tidak masuk akal. Apalagi, sekarang banyak tawaran uji tes cepat yang berpotensi bisnis,” ujar Alvin.
Potensi bisnis itu berkaca dari tempat-tempat uji tes cepat yang tidak sesuai standar dalam memberikan pelayanan. Misalnya, petugas pengambil sampel hanya mengenakan masker dan sarung tangan tanpa alat pelindung diri standar.
Alvin lantas mempertanyakan kesiapan tempa-tempat itu untuk penanganan lanjutan jika ada temuan reaktif. Sebab, tujuan tes hanya sebagai syarat administrasi untuk bepergian.
Saat ini, Ombudsman berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan dan ahli kesehatan untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah. ”Ada tendensi instansi-instansi ikut latah dalam ketentuan tes cepat. Contohnya, ujian masuk perguruan tinggi ada ketentuan tes cepat. Belum lagi keluar masuk warga di suatu wilayah harus ada tes cepat lewat jalur apa pun,” katanya.
Tes cepat memiliki tarif beragam di sejumlah lokasi. Salah satu klinik di Palmerah, Jakarta Barat, mematok tarif Rp 350.000. Itu berbeda dengan tarif tes cepat sejumlah maskapai penerbangan. Garuda Indonesia mematok tarif Rp 315.000, Sriwijaya Air Rp 300.000, Lion Air Rp 95.000, dan Citilink Rp 280.000.
Rivaldy (26) menuturkan, tarif tes cepat di Surabaya, Jawa Timur, berkisar Rp 300.000. Jumlah yang cukup menguras kantong seorang pelajar. ”Mau tidak mau karena tes usap lebih mahal. Tidak ada alternatif lain,” ujarnya.
Sementara Felby Mandala (25) menuturkan, tarif tes cepat di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, berkisar Rp 400.000. Tarif itu naik dari kisaran Rp 250.000. ”Saya heran dengan kenaikan harganya,” kata Felby.
Pelajar juga mengeluarkan ongkos tambahan untuk seleksi masuk perguruan tinggi. Eka Putri (18) mengeluarkan ongkos Rp 200.000 untuk tes cepat sebagai salah satu ketentuan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Itu menambah ongkos pendaftaran seleksi masuk perguruan tinggi sebesar Rp 150.000.
Setidaknya ada 165 jenis alat untuk tes cepat. Dari jumlah itu, Kementerian Kesehatan telah menyetujui lima alat karena sesuai ketentuan. Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, belum ada aturan tegas dalam aspek kesehatan dan ekonomi sehingga tes cepat belum bisa dikendalikan. ”Harusnya ada ketentuan harga batas atas dan batas bawah,” kata Melki.
Ia menambahkan, alat tes reaksi rantai polimerase atau PCR masih kurang sehingga tes cepat berguna sebagai pelengkap untuk mengetahui potensi seseorang terinfeksi atau tidak.
Efektivitas
Hasil tes cepat dinilai tidak memadai untuk digunakan sebagai penentu keberadaan infeksi Covid-19 pada setiap individu. Kepala Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko, Kamis (7/5/2020), berpendapat, ada peluang yang signifikan orang yang terinfeksi Covid-19 tidak akan terdeteksi melalui tes cepat.
Hal itu karena sampel yang digunakan dalam tes cepat adalah antibodi dalam darah. Apabila orang terinfeksi virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, maka dalam beberapa hari tubuhnya akan membangun antibodi yang spesifik merespons virus tersebut. Antibodi khusus inilah yang menjadi dasar tes cepat.
Menurut Tri, yang menjadi persoalan adalah jeda waktu antara infeksi dan pembentukan antibodi. Antibodi baru akan terbentuk sekitar delapan hari setelah infeksi. Hal ini memungkinkan orang yang sudah terinfeksi, tetapi antibodinya belum terbentuk, bisa lolos dari tes cepat.
”Antibodi baru akan timbul setelah infeksi berjalan sekitar delapan hari. Jadi ada celah di sini. Orang yang belum delapan hari infeksi bisa saja dianggap negatif,” kata Tri.