Kementerian Kelautan dan Perikanan berjanji memperbaiki kualitas garam rakyat agar bisa diserap industri. Jika tidak, harga garam rakyat bakal terus anjlok. Apalagi, kebutuhan garam industri berasal dari impor.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan berjanji memperbaiki kualitas garam rakyat agar bisa diserap industri. Jika tidak, harga garam rakyat bakal terus anjlok. Apalagi, kebutuhan garam industri saat ini banyak berasal dari impor.
Keluhan anjloknya harga garam disuarakan sejumlah petani saat bertemu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (7/7/2020). Turut hadir dalam acara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono dan Bupati Cirebon Imron Rosyadi.
Saat ini, harga garam di tingkat petani Cirebon menyentuh Rp 200 per kilogram. Padahal, biasanya, harga garam mencapai Rp 500 hingga Rp 800 per kg, tergantung kualitasnya. Anjloknya harga garam nyaris terjadi setiap tahun.
Edhy mengatakan, rendahnya kualitas garam rakyat menyebabkan harga komoditas itu kerap jatuh. Kadar natrium klorida (NaCl) garam rakyat, lanjutnya, masih di bawah 96 persen. Padahal, kebutuhan garam terbesar berasal dari industri yang membutuhkan kualitas tinggi. ”Saya akan pastikan kualitas garam kita, NaCl, di atas 97 persen sesuai kebutuhan industri,” ujarnya.
Dengan begitu, industri bisa membeli garam rakyat. Jika industri belum melakukannya, pihaknya akan menuntut impor garam dihentikan. ”Kalau sekarang, kita tidak bisa debat karena produknya (garam berkualitas) belum ada. Takutnya, kita ngotot idealisme tentang garam tidak boleh impor, industri yang butuh garam mati,” tuturnya.
Sebelumnya, pemerintah menaikkan kuota impor garam untuk industri dari 2,7 juta ton pada tahun lalu menjadi 2,9 juta ton tahun ini. Padahal, serapan garam rakyat belum masksimal. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono mengatakan, saat ini, terdapat 653.000 ton garam rakyat yang belum terserap.
Oleh karena itu, pihaknya terus meningkatkan kualitas garam rakyat, terutama untuk kebutuhan industri aneka pangan yang mencapai 600.000 ton per tahun. Selain itu, akan dibangun pabrik pencuci garam skala kecil di sentra garam rakyat. Pada 2020, pembangunannya direncanakan di Brebes (Jawa Tengah) dan Madura (Jawa Timur).
Apalagi, pemerintah menaikkan target penyerapan garam dari petambak rakyat untuk kebutuhan industri menjadi 1,5 juta ton selama periode Juni 2020-Juli 2021. Pada periode sebelumnya, yakni hingga Juni 2020, penyerapan garam rakyat ditargetkan 1,1 juta ton.
Kalau sekarang, kita tidak bisa debat karena produknya (garam berkualitas) belum ada. Takutnya, kita ngotot idealisme tentang garam tidak boleh impor, industri yang butuh garam mati
”Kami juga mencari pasar untuk garam rakyat. Perkebunan sawit, misalnya, butuh garam juga,” ucapnya. Pihaknya mengimbau pemda agar bisa menyerap hasil panen petani sekaligus memenuhi kebutuhan garam warga setempat. Bahkan, pihaknya mendorong pemda membuat aturannya.
Ungkapan pemerintah agar masalah anjloknya harga garam segera tuntas juga pernah disampaikan oleh Edhy saat mengunjungi Pati, Jateng, akhir Januari lalu. Pihaknya mengaku sudah bertemu dengan Menko Perekonomian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan untuk memecahkan masalah tersebut (Kompas, 30/1/2020).
Ketua Kelompok Bangkit Jaya Cirebon H Ahmad Basuki mengatakan, petani umumnya tidak tahu terkait kadar NaCl dari garam yang mereka panen. Namun, petani sudah berupaya meningkatkan kualitas garam dengan menggunakan terpal di meja garam, tidak beralas tanah lagi, dalam produksi.
”Tetapi, sama saja, harganya sekarang Rp 200 per kg. Padahal, biasanya, Rp 800 per kg,” katanya. Garam hasil panen kelompoknya yang mencapai 1.000 ton pun masih menumpuk di gudang, tambak, bahkan di pinggir jalan raya. Garam yang dibungkus karung biru itu teronggok dan hanya dilapisi spanduk plastik bekas.
”Garam itu hasil panen petani 2019. Kami belum bikin garam lagi. Takut enggak laku. Lahan seluas hampir 10.000 hektar pun mangkrak,” ujar warga Singakerta, perbatasan Cirebon-Indramayu ini.