Kebijakan Pengendalian Produk Tembakau Belum Selaras
›
Kebijakan Pengendalian Produk ...
Iklan
Kebijakan Pengendalian Produk Tembakau Belum Selaras
Upaya menekan prevalensi perokok pemula di Indonesia masih belum efektif. Hal itu disebabkan berbagai instrumen kebijakan pengendalian konsumsi rokok masih belum selaras.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Berbagai instrumen yang telah diterbitkan selama ini dinilai tidak berhasil menekan prevalensi perokok pemula di Indonesia karena masih adanya kebijakan yang belum selaras. Karena itu, semua pemangku kepentingan harus memiliki komitmen sama dalam upaya pengendalian konsumsi produk tembakau.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi perokok di Indonesia mencapai 33,8 persen. Hal ini diperparah dengan meningkatkan prevalensi perokok usia anak (10-18 tahun) dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Kondisi itu menjadi paradoks dengan harapan pemerintah untuk mewujudkan generasi unggul dengan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Berbagai penelitian membuktikan korelasi antara merokok dengan menurunnya kualitas SDM. Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia pada 2018 membuktikan merokok dapat meningkatkan risiko malnutrisi atau tumbuh kembang pendek pada anak.
Selain itu, merokok dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit tidak menular, seperti hipertensi, jantung, dan kanker. Kebiasaan merokok pada usia anak ini juga menyebabkan penderita penyakit tersebut menjadi semakin muda.
“Kita menjadi negara dengan prevalensi perokok tertinggi di dunia. Bahkan pada anak-anak, prevalensi perokok naik terus. Ironisnya, Indonesia belum memiliki kebijakan pengendalian tembakau yang komprehensif. Belum ada keselarasan dari para pelaku ekonomi,” kata Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany di Jakarta, Senin (6/7/2020).
Pemerintah telah melakukan intervensi untuk menekan prevalensi perokok dengan cara menaikkan tarif cukai rokok. Namun, kenaikan cukai yang ditetapkan yakni 49,45 persen dari harga rokok belum mampu menurunkan konsumsi rokok pada masyarakat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan standar minimal tarif cukai rokok minimal 70 persen dari harga rokok.
Menurut, Guru Besar Kebijakan Perpajakan Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Haula Roosdiana, keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai patut diapresiasi. Namun, kenaikan cukai saat ini belum berimplikasi pada kenaikan harga rokok yang signifikan.
Menetapkan harga rokok yang tinggi menjadi cara paling efektif untuk menekan jumlah konsumsi rokok pada masyarakat. Pada riset yang dilakukan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, 73 persen responden yang diteliti mengaku akan berhenti merokok apabila harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus.
“Regulasi pemerintah tentang cukai rokok semestinya punya tujuan jelas yaitu mengendalikan eksternalitas konsumsi rokok. Itu dilakukan tanpa ada tujuan mendorong produktivitas penerimaan negara melainkan pengamanan penerimaan negara,” tutur Haula.
Kenaikan cukai rokok ini hanya salah satu instrumen yang diperlukan untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia. Selain itu, perlu kebijakan lain yang mendukung kebijakan fiskal, seperti pengaturan iklan, penetapan kawasan tanpa asap rokok, mengatur penjualan rokok pada kelompok rentan, serta kampanye yang kuat untuk berhenti merokok.
Saat ini, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia baru 380 kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah terkait kawasan tanpa asap rokok. Namun, implementasi kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik. Itu terlihat antara lain dari iklan rokok yang masih bebas disiarkan di media luar ruang, bahkan di lingkungan sekolah.
“Butuh kebijakan kolaboratif dari seluruh pemangku kepentingan agar pengendalian tembakau dapat efektif. Tanpa adanya tujuan yang sama, target penurunan prevalensi perokok sekaligus pengamanan penerimaan negara sulit tercapai,” kata Haula.
Sinergi
Kepala Bidang Penyakit Tidak Menular Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Rama Prima Syahti Fauzi mengatakan, penguatan koordinasi antarkementerian dan lembaga untuk pengendalian tembakau akan segera dibentuk. Itu dilakukan melalui forum koordinasi lintas sektor pengendalian produk tembakau.
Tanpa adanya tujuan yang sama, target penurunan prevalensi perokok sekaligus pengamanan penerimaan negara sulit tercapai.
“Tahun ini ditargetkan sudah bisa terbentuk penguatan forum koordinasi lintas sektor untuk pengendalian tembakau. Itu tidak hanya melibatkan Kemenko PMK melainkan juga Kemenko Perekonomian sehingga sinergi dan sinkroniasi program dan kebijakan bisa terwujud,” katanya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Cut Putri Ariane menambakan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menginisiasi pertemuan kolaborasi linta kementerian/ lembaga. Peta jalan untuk pengendalian tembakau juga telah disusun.
Melalui kolaborasi ini, ia berharap, seluruh pemangku kepentingan bisa memiliki komitmen sama untuk melindungi masyarakat, terutama anak dan kelompok rentan dari dampak buruk konsumsi rokok. Dalam jangka panjang, upaya ini sekaligus untuk menekan risiko penyakit tidak menular di Indonesia.
“Kenaikan cukai diperlukan, namun itu harus dibarengi dengan kebijakan lain. Hal lainnya kita juga harus mendorong agar Indonesia segera mengaksesi FCTC (Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau),” tutur Cut.