Mudahnya akses komunikasi dan cepatnya informasi diterima masyarakat kadang tidak sempat disaring kebenarannya. Akibatnya, marak berita bohong atau hoaks yang kadang diterima mentah-mentah oleh yang membaca. Hal ini jelas sangat memengaruhi kondusivitas, suasana tenang bisa menjadi prahara.
Situasi yang ”kacau” kadang memang disengaja salah satu kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Namun, sebagian besar masyarakat sebenarnya ingin suasana yang aman dan damai. Dengan demikian, kemajuan suatu bangsa segera meningkat dan mampu bersaing dengan negara-negara lain.
Seringnya masyarakat terjebak dalam pemberitaan yang tidak benar harus diatasi dengan informasi yang bisa mengajak masyarakat berpikir cerdas demi kemaslahatan. Di sinilah peran media diperlukan, sebagai corong informasi sekaligus menjadi suluh, penerang agar masyarakat tidak tersesat. Harian Kompas yang sudah 55 tahun ”bersama” denyut kehidupan masyarakat juga diharapkan tetap mampu menjaga keharmonisan.
Harian Kompas telah menjalankan fungsinya sebagai penjaga (watchdog) dalam jati dirinya. Selain mengawal demokrasi, Kompas menyuarakan suara rakyat dan membangun rasa adil dari kesewenang-wenangan.
Meski tak langsung mengubah kebijaksanaan, Kompas tetap menjadi suluh bagi pengambil keputusan untuk kebaikan bersama.
Integritas harian Kompas yang sudah teruji selama ini semoga bisa menjadi patron media sekaligus rujukan kebenaran yang aktual dan faktual. Meski harus bersaing dengan media sosial, saya yakin bahwa Kompas mampu bertahan terhadap gempuran zaman.
Tetaplah menjadi suluh, meski kecil, selalu dibutuhkan dan dicari. Begitu!
FX Triyas Hadi Prihantoro
Pembaca Setia; Pendidik di SMP PL Domsav, Semarang
Bukan Tbk
Saya membaca edisi e-paper Kompas tanggal 23 Juni 2020 pada bagian ekonomi dan bisnis. Ada artikel berjudul ”Memetik Untung Ekspansi”. Di dalamnya tertulis kalimat, ”Sementara itu, PT Pertamina (Persero) Tbk berusaha mempertahankan kinerja di tengah pandemi Covid-19”.
Penggunaan tambahan Tbk pada PT Pertamina (Persero) menurut saya tidak tepat karena PT Pertamina (Persero) tidak menyandang status sebagai perusahaan terbuka yang sahamnya diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia.
Semoga menjadi perhatian redaksi dalam penggunaan istilah khusus, seperti Tbk, dalam penulisan selanjutnya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Kompas atas usahanya terus meningkatkan eksistensi sebagai sumber informasi tepercaya melalui transformasi ke platform digital.
Rinto Mardadi
Blindas RT 004 RW 005, Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas catatan yang disampaikan.
Gegara
Di pojoknya (Kamis, 25/6/2020) Mang Usil bilang, ”Pencairan jaminan hari tua melonjak”. Lalu dikomentari sendiri, ”Tua pun ’diijon’ gegara BU (butuh uang)”.
”Gegara” itu bentuk ringkas dari ”gara-gara”, sama seperti ”tumbuh-tumbuhan” menjadi ”tetumbuhan”, ”rambu-rambu” jadi ”rerambu”, dan ”jari-jari” jadi ”jejari” yang artinya sama dengan ruji (radius).
Mari peringkasan ala Mang Usil itu kita galakkan!
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga
Pancasila Mantap
Sejak sekolah, saya belajar bahwa Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia. Keputusan ini telah disahkan oleh para pendahulu kita pada 18 Agustus 1945.
Ketika ada ribut-ribut tentang Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), saya mencari di kamus arti kata ”haluan”. Ternyata itu adalah arah kapal berlayar, ada haluan kanan dan haluan kiri.
Maka, saya juga mendorong DPR dan pemerintah agar menghentikan pembahasan tentang RUU HIP.
Wahai bapak-bapak dan ibu-ibu anggota Dewan yang beruntung, lihatlah di tiap perempatan, banyak yang jadi pengemis. Padahal, Indonesia kaya raya. Hasil bumi, hutan, tambang, dan laut berlimpah.
Menyejahterakan rakyat lebih mulia daripada melamun, kurang kerjaan, lalu mengutak-atik Pancasila.
Titi Supratignyo
Sonen RT 003 RW 004, Bendan Ngisor, Semarang