Payung hukum yang kuat dibutuhkan untuk atasi peretasan yang kian marak. Selain membangun komisi independen untuk awasi dan lindungi data pribadi warga, juga penguatan peran Badan Siber dan Sandi Negara tegakkan hukum.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Payung hukum yang kuat diperlukan untuk mengatasi peretasan yang kian marak terjadi. Sebuah komisi independen perlu dibangun untuk mengawasi dan melindungi data pribadi warga. Di samping itu, wacana penguatan peran Badan Siber dan Sandi Negara dianggap perlu untuk melakukan penindakan terhadap pelaku peretasan.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Rizki Aulia Natakusumah, di Jakarta, Selasa (7/7/2020), mengatakan, untuk menguatkan penanganan terhadap peretasan, negara perlu menyiapkan regulasi yang dapat mendukung upaya penegak hukum dan lembaga lain dalam mengatasi peretasan. Saat ini, Komisi I DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi. RUU tersebut merupakan inisiatif pemerintah.
”Kami di DPR sedang dalam tahapan menyerap aspirasi pakar dan akademisi. RUU PDP itu diharapkan bisa menjadi salah satu payung hukum untuk memastikan perlindungan terhadap data pribadi warga negara. Perlindungan data pribadi itu idealnya terkait dengan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang menjadi usulan dari DPR,” kata Rizki, saat dihubungi.
Perlindungan data pribadi itu idealnya terkait dengan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang menjadi usulan dari DPR.
Rizki mengatakan, baik RUU Perlindungan Data Pribadi maupun RUU Keamanan dan Ketahanan Siber mencantumkan penguatan kelembagaan pengaturan data pribadi dan keamanan siber. Dari berbagai masukan dari para pakar dan akademisi, misalnya, dorongan untuk membentuk komisi independen mengemuka. Komisi independen ini nantinya bertugas untuk mengawasi dan melindungi data pribadi warga negara. Oleh karena itu, ketika ada pihak-pihak yang menyalahgunakan data pribadi, warga bisa melaporkannya kepada komisi independen tersebut.
”Nanti lembaga atau komisi independen itu yang akan menindak pelanggaran terhadap data pribadi warga,” katanya.
Selain itu, juga ada RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang sebelumnya juga menjadi salah satu RUU prioritas di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Namun, dari hasil evaluasi Prolegnas 2020 yang dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber itu disepakati untuk ditarik dari Prolegnas, dan dijanjikan untuk dimasukkan kembali ke dalam Prolegnas 2021.
Rizki mengatakan, penyusunan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber itu akan dilakukan dengan mempertimbangkan masukan dari pihak, dan dikaji secara hati-hati. RUU itu direncanakan menjadi RUU inisiatif DPR, berbeda dengan RUU PDP yang merupakan inisiatif pemerintah.
Di dalam RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, menurut Rizki, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) diproyeksikan untuk diberi kekuatan atau kewenangan yang lebih besar dalam menangani isu-isu ketahanan siber. Dengan demikian, pencurian data, termasuk peretasan, akan dapat ditindak tegas oleh BSSN. Hal itu berbeda dengan kondisi saat ini, yakni BSSN tidak memiliki kewenangan untuk menindak peretas.
Polri punya keterbatasan
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Nasdem, Willy Aditya, mengatakan, Kepolisian Negara RI sebenarnya sudah cukup memiliki kapasitas untuk melakukan penindakan terhadap para pelaku peretasan. Namun, ada keterbatasan jika pelakunya di luar negeri, apalagi negara tersebut tidak memiliki perjanjian timbal balik dengan Indonesia. Kepolisian ini berada pada bagian akhir dalam proses pidana peretasan. Adapun di bagian awal adalah BSSN yang mengidentifikasi setiap upaya ancaman siber.
Dalam hal penindakan hukum, kepolisian sudah cukup bisa melaksanakan penindakan demikian. Namun, menurut Willy, kepolisian bisa juga meminta dukungan dari BSSN dalam melakukan penyelidikan teknisnya. Peretasan ini harus dilihat dalam sebuah proses yang tidak berdiri sendiri.
”Tidak bisa kita menilai hanya di kepolisian untuk soal ini. Ada sistem keamanan siber nasional yang perlu diperkuat untuk memacu langkah menegakkan hukum terhadap para peretas,” katanya.
Dalam penegakan hukum bisa saja BSSN ini memiliki penyidik untuk membantu kepolisian menyiapkan perkara untuk maju ke peradilan. Kerja sama antara BSSN dan kepolisian harus dibangun sejak awal untuk memitigasi serangan siber dan membawanya ke jalur hukum.
BSSN sampai saat ini belum diberi kewenangan penindakan. Lembaga itu lebih diperankan untuk melaksanakan keamanan siber secara efektif dan efisien, seperti sistem keamanan siber nasional, persandian, ataupun mitigasi bahaya serangan siber. Akan tetapi, BSSN belum mempunyai kewenangan penindakan.
”Kejahatan dunia siber ini cukup luas, maka kita butuh BSSN yang kuat untuk melakukan mitigasi sebelum terjadinya serangan siber. Dalam penegakan hukum, bisa saja BSSN ini memiliki penyidik untuk membantu kepolisian menyiapkan perkara untuk maju ke peradilan. Kerja sama antara BSSN dan kepolisian harus dibangun sejak awal untuk memitigasi serangan siber dan membawanya ke jalur hukum,” ujar Willy.
RUU Keamanan dan Ketahanan Siber hampir diundangkan pada periode lalu. Lalu pada periode ini dimasukkan kembali pada Prolegnas Prioritas. Namun, saat ini RUU tersebut belum mulai dibahas oleh Komisi I.
”Kita ingat begitu besarnya kontroversi saat RUU ini akan diundangkan, ini yang sedang DPR perbaiki mulai dari proses hingga kontennya. Saya sendiri sepakat dan mendorong RUU KKS dan RUU PDP ini dibahas pararel,” kata Willy.