Pengetahuan Warga terhadap Penyakit Zoonosis Masih Rendah
›
Pengetahuan Warga terhadap...
Iklan
Pengetahuan Warga terhadap Penyakit Zoonosis Masih Rendah
Pengetahuan masyarakat terhadap penyakit yang ditularkan hewan pada manusia atau zoonosis masih rendah. Karena itu, sosialisasi mengenai bahaya penyakit tersebut kepada warga perlu ditingkatkan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Survei persepsi masyarakat terhadap Covid-19 dan satwa liar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyimpulkan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap penyakit yang ditularkan hewan pada manusia atau zoonosis masih rendah. Padahal, pengetahuan itu diperlukan untuk mencegah adanya virus atau zoonosis baru.
Survei dari LIPI yang dirilis Selasa (7/7/2020) tersebut dilakukan secara daring pada 27 Mei-8 Juni 2020 melalui teknik wawancara dan diskusi grup terfokus (FGD). Survei tersebut melibatkan 2.871 responden yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia, tetapi hanya 2.603 responden yang datanya valid dan dapat dianalisis.
Hasil survei menyatakan hanya sedikit responden yang menjawab perihal keterkaitan satwa liar dengan manusia sebagai cara penularan Covid-19. Kurang dari 10 persen responden menjawab cara penularan Covid-19, yakni mengonsumsi atau menyentuh satwa liar yang terjangkit Covid-19. Sementara mayoritas responden berpendapat penularan penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu berkaitan dengan percikan cairan dari hidung dan mulut.
Dalam survei itu, responden juga diberi pertanyaan terkait apa yang dilakukan pemerintah daerah setempat untuk mencegah penyakit Covid-19. Hasilnya, 43,3 persen responden menjawab pemda melakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan 42,1 persen menjawab pelarangan mudik. Adapun hanya 7,9 persen responden yang menyatakan bahwa pemda melarang konsumsi satwa liar.
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara menyampaikan, selain memahami jawaban responden, tim survei juga mencari jawaban yang bersifat lebih kualitatif. Hal ini bertujuan untuk melihat ekspresi atau simbol tertentu dari pemahaman terhadap satwa liar.
”Misalnya seorang aktivis mengatakan harus ada kesepahaman terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan satwa liar. Burung peliharaan juga termasuk dalam satwa liar karena satwa liar merupakan hewan nondomestik,” ujarnya.
Pengetahuan tentang satwa liar, lanjut Herry, dinilai penting. Sebab, banyak warga Indonesia memelihara satwa liar, termasuk burung. Padahal, informasi terbaru menyebutkan, burung juga berpotensi menjadi sumber penyakit infeksi yang disebabkan binatang atau zoonosis sehingga perlu adanya studi mitigasi ke depannya.
Peneliti Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Taufik Nugraha mengatakan, satwa liar merupakan inang alami dari virus korona pemicu Covid-19. Bahkan sejak tahun 1940 hingga 2000, 70 persen penyakit infeksius baru yang muncul berasal dari satwa liar.
Taufik menjelaskan, terdapat banyak faktor yang menyebabkan munculnya penyakit infeksius baru ini, salah satunya adalah perubahan lingkungan tempat patogen dan inang hidup yang terus berubah. Faktor pendorong perubahan lingkungan ini antara lain urbanisasi, modernisasi, fragmentasi habitat, perambahan hutan, dan perubahan iklim.
”Dampaknya manusia akan semakin terpapar oleh inang yang tadinya terisolasi. Virus atau patogen lain yang hidup pada satwa liar juga dapat berpindah pada manusia atau terminologinya spillover,” ungkapnya.
Virus atau patogen lain yang hidup pada satwa liar juga dapat berpindah pada manusia atau terminologinya spillover.
Selain itu, pemanfaatan langsung satwa liar bisa menyebabkan zoonosis. Pemanfaatan itu dapat berupa perdagangan, konsumsi, hobi, dan ekshibisi satwa liar. Semua kegiatan tersebut akan meningkatkan risiko zoonosis jika tidak dilakukan dengan pengelolaan dan protokol yang baik.
Kebijakan pemerintah
Kendati pemanfaatan satwa liar berpotensi menimbulkan zoonosis, hasil survei LIPI menyatakan mayoritas responden menyebut pemda setempat tidak melakukan kebijakan terkait konsumsi satwa liar. Responden juga menyatakan pemda hanya membuat kebijakan terkait perdagangan, penelitian, pemeliharaan, perburuan, dan pertunjukan satwa liar.
Setelah mengetahui satwa liar sebagai reservoir, responden berharap pemerintah membuat kebijakan terkait satwa liar. Kebijakan terbanyak yang dipilih responden yaitu terkait pelestarian lingkungan, regulasi perdagangan, deteksi dan mitigasi, serta pelarangan konsumsi satwa liar. Sementara kebijakan memusnahkan satwa liar sangat sedikit dipiih oleh responden.
Selain itu, responden menilai perlu ada komisi khusus yang menangani kebijakan pengendalian zoonosis. Dalam FGD, peserta menyebut tidak diperlukan lembaga baru, tetapi lebih pada penguatan kolaborasi antarlembaga untuk memperkuat kebijakan pengelolaan satwa liar.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, respons pemerintah dalam menyikapi penyakit baru telah tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.
Dalam inpres yang ditetapkan 17 Juni 2019 tersebut mengamanatkan sejumlah kementerian, lembaga, dan jajaran pemerintah daerah untuk melakukan upaya pencegahan, deteksi, dan respons terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat. Dalam lampiran juga disebutkan penggunaan pendekatan one health untuk meningkatkan implementasi rencana aksi.
Pendekatan one health merupakan metode yang menekankan pemahaman dan hubungan antara lingkungan, keanekaragaman hayati, masyarakat, dan penyakit manusia dengan menyatukan kesehatan publik, serta ilmu kedokteran hewan dan lingkungan. Metode pendekatan ini penting dilakukan untuk mencegah wabah baru di masa mendatang.
”One health ini menjadi upaya kita untuk berkoordinasi bersama bagaimana menciptakan kesehatan manusia, satwa liar, dan hewan ternak. Implementasinya tentu sesuai dengan tugas dan fungsi dari masing-masing kementerian dan lembaga,” katanya.