PNBP Ekspor Benih Lobster Masih Mengacu PP No 75/2015 dengan Nilai ”Mungil”
›
PNBP Ekspor Benih Lobster...
Iklan
PNBP Ekspor Benih Lobster Masih Mengacu PP No 75/2015 dengan Nilai ”Mungil”
Dari ekspor sekitar 100.000 ekor benih lobster pada 12 Juni 2020, negara hanya mendapatkan Rp 34.375 dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sejumlah kementerian sedang membahas regulasi baru PNBP.
Oleh
Karina Isna Irawan/BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan negara bukan pajak dari ekspor benih lobster masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015. Dengan mengacu aturan itu, penerimaan negara terbilang kecil.
Dari ekspor sekitar 100.000 ekor benih lobster oleh dua perusahaan pada 12 Juni 2020, misalnya, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 34.375, di luar uji laboratorium, jika mengacu Peraturan Pemerintah (PP) No 75/2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Rinciannya, PT TAM yang mengekspor 60.000 ekor benih lobster dikenai PNBP Rp 15.000 dan sertifikat kesehatan (HC) Rp 5.000. Adapun PT ASL yang mengekspor 37.500 ekor benih lobster dipungut PNBP Rp 9.375 dan biaya sertifikat HC Rp 5.000.
Berdasarkan PP No 75/2015, tarif jasa pemeriksaan klinis benih crustacea ditetapkan Rp 250 per 1.000 ekor, sertifikat HC Rp 5.000 per sertifikat, dan pemeriksaan laboratorium bervariasi sesuai spesifikasi persyaratan.
Minimnya penerimaan negara menjadi salah satu polemik setelah pemerintah resmi membuka keran ekspor benih lobster. Kebijakan itu mengacu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020. Ekspor benih bening lobster dinilai tidak menguntungkan secara ekonomi dan justru berpotensi memicu eksploitasi besar-besaran terhadap benih lobster sehingga mengancam keseimbangan ekosistem.
Bank garansi
Terkait itu, sejumlah pihak mewacanakan pembentukan bank garansi. Menurut Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara yang Dipisahkan, Kementerian Keuangan, Kurnia Chairi, wacana pembentukan bank garansi adalah wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Saat ini, tarif dan jenis PNBP masih mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2015. Sementara tata cara pemungutan, penyetoran, jatuh tempo pembayaran, dan penagihan diatur dalam peraturan menteri.
”Dalam pengelolaan PNBP, yang memegang kendali utama adalah kementerian/lembaga selaku instansi pengelola,” kata Kurnia yang dihubungi Kompas, Senin (6/7/2020).
Sejauh ini rancangan peraturan pemerintah (RPP) tarif dan jenis PNBP masih dalam pembahasan lintas kementerian, termasuk untuk benih lobster. Ada sekitar 30.000 tarif dan jenis PNBP yang sedang dikaji ulang untuk mengoptimalkan potensi pendapatan negara dan dampak berganda ekonomi. Sejauh ini belum ditetapkan tenggat penyelesaian RPP.
Menurut Kurnia, tarif atas jenis PNBP tidak serta-merta ditetapkan. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan, antara lain dampak pengenaan tarif terhadap masyarakat, dunia usaha, sosial budaya, serta biaya penyelenggaraan layanan. Tujuannya untuk menciptakan keseimbangan antara mendorong pertumbuhan usaha, manfaat ekonomi, efisiensi biaya, dan optimalisasi pendapatan negara.
”Kementerian Keuangan saat ini menyusun dan memproses usulan jenis dan tarif PNBP, sedangkan pengelolaan dan mekanismenya oleh kementerian/lembaga yang bersangkutan,” kata Kurnia.
Ditilik berdasarkan strukturnya, PNBP Indonesia selalu didominasi sumber daya alam bukan kekayaan negara yang dipisahkan (KND)—termasuk di dalamnya sektor perikanan. Realisasi PNBP sumber daya alam per 31 Mei 2020 sebesar Rp 49,3 triliun, sementara PNBP KND hanya Rp 24 triliun. PNBP sumber daya alam itu terdiri dari migas dan nonmigas.