Jika pandemi dianggap masalah bersama, warga bangsa dapat berbagi opini, ide, serta perspektif dalam kesetaraan dan kebersamaan. Keterbukaan dan kesediaan untuk menerima dan menghargai perbedaan mencegah sikap fasis.
Oleh
Sigit Riyanto
·5 menit baca
Sejak Peraturan Menteri Kesehatan No 9/2020 ditetapkan, PSBB merupakan salah satu istilah atau singkatan yang paling banyak diperdebatkan di berbagai forum. Sejatinya, PSBB singkatan dari pembatasan sosial berskala besar, peraturan yang diterbitkan Kemenkes dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 agar bisa segera dilaksanakan di sejumlah daerah. PSBB melingkupi pembatasan sejumlah kegiatan penduduk tertentu di suatu wilayah yang diduga terinfeksi korona.
Kebijakan ini dapat mencakup peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial-budaya, pembatasan moda transportasi, serta pembatasan kegiatan lain khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan. Agar bisa terlaksana dengan baik, pelaksanaan kebijakan ini sejak awal tak hanya jadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat.
Sebagai kebijakan yang masih baru, sangat wajar jika mengundang perdebatan serta menimbulkan pro-kontra. Ada yang setuju; ada yang tidak setuju, ada yang kritis; ada yang skeptis; ada juga yang tidak peduli.
Pro-kontra
PSBB ditetapkan sebagai upaya pemerintah untuk mempercepat penanganan wabah Covid-19. Bagi pemerintah, PSBB merupakan senjata untuk mengendalikan penularan Covid-19. Mencermati tujuan yang baik itu, tentu kebijakan ini layak didukung. Namun, secara konseptual dan implementasinya, kebijakan ini telah menuai perdebatan. Dari segi konsep, kebijakan ini dianggap justru menambah rantai kendali birokrasi. Dalam implementasinya, kebijakan ini dianggap tidak efektif, inkonsisten, dan membingungkan masyarakat.
PSBB ditetapkan sebagai upaya pemerintah untuk mempercepat penanganan wabah Covid-19.
PSBB bertujuan menekan jumlah interaksi langsung antarmanusia; antarindividu, dan antarwilayah. Belakangan, muncul kebijakan pelonggaran transportasi yang mengakibatkan interaksi manusia semakin tinggi dan banyak jumlahnya.
Dalam pelaksanaannya, PSBB tak sepenuhnya ditaati masyarakat karena berbagai sebab. Ada satu toko tutup, tetapi toko lain buka seperti biasa. Ketika ada orang berkerumun di toko yang buka, kebijakan PSBB untuk menekan interaksi manusia jadi tak ada artinya. Dampak lain PSBB bisa jadi membuat aparat jenuh saat bertugas di pos pemeriksaan dan mengawasi warga, sebaliknya masyarakat mulai jenuh karena tak bebas bepergian sehingga ada yang bandel dan melanggar.
Apakah masyarakat harus disalahkan? Kepatuhan masyarakat juga dipengaruhi kejelasan dan konsistensi kebijakan dan kondisi yang diperlukan untuk terlaksananya kebijakan itu. Ada kewajiban pemerintah menciptakan kondisi yang diperlukan supaya warga jadi bagian pelaksanaan kebijakan itu.
Pemerintah juga harus mampu meyakinkan masyarakat fungsi dan manfaat kebijakan yang ditetapkan. Jika sebagian masyarakat dianggap belum mampu berpikir rasional, pemerintah harus membimbing dan mengarahkan dengan membuat ketentuan operasional yang jelas, rinci, dan tepat waktu sehingga mudah dipahami dan dapat dilaksanakan dengan baik. Tentu saja termasuk perangkat yang relevan dan diperlukan untuk melaksanakan ketentuan itu.
Jika kebijakan tak cukup jelas dan inkonsisten dalam implementasinya, bisa jadi masyarakat makin kebingungan dan kurang mendukung kebijakan itu. Ada baiknya kita belajar dari Vietnam, di mana pemerintahnya menerapkan kebijakan serupa dan dipatuhi warganya. Sayangnya, ada kepala daerah yang mengambil keuntungan secara tak etis, seperti memasang label tertentu (foto diri) pada bansos. Bahkan, ada yang melakukan safari keagamaan di bulan puasa.
Evaluasi
Mencermati implementasi PSBB yang membingungkan dan tak sesuai tujuan awalnya, banyak pihak mengevaluasi dan menyampaikan penilaiannya.
Dengan merujuk keramaian di berbagai tempat pembelanjaan, Kompas (20/5) menulis PSBB seakan bukan lagi singkatan dari pembatasan sosial berskala besar, melainkan ”pergi sana beli baju”.
Judul tulisan itu tampak provokatif, tetapi bisa jadi ini sindiran atau refleksi kegetiran tentang penerapan PSBB. Narasi yang ada di dalamnya mungkin mewakili ambiguitas penerapan PSBB, baik dari sisi masyarakat maupun sisi pengambil kebijakan.
Ambiguitas kebijakan PSBB telah memicu perdebatan dan diskusi; formal maupun informal, akademik maupun nonakademik. Tak sedikit, pemerhati kebijakan publik, akademisi, aktivis sosial, dan masyarakat awam terlibat dalam diskusi tentang PSBB. Debat dan diskusi adalah hal wajar dalam negara demokrasi dan kondisi masyarakat yang heterogen dalam berbagai aspek.
Ada baiknya kita belajar dari Vietnam, di mana pemerintahnya menerapkan kebijakan serupa dan dipatuhi warganya.
Adakalanya perdebatan dan diskusi tentang PSBB menghadapi situasi tak mudah, bahkan dikecam. Ada pihak yang beranggapan evaluasi dan kritik terhadap kebijakan PSBB tak perlu dilakukan dan tak ada manfaatnya. Bahkan, ada yang menganggap itu sebagai upaya menghambat dan menggagalkan program pemerintah.
Dalam sistem kehidupan yang makin rumit dan canggih, tak ada bukti bahwa resep tunggal; berupa kebijakan tertentu, mampu menyelesaikan persoalan wabah yang melanda berbagai wilayah dunia ini. Ada kebutuhan untuk melakukan kalkulasi dan evaluasi terhadap beragam aspek.
Dalam situasi ketidakpastian itu, diskusi untuk menyampaikan gagasan, perspektif, kritik, dan evaluasi terhadap kebijakan yang ada serta alternatifnya merupakan keniscayaan. Karena itu, kesempatan berwacana harus dibuka sebaik-baiknya sepanjang dilakukan untuk memperkuat upaya humanis dan menyampaikan kemaslahatan publik.
Diskusi dan sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah bukanlah upaya untuk menggagalkan pelaksanaannya. Mereka yang menyampaikan pandangan dan sikap berbeda bukan berarti sedang memusuhi, menghambat, atau menentang upaya baik pemerintah mengatasi masalah yang ada. Itu bisa dilihat sebagai upaya menawarkan pilihan yang dapat dipertimbangkan.
Saat ini, kita sedang perlu pemikiran diskursif di tengah ketidakpastian situasi serta beragam kebijakan yang dapat dipilih. Pemikiran diskursif perlu untuk menemukan strategi paling relevan dikaitkan dengan konsep, data, dan fakta yang tersedia, serta konteks yang ada di hadapan kita.
Jika pandemi dianggap masalah bersama, warga bangsa dapat berbagi opini, ide, serta perspektif dalam kesetaraan dan kebersamaan. Keterbukaan dan kesediaan untuk menerima dan menghargai perbedaan dapat mencegah munculnya sikap fasis untuk dan atas nama mendukung dan membela kebijakan pemerintah.
Sigit Riyanto,Dekan Fakultas Hukum UGM; Anggota Dewan Riset Nasional.