Banjir Terus Berulang di Konawe Utara, Trauma Warga Muncul dan Kian Besar
›
Banjir Terus Berulang di...
Iklan
Banjir Terus Berulang di Konawe Utara, Trauma Warga Muncul dan Kian Besar
Ratusan warga di dua desa di Konawe Utara, Sulawesi Utara, kembali mengungsi akibat banjir setinggi 1,5 meter, Rabu (8/7/2020). Kondisi ini membuat trauma warga terdampak kembali muncul dan kian besar.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Warga di dua desa di Konawe Utara, Sulawesi Utara, kembali mengungsi akibat banjir setinggi 1,5 meter, Rabu (8/7/2020). Kondisi ini membuat trauma warga terdampak kembali muncul dan kian besar.
Banjir di Konawe Utara terus berulang setiap tahun. Pada tahun 2019, misalnya, banjir berdampak pada ribuan warga. Mereka kehilangan ratusan rumah dan menderita kerugian hingga miliaran rupiah. Warga terdampak hingga kini bahkan masih tinggal di hunian sementara.
Sebulan terakhir, banjir dua kali terjadi di Konawe Utara. Banijr akhir Juni lalu kembali membuat ribuan warga terdampak. Bahkan, Jalan Trans-Sulawesi yang menghubungkan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah tidak bisa dilalui untuk beberapa waktu. Konawe Utara berjarak sekitar 140 kilometer dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara.
Kali ini, banjir menerjang Desa Laronanga di Kecamatan Andowia, dan Desa Puuwanggudu (Kecamatan Asera). Air di Kali Anggomate, anak Sungai Lasolo, perlahan naik hingga mencapai 1,5 meter di permukiman warga.
Data SAR Kendari, banjir kali ini berdampak pada 93 rumah tangga di Laronanga, dan 136 rumah tangga di Puuwanggudu. Sebagian telah dievakuasi dan warga lainnya memilih mengungsi mandiri ke tempat aman. Namun, masih ada warga terdampak bertahan di rumahnya dengan alasan menjaga harta benda.
”Air mulai naik sejak malam hingga pagi tadi. Ketinggian air mencapai 1,5 meter sehingga warga harus dievakuasi ke tempat aman dan hunian sementara atau huntara yang telah disiapkan,” kata Kepala Bidang Kedaruratan di Badan Penanggulangan Bencana Daerah Konawe Utara Jasmidi saat dihubungi dari Kendari, Sultra, Rabu (8/7/2020).
Hingga Rabu siang, kata Jasmidi, ketinggian air tidak bertambah lagi. Hujan juga mereda setelah turun dengan intensitas menengah. Meski demikian, hujan biasanya kembali turun pada sore hingga malam hari.
Jasmidi mengimbau pengungsi agar tetap berada di lokasi aman dan huntara untuk sementara waktu. Bagi mereka yang bertahan di kediamannya, dia meminta tetap siaga dan segera meninggalkan rumah jika ketinggian air kembali naik.
”Kini, hujannya baru intensitas menengah. Kalau intensitas tinggi, bisa dipastikan air akan naik lagi. Potensi banjir bandang dan longsor cukup besar jika hujan terus turun,” katanya.
Kini, hujannya baru intensitas Menengah. Kalau intensitas hujan tinggi, bisa dipastikan air akan naik lagi. Potensi banjir bandang dan longsor cukup besar jika hujan terus turun.
Kepala Stasiun Meteorologi Maritim Kendari Ramlan mengatakan, intensitas hujan masih menengah-tinggi, sekitar 100 milimeter per hari. Memasuki musim hujan, intensitasnya berpotensi meningkat.
Oleh karena itu, Ramlan menambahkan, bencana hidrometeorologi lanjutan harus diwaspadai. Hujan deras di hulu bisa berpotensi membawa debit air besar ataupun bencana longsor. Terlebih lagi, dengan kondisi hulu yang terbuka dan permukiman warga yang berada di daerah cekungan, membuat potensi bencana semakin besar.
”Sekarang belum termasuk ekstrem atau di atas 150 mm per hari. Tapi intensitas hujan yang hampir tidak berhenti membuat debit air melimpah. Kami sudah sampaikan informasi ini kepada Pemkab Konawe Utara,” ucapnya.
Kondisi itu membuat Pemkab Konawe melanjutkan status tanggap darurat bencana hingga dua pekan ke depan. Pemerintah dan instansi terkait diharapkan waspada dan bersiaga untuk bencana lanjutan.
”Kami sudah perpanjang masa tanggap darurat bencana karena melihat potensi bencana lanjutan masih besar. Upaya penanganan dan persiapan terus kami lakukan. Warga di enam kecamatan diharapkan waspada bencana,” kata Bupati Konawe Utara Ruksamin, awal pekan ini.
Banjir di Konawe Utara membuat warga cemas dan trauma setiap hujan turun. Kehilangan harta benda, hubungan harmonis warga dengan alam pun terkikis. Hal ini sesuai riset selama Juni-Desember 2019 dari tim peneliti Universitas Halu Oleo (UHO).
Sumarlin, pengajar di jurusan Bimbingan dan Konseling di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan UHO, yang juga ketua tim riset, menjabarkan, warga takut, cemas, dan stres karena banjir membuat mereka kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Saat hujan turun, kecemasan itu meningkat karena bayang-bayang bencana masih membekas.
”Apalagi, bantuan dari pemerintah minim. Mereka masih dalam suasana takut, sekarang banjir lagi. Hal tersebut berpotensi besar membuat warga semakin trauma,” katanya.
Terlebih lagi, kata Sumarlin, upaya menghilangkan penyebab banjir belum terlihat. Warga hanya ingin tidak terjerembab lagi dalam bencana yang sama setiap tahunnya.
Apalagi, bantuan dari pemerintah minim. Mereka masih dalam suasana takut, sekarang banjir lagi. Hal tersebut berpotensi besar membuat warga semakin trauma.
Pola hidup warga yang dulunya dekat dengan alam dan sungai, Sumarlin melanjutkan, berganti dengan kekhawatiran akan sungai yang berada di sekitar tempat tinggal. Sungai yang dulunya anugerah kini berpotensi membawa bencana. Hal tersebut mulai terasa ketika pertambangan dan perkebunan skala besar mulai merambah wilayah ini.
Konawe Utara adalah daerah dengan luas izin tambang terbanyak di Sultra. Wahana Lingkungan Hidup mencatat, luas izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 200.000 hektar. Padahal, luas wilayah Konawe Utara hanya sekitar 500.000 ha.
Pembukaan hutan untuk industri perkebunan skala besar, yaitu sawit dan kini tebu, juga terus terjadi. Kondisi ini membuat hutan di area hulu hingga hilir terbuka. Dua sungai besar, yaitu Lasolo dan Lalindu, mengalami pendangkalan.
Jumran, Kepala Desa Puuwanggudu, akhir Juli lalu menyampaikan, banjir membuat trauma warga berlipat ganda. Sebab, kenangan banjir besar tahun lalu masih membekas di benak mereka. Selain merusak rumah, banjir juga menghancurkan sawah dan kebun warga.