Bonnie Triyana, pendiri majalah Historia, meyakini sejarah harus dikenalkan dan dikembalikan ke masyarakat sebagai diskursus atau percakapan rakyat. Sehingga tak ada lagi yang berhak mengklaim kebenaran tunggal sejarah.
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Adagium untuk menguasai suatu bangsa kuasai ingatan sejarahnya masih berlaku sampai kini. Semasa pemerintahan otoriter Orde Baru, sejarah adalah narasi milik penguasa. Pasca-Reformasi 1998, ilmu dan narasi sejarah menjadi wacana publik yang dinamis dan bisa dihadirkan secara populer.
Bonnie Triyana sebagai pendiri majalah sejarah populer Historia, yang kini menjadi situs web informasi sejarah dan produk tayangan audiovisual sejarah, lebih dari 20 tahun bergelut dalam perjuangan menghadirkan berbagai informasi sejarah agar menjadi wacana publik. Ilmu sejarah yang dianggap membosankan dan sebelumnya hanya dibahas secara formal diboyong Bonnie ke ranah populer dan menjadi diskursus masyarakat baik di media resmi maupun media sosial.
”Awalnya tahun 2004 ketika saya ikut workshop sejarah di Salvador da Bahia di Brasil mendapati majalah sejarah populer berbahasa Portugis, Istoria, di lapak penjual koran. Banyak tampilan visual berupa foto dan desain grafis menarik soal sejarah disajikan. Lalu ketika lanjut mengikuti pelatihan di Belanda ada majalah Historisch Nieuwsblad, di Inggris juga ada BBC History. Narasi sejarah bisa disampaikan dengan cara populer dan tidak membosankan,” tutur Bonnie Triyana, alumnus Program Studi Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang, ini.
Sejak kuliah, tahun 1999-2000, Bonnie bersama komunitas pegiat sejarah di Semarang membuat lembaga Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass). Mereka berusaha membangun kesadaran memahami sejarah di masyarakat, terlebih ketika mendapati banyak sisi sejarah yang gelap seputar peristiwa 1965 dan juga saat menemukan naskah pidato Bung Karno tentang ”Revolusi Belum Selesai” yang ditutup tinta hitam saat melakukan riset di Arsip Nasional Republik Indonesia tahun 2002.
”Sejarah harus dikenalkan dan dikembalikan ke masyarakat sebagai diskursus atau percakapan rakyat,” kata Bonnie yang sempat bekerja di harian Suara Merdeka, Semarang, lalu pindah ke majalah Gatra.
Menurut Bonnie, menyajikan sejarah secara populer adalah jembatan dari jurnal ilmiah atau dunia akademis dengan masyarakat. ”Pemahaman sejarah harus hadir secara intim dan populer demi masyarakat,” kata Bonnie, yang pernah menjadi asisten sejarawan LIPI Asvi Warman Adam ketika menulis biografi Profesor Sarwono Prawirohardjo sebagai pendiri LIPI.
Selanjutnya, Bonnie sempat bekerja sebentar di harian Jurnal Nasional, hingga tahun 2008 memegang halaman budaya sebelum membidani kelahiran majalah Historia. Sewaktu bertemu sesepuh harian Kompas, P Swantoro, di rumahnya di Kompleks PWI Kebon Nanas, Jakarta Timur, Bonnie mendapatkan pesan penting bahwa ”masa lalu selalu aktual”.
Swantoro mengingatkan, media massa bisa menyintas karena momentum dan hoki. Pesan Swantoro itu menjadi pegangan Bonnie yang membuat moto ”Masa Lampau Selalu Aktual” bagi Historia.
Bukan glorifikasi
Ketika Historia lahir tahun 2010, berbagai tema tentang aliran politik, keagamaan, dan perjuangan Indonesia dipaparkan secara masif kepada publik. ”Kita tidak ingin melakukan glorifikasi tokoh atau peristiwa tertentu. Segala sesuatu yang positif atau kekurangan dari sosok atau peristiwa akan dibahas dari berbagai sudut pandang dan menjadi pelajaran di kemudian hari,” kata pria asli Banten ini.
Ditanya tentang terbitan Historia yang mengisahkan tokoh kiri dan kemudian laku keras dalam berbagai kesempatan, Bonnie menjelaskan, tidak ada kesengajaan untuk menjadi kekiri-kirian. Menurut dia, artikel Historia soal tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, PNI, dan lain-lain tidak terlalu laris karena secara umum masyarakat sudah mengenal kiprah para tokoh tersebut.
”Kalau yang tokoh kiri laku dibeli karena memang selama ini informasi tentang mereka gelap semasa Orde Baru. Jadi, keberadaan semua tokoh dari berbagai aliran politik itulah yang menjadi bahan pembelajaran sejarah bagi masyarakat,” kata Bonnie.
Ia menegaskan, pihaknya tetap berpegang pada Tap MPRS XXV Tahun 1966 tentang larangan penyebaran ajaran marxisme dan komunisme di Indonesia.
Sisi yang disentuh Historia adalah cerita-cerita sejarah Nusantara hingga menjadi Indonesia yang mencakup juga beragam tokoh dari aliran politik berbeda-beda yang memperjuangkan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia sebagai suatu fakta.
Informasi dan narasi sejarah, bagi Bonnie, adalah proses dialog terus-menerus sehingga tak ada kebenaran tunggal. Selalu mungkin ada fakta-fakta baru yang bisa ditemukan.
Sejalan dengan perkembangan industri media daring, pada tahun 2018 majalah Historia menghentikan penerbitan edisi cetaknya dan fokus pada situs berita sejarah populer Historia.id.
Melalui pemahaman sejarah secara populer, Bonnie berusaha membangun adab dan kesetaraan. Salah satu yang dikerjakannya adalah membuka data DNA asal-usul orang Indonesia yang asli ternyata berasal dari berbagai keturunan!
Narasi sejarah dan kesadaran masyarakat sangat penting di sebuah negara majemuk seperti Indonesia. Bonnie mengingatkan situasi di tanah kelahirannya Banten, yang di pedalamannya hingga hari ini masih ada berbagai hal yang belum berubah dari era Multatuli 150 tahun silam.
Keprihatinan itu yang membuat Bonnie turut merintis pembangunan Museum Multatuli di Banten demi membuka mata hati masyarakat. Membangun kesadaran sejarah memang sangat penting demi kedewasaan dalam berbangsa.
Bonnie Triyana
Tempat/tanggal lahir:
Rangkasbitung, Banten, 27 Juni 1979
Pendidikan:
- SMA 1 Rangkasbitung (1997)
- S-1 Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang (2003)
Kiprah:
- Perintis Museum Multatuli di Rangkasbitung
tahun 2018
- Pameran DNA Asal-usul Orang Indonesia
tahun 2019
- Pemulangan artefak Nusantara dari Belanda tahun 2020
- Konsultan Rijksmuseum, Belanda
---
Perbaikan
Ada perbaikan pada kalimat: ”Pemahaman sejarah harus hadir secara intim dan populer demi masyarakat,” kata Bonnie, yang pernah menjadi asisten sejarawan LIPI Asvi Warman Adam ketika menulis biografi Profesor Sarwono Prawirohardjo sebagai pendiri LIPI. Sebelumnya ditulis: kata Bonnie, yang pernah menjadi asisten sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam dan Profesor Sarwono Prawirohardjo.