Ironi Petani Kakao Lokal di Hari Cokelat Internasional
›
Ironi Petani Kakao Lokal di...
Iklan
Ironi Petani Kakao Lokal di Hari Cokelat Internasional
Produksi kakao nasional cenderung turun ketika kapasitas industri pengolah justru naik beberapa tahun terakhir. Perkembangan industri di hilir bertolak belakang dengan nasib petani kakao sebagai pelaku di hulu.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah perkembangan industri penghasil bahan antara cokelat di dalam negeri, petani kakao justru tidak menunjukkan gairah untuk berproduksi. Produksi dan produktivitas kebun cenderung turun ketika kapasitas industri pengolah kakao justru naik.
Ironi itu terjadi di Hari Cokelat Internasional yang diperingati setiap tanggal 7 Juli. Cokelat merupakan produksi hilir yang berasal dari biji kakao yang ditanam oleh petani.
Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Soetanto Abdoellah berpendapat, produksi biji kakao nasional makin lesu. Padahal, industri pengolahan biji kakao menjadi produk antara cokelat di dalam negeri tengah berkembang.
”Artinya, peluang perkembangan ini tidak dinikmati oleh petani kakao Tanah Air, ironis,” ujarnya, Selasa (7/7/2020).
Menurut Soetanto, merosotnya gairah kakao nasional ditunjukkan oleh turunnya peringkat Indonesia sebagai produsen kakao dunia. Saat ini, Indonesia menempati posisi keenam. Padahal, tiga tahun lalu, Indonesia berada di ranking ketiga.
Di sisi lain, menurut Soetanto, kapasitas industri pengolah biji kakao menjadi produk antara, seperti lemak, bubuk, dan pasta, tengah berkembang di Indonesia. Saat ini, kapasitasnya mencapai 800.000 ton per tahun, lebih besar dibandingkan 2-3 tahun lalu yang berkisar 600.000 ton per tahun.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao sepanjang Januari-Mei 2020 meningkat 22,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ekspor bubuk kakao bahkan meningkat 58,14 persen selama kurun periode tersebut.
Menurut Soetanto, biji kakao impor memiliki andil sebagai bahan baku produk-produk tersebut. Sejumlah industri pun masih memanfaatkan bahan antara dari luar negeri untuk mengolahnya menjadi produk cokelat.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia Arief Zamroni berpendapat, biji kakao nasional tak berdaya saing dan tidak kompetitif dibandingkan yang berasal dari luar negeri. ”Hal ini membuat petani tak bergairah untuk memproduksi kakao. Dampaknya, petani pun akan mengalihkan lahannya ke komoditas yang lebih menjanjikan dan tidak sulit dalam perawatannya,” ujarnya.
Saat ini, rata-rata nasional harga kakao di tingkat petani mencapai Rp 30.000 per kilogram. Menurut dia, harga tersebut tergolong stabil tinggi dibandingkan tahun lalu. Kestabilan harga ini lebih disebabkan penurunan produktivitas, bukan kenaikan permintaan, sehingga patut diwaspadai.
Di tingkat dunia, menurut Organisasi Kakao Internasional, rata-rata harga kakao saat ini berkisar 2.070,92 dollar Amerika Serikat (AS) per ton. Angka itu lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 2.511,62 dollar AS per ton.
Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan menggenjot program rehabilitasi dan peremajaan lahan perkebunan kakao. Dalam dua tahun terakhir, menurut Arief, tidak ada kebijakan pemerintah yang berorientasi pada penyelamatan perkebunan kakao.
Selain itu, asosiasi mengusulkan agar pemerintah mendorong pelaku industri untuk bermitra dengan petani kakao sehingga memperoleh akses pada teknologi tepat guna dan kepastian penyerapan.
”Industri ini turut mengembangkan perkebunan kakao yang digarap petani di kluster daerah masing-masing,” katanya.