Wabah Covid-19 akibat virus korona galur baru di Jawa Timur belum mereda, antara lain, karena sulitnya memastikan masyarakat menerapkan protokol kesehatan, terutama jaga jarak fisik.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Wabah coronavirus disease 2019 akibat virus korona galur baru atau SARS CoV-2 di Jawa Timur belum mereda, antara lain, karena sulitnya memastikan masyarakat menerapkan protokol kesehatan, terutama jaga jarak fisik untuk mencegah penularan Covid-19.
Salah satu jalur rawan penularan Covid-19 di Jatim adalah pesisir utara (pantura), khususnya dari Surabaya ke barat (Jawa Tengah) melalui Gresik, Lamongan, dan Tuban. Data resmi laman http://infocovid19.jatimprov.go.id/ yang dikelola oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim, Rabu (8/7/2020), Surabaya terus menjadi wilayah terparah paparan wabah Covid-19, diikuti Sidoarjo di selatan dan Gresik di barat.
Lamongan di urutan ke-10 dari 38 kabupaten/kota di Jatim. Tuban di peringkat ke-19. Pemeringkatan ini berdasarkan jumlah warga positif Covid-19. Urutan bisa berubah-ubah, tetapi untuk Surabaya dan Sidoarjo tidak ada perubahan sejak kasus pertama di Jatim diumumkan pada Selasa (17/3/2020).
Situasi wabah yang ”parah” di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik sempat membuat pemerintah provinsi dan pemerintah setempat menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama 42 hari kurun 28 April-8 Juni 2020.
Selepas PSBB berakhir, seluruh daerah seakan tergesa-gesa masuk dalam masa peralihan normal baru (new normal). Ini diperlihatkan dengan kembali beroperasinya secara penuh pusat keramaian yang sempat tutup, yakni obyek wisata, pasar, pusat belanja, kawasan istirahat dan oleh-oleh, kedai kopi, restoran, rumah makan, dan taman di pantura sisi barat.
Hilir mudik
Di pusat oleh-oleh sepanjang pantura dari Surabaya ke Tuban, mulai ramai dengan hilir mudik masyarakat dari dan ke Jateng, misalnya di Sidayu (Gresik) dan Brondong (Lamongan). Obyek wisata andalan, yakni Pantai Dalegan (Gresik), sudah kembali ramai, tetapi tidak dengan Wisata Bahari Lamongan dan Goa Maharani yang akan kembali buka pada akhir pekan ini.
Pengelola obyek wisata, seperti di Pantai Dalegan dan Pelabuhan Brondong, memang membatasi jumlah pengunjung maksimal separuh dari kapasitas normal. Mereka juga menyediakan banyak tempat cuci tangan dengan air dan sabun (wastafel). Pengunjung yang datang diperiksa suhu tubuh, melewati bilik pensanitasi, dan wajib berpelindung diri setidaknya bermasker atau ada juga yang menambahi dengan sarung tangan dan pelindung wajah.
Penyediaan sarana cuci tangan dan kewajiban memakai pelindung diri setidaknya menjadi langkah preventif untuk menghindari penularan. Namun, situasi ini masih sulit diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari di tingkat keluarga. Saat Kompas berkunjung ke pedesaan di pantura, relatif jarang terlihat masyarakat peduli memakai pelindung diri ketika beraktivitas di luar rumah.
Selain itu, aspek yang sulit diterapkan adalah jaga jarak fisik. Di tempat wisata, saat berbelanja oleh-oleh dan menikmati makanan, jaga jarak fisik tidak mudah diterapkan. Misalnya, di Pantai Dalegan, mustahil bagi pengunjung untuk tidak bergandengan tangan setidaknya di antara anggota keluarga saat menikmati berenang atau bermain air. Di kawasan oleh-oleh Sindujoyo (Gresik), ruang di warung atau toko yang kurang memadai tentu menyulitkan siapa saja untuk tidak bersentuhan.
Sepengamatan Kompas, sepertinya masyarakat tidak terlalu cemas dengan situasi wabah Covid-19 meski penyakit ini mematikan. Kalangan warga terkesan cuek dengan ancaman penularan asalkan dapat beraktivitas kembali dengan normal. Motif ekonomi untuk keberlangsungan hidup keluarga menjadi alasan terkuat untuk masyarakat kembali ke aktivitas normal meski wabah Covid-19 tak mereda.
Sosiolog pedesaan Universitas Airlangga, Surabaya, Doddy Sumbodo Singgih, menilai, dari seluruh aspek anjuran penerapan protokol kesehatan, cuma jaga jarak fisik yang mustahil bisa diikuti dengan sempurna. Alasannya, menentang kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan berkumpul atau berdekatan meski dalam situasi saat ini kerumunan berisiko mengundang penularan Covid-19.
Menurut Doddy, strategi mengurangi kapasitas pengunjung ke suatu obyek wisata dan penataan ulang sehingga ada jarak saat makan, jajan, mengopi, dan berbelanja sulit diukur keandalannya untuk mencegah antarmanusia bersentuhan. Dalam situasi seperti itu, pencegahan penularan dibebankan pada keandalan perlindungan yang dipakai seseorang.
Bupati Gresik Sambari Halim Radianto mengatakan, tidak bisa melarang masyarakat untuk beraktivitas demi kelangsungan hidup. Namun, aparatur pemerintah berstrategi terus dengan berpatroli untuk mengingatkan masyarakat menerapkan protokol kesehatan.
Pembukaan obyek wisata dengan pengurangan jumlah kapasitas pengunjung, penyediaan sarana sanitasi, dan kewajiban untuk berpelindung diri merupakan program dalam konteks normal baru untuk penerapan seterusnya.
Jika muncul kasus yang signifikan di suatu wilayah, tidak menutup kemungkinan ditempuh kebijakan karantina atau isolasi sementara.
Hal senada diutarakan Wakil Bupati Lamongan Kartika Hidayati yang dihubungi secara terpisah. Pemerintahannya belum terburu-buru membuka obyek wisata andalan, yakni WBL dan Goa Maharani, dengan harapan pengelola nantinya benar-benar siap. Pengunjung juga diharapkan bertanggung jawab menerapkan protokol kesehatan.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, mengatakan, kepatuhan masyarakat dan kerja keras aparatur dan gugus tugas menentukan keberhasilan penanganan wabah. Di satu sisi, gugus tugas harus berusaha memperluas cakupan tes sehingga didapat situasi riil wabah.
”Masyarakat amat diharapkan patuh menerapkan protokol kesehatan,” kata Windhu. Jika tidak, penularan yang linier dengan jumlah kasus positif hingga kematian akan terus naik.
Situasi terkini di Jatim, ada 14.578 warga positif dengan rincian kematian 1.112 jiwa, dalam perawatan 7.883 pasien, kesembuhan 5.316 orang, dan 267 jiwa dalam konfirmasi domisili. Jatim menjadi wilayah terparah paparan wabah Covid-19 di Indonesia.