Pemerintah beserta aparat penegak hukum diharapkan segera berkoordinasi dan melangkah bersama menangkap Joko S Tjandra. Langkah pertama yang dapat segera dilakukan adalah mencabut kartu tanda penduduk dan paspornya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah beserta aparat penegak hukum diharapkan segera berkoordinasi dan melangkah bersama untuk menangkap Joko S Tjandra. Langkah pertama yang dapat segera diambil adalah mencabut kartu tanda penduduk dan paspor atas nama Joko S Tjandra.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto, ketika dihubungi Rabu (8/7/2020) di Jakarta, mengatakan, langkah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan memanggil empat instansi untuk memonitor perkembangan pencarian buronan perkara pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali, Joko S Tjandra, sudah tepat. Namun, pemerintah juga perlu berkoordinasi dengan Mahkamah Agung yang membawahi badan peradilan yang selama ini menangani kasus tersebut.
”Sekarang pihak pengadilan mau tidak mau harus dilibatkan. Jadi penindakan tidak hanya eksekutif, tetapi juga perlu melibatkan yudikatif,” kata Satya.
Sekarang pihak pengadilan mau tidak mau harus dilibatkan. Jadi penindakan tidak hanya eksekutif, tetapi juga perlu melibatkan yudikatif.
Menurut Satya, peristiwa lolosnya Joko S Tjandra harus dievaluasi dan diikuti dengan kebijakan untuk menyelaraskan data kependudukan dengan putusan di pengadilan. Dengan bantuan teknologi informasi, perbaikan dan penyelarasan data itu mestinya dapat diatasi.
Namun, untuk saat ini, yang diperlukan adalah tindakan cepat dari lembaga eksekutif ataupun yudikatif untuk mempersempit ruang gerak Joko S Tjandra. Hal itu dapat dilakukan dengan mencabut kartu tanda penduduk (KTP) ataupun paspornya.
Pencabutan tersebut dapat dilakukan berdasarkan asas contrarius actus. Artinya, badan atau pejabat yang berwenang untuk menerbitkan suatu keputusan TUN juga berwenang untuk mencabutnya.
”Cabut saja paspor dan KTP-nya oleh institusi yang menerbitkan untuk membuktikan bahwa tidak ada pihak yang melindungi. Tindakan pencabutan ini bisa dilakukan tanpa harus menunggu pertemuan dengan Menkopolhukam itu,” ujar Satya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan Agustinus Pohan berpandangan, peristiwa masuknya buronan Joko S Tjandra ke Indonesia tanpa diketahui memperlihatkan tidak adanya sistem peringatan dini terkait keluar masuknya buronan ke Indonesia. Oleh karena itu Menkopolhukam diharapkan agar mengevaluasi sistem beserta koordinasi antar instansi.
Menurut Agustinus, jika permohonan peninjauan kembali Joko S Tjandra tersebut tidak diketahui media, sangat mungkin sidang akan berlanjut dengan dihadiri Joko. Keberanian Joko mendaftarkan permohonan PK memperlihatkan dia memperhitungkan hal itu.
Terlepas dari kelemahan sistem, Agustinus melanjutkan, telah terjadi sebuah kelalaian dari instansi terkait. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi lebih luas yang bisa melibatkan Ombudsman RI.
”Agar peristiwa ini tidak dipolitisasi, pemerintah lebih baik mengakui saja bahwa ada kelemahan. Kemudian segera mengevaluasi dan melakukan perbaikan,” kata Agustinus.
Sistem peradilan belum jalan
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, mengatakan, rentetan peristiwa terkait buronan Joko S Tjandra memperlihatkan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia belum berjalan maksimal. Institusi penegak hukum ataupun instansi yang erat terkait belum terhubung dengan baik.
Hal itu tampak dari laporan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bahwa red notice atas nama Joko Tjandra telah terhapus dari basis data sejak 2014 karena tidak ada lagi permintaan dari Kejaksaan Agung. Hal itu ditindaklanjuti dengan penghapusan nama Joko S Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020.
Kemudian, pada 27 Juni, terdapat permintaan kembali dari Kejaksaan Agung untuk memasukkan kembali nama itu ke sistem perlintasan dengan status masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO).
”Dalam konteks criminal justice system, apalagi sekarang sudah berbentuk daring, mestinya sudah otomatis terhubung antara satu institusi dan yang lain. Misalnya, sebelum dihapus, Kemenkumham bertanya dulu ke kejaksaan. Ini kan menandakan tidak ada komunikasi dan koordinasi,” kata Ninik.
Dalam konteks criminal justice system, apalagi sekarang sudah berbentuk daring, mestinya sudah otomatis terhubung antara satu institusi dengan yang lain. Misalnya, sebelum dihapus, Kemenkumham bertanya dulu ke Kejaksaan. Ini kan menandakan tidak ada komunikasi dan koordinasi.
Menurut Ninik, aparat penegak hukum dan instansi yang terkait dengan sistem peradilan pidana harus satu visi dalam melakukan penegakan hukum. Jika tidak, hal itu akan sangat membingungkan masyarakat, termasuk dalam kasus buronan Joko S Tjandra. Ombudsman RI masih mencermati kasus tersebut meskipun belum ada laporan masuk tentang hal itu.
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, berpendapat, Menkopolhukam mesti sungguh-sungguh mengevaluasi peristiwa masuknya Joko S Tjandra ke Indonesia dan dapat membuat identitas tanpa diketahui aparat penegak hukum. Hal itu dinilainya sebagai penghinaan terhadap negara ini.
Terkait dengan hal itu, pemerintah melalui Menkopolhukam diharapkan memberi penjelasan tentang yang sebenarnya terjadi kepada publik. Sebab, publik masih bertanya-tanya tentang peristiwa yang memalukan tersebut. Selain itu, pihak-pihak yang terkait dengan masuknya Joko S Tjandra ke Indonesia harus diminta pertanggungjawaban, termasuk mundur atau dicopot dari jabatannya.