Masa Pandemi dan Kerinduan pada Kampung Halaman
Ketegasan pemerintah mengimplementasikan peraturan sangat diperlukan. Potensi penularan virus korona baru penyebab Covid-19 belum hilang.
Migrasi penduduk ke tempat asal alias mudik merupakan hal yang biasa dan sudah berlangsung lama di Indonesia. Namun, selama masa pandemi Covid-19, mereka yang merantau harus membendung rasa rindu mudik ke kampung halamannya.
Tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah migran mencapai 11,7 persen penduduk. Angka itu setara dengan 27,8 juta orang dari total 237,6 juta penduduk Indonesia saat itu. Tiga provinsi menjadi tujuan migran terbanyak, yaitu Jawa Barat (18,7 persen dari total migran), berikutnya DKI Jakarta (14,6 persen), dan Banten (9,9 persen).
Keterikatan migran terhadap kampung halamannya sudah tidak terlampau kuat karena mereka sudah menetap cukup lama di provinsi tujuan, yaitu lebih dari lima tahun. Situasi berbeda terjadi jika dibandingkan dengan migran musiman, seperti pekerja sirkuler. Keterikatan mereka terhadap kampung halaman masih sangat kuat.
Selama masa pandemi Covid-19, mereka yang merantau harus membendung rasa rindu mudik ke kampung halamannya.
Secara berkala, mereka rutin pulang kampung untuk bertemu keluarga tiap satu minggu hingga tiap enam bulan sekali. Di provinsi tujuan, biasanya lokasi tinggal mereka tak jauh dari tempat kerja. Kediaman mereka berupa asrama, tempat kos, kontrakan, atau rumah saudara.
Hingga tahun 2018, data BPS menyebutkan, jumlah pekerja sirkuler di Indonesia mencapai 2,7 juta orang yang tersebar di sejumlah provinsi. Paling banyak berasal dari Jawa Barat, yaitu 29,6 persen dari total pekerja sirkuler, disusul Jawa Tengah (22,9 persen), Jawa Timur (12,9 persen), Banten (4,5 persen), dan Sumatera Utara (3,5 persen).
Di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) selama pandemi, hasil Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 (BPS, 2020) menyebutkan, ada tiga sektor yang terdampak, yaitu perdagangan besar dan eceran, transportasi dan pergudangan, serta penyediaan akomodasi dan makan-minum.
Adapun mayoritas pekerja sirkuler menggeluti sektor konstruksi (26,6 persen), perdagangan besar dan eceran (14,9 persen), serta industri pengolahan (13,5 persen). Boleh jadi, para pekerja sirkuler ini terdampak PHK lebih sedikit ketimbang pekerja di bidang lain.
Pembatasan transportasi
Sampai dengan awal Juli 2020, peraturan pemerintah terkait pembatasan transportasi tercatat sudah berjalan selama tiga bulan. Pembatasan itu diawali dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020 yang berlaku sejak 9 April 2020. Melalui peraturan ini, pengendalian transportasi dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, di area pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan untuk kegiatan mudik 2020.
Pada kebijakan tersebut, penumpang dapat tetap melakukan perjalanan antarkota meski harus mematuhi sejumlah protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak fisik, dan tidak memiliki gejala Covid-19. Tiap moda transportasi juga harus membatasi jumlah penumpang maksimal 50 persen dari kapasitas kursi.
Larangan menjadi lebih ketat ketika memasuki masa mudik Idul Fitri 1441 Hijriah. Kala itu terbit Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 yang berlaku mulai dari 24 April hingga 31 Mei 2020.
Melalui peraturan ini, semua moda transportasi di wilayah PSBB dan zona merah dilarang beroperasi. Perkecualian diberlakukan pada kendaraan pemadam kebakaran, ambulans, mobil jenazah, serta mobil barang kebutuhan pokok.
Menjelang Idul Fitri, yaitu 14 Mei 2020, DKI Jakarta sebagai salah satu magnet bagi pendatang mengeluarkan kebijakan baru. Melalui Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 47 Tahun 2020, warga tanpa KTP elektronik Jabodetabek sulit keluar dan masuk Ibu Kota, kecuali mengantongi surat izin keluar masuk (SIKM) yang dapat diurus dengan melengkapi berbagai persyaratan.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga mengeluarkan aturan tambahan. Pada 6 Juni 2020 diterbitkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 yang mengatur persyaratan perjalanan orang dalam masa adaptasi kebiasaan baru. Satu di antaranya ialah pengguna transportasi umum harus memiliki surat keterangan uji tes cepat dengan hasil nonreaktif.
Semua aturan ini mempersulit perjalanan antarkota, terutama bagi mereka yang biasa menggunakan transportasi umum, seperti bus ataupun kereta api. Penyebabnya, sekali tes, biaya yang dikeluarkan Rp 200.000 hingga Rp 300.000 dengan hasil yang hanya berlaku selama tiga hari. Baru sejak 26 Juni 2020, masa berlaku tes cepat diperpanjang hingga 14 hari.
Bagi pelanggar, sanksi telah menanti. Pemerintah berhak menghentikan perjalanan orang jika persyaratan tidak dipenuhi. Sanksi juga diatur dalam Pergub DKI Jakarta. Mereka yang tidak memiliki SIKM harus putar balik ke tempat asal atau dikarantina 14 hari.
Mobilitas menurun
Sejumlah kebijakan pengendalian transportasi ini membuahkan hasil. Tren penurunan jumlah penumpang di beberapa moda transportasi mulai terlihat sejak kebijakan pertama dikeluarkan. Berdasarkan data BPS, dari tiga moda transportasi, penurunan jumlah penumpang paling tajam ditemukan pada moda pesawat terbang.
Sejak Januari hingga Mei 2020, jumlah keberangkatan penerbangan domestik di lima bandara besar di Indonesia rata-rata turun 50,5 persen setiap bulan. Dari 3.205.000 penumpang pada Januari, jumlahnya menjadi hanya 46.000 orang sepanjang Mei 2020. Jumlah penumpang kapal laut mengalami penurunan rata-rata 42,3 persen, sedangkan kereta api 28,7 persen.
Tren penurunan jumlah penumpang di beberapa moda transportasi mulai terlihat sejak kebijakan pertama dikeluarkan.
Hal serupa terjadi pada moda transportasi darat bus antarkota antarprovinsi (AKAP). Selama larangan diberlakukan, tidak ada aktivitas penumpang di terminal bus antarkota. Kala itu, terminal di sejumlah daerah berhenti beroperasi, tidak terkecuali sembilan terminal yang melayani bus AKAP di Jabodetabek.
Hingga 6 Juli 2020, peraturan pengendalian transportasi masih berlaku di Indonesia. Melalui Permenhub Nomor 41 Tahun 2020, jumlah penumpang secara berangsur-angsur bertambah seiring memasuki masa adaptasi kebiasaan baru. Meski demikian, persyaratan seperti hasil tes PCR atau tes cepat nonreaktif serta SIKM di DKI Jakarta masih berlaku.
Menengok tujuan awal terbentuknya kebijakan pengendalian transportasi, yaitu demi mencegah penyebaran Covid-19 semakin luas, ketegasan pemerintah mengimplementasikan peraturan sangat diperlukan. Potensi penularan virus belum hilang.
Kerinduan akan kampung halaman barangkali masih dapat dibendung oleh pekerja sirkuler yang bertahan di provinsi tujuan. Namun, sedikit demi sedikit, semua itu berpotensi dilanggar jika dibiarkan ada celah kemudahan untuk pulang. (LITBANG KOMPAS)