Orkestrasi Gerakan Antikorupsi
Kita perlu lakukan perubahan UU Tipikor. Langkah ini, selain memperluas kewenangan APH dalam memberantas korupsi, juga akan mempersempit gap antara UU Tipikor dan konvensi internasional tentang pemberantasan korupsi.
Tantangan menarik dan pelik yang kita hadapi saat ini adalah bagaimana mengorkestrasi transformasi gerakan antikorupsi di Tanah Air.
Transformasi ini sedikitnya mengandung tiga komponen: 1) menghadirkan pranata sosial antikorupsi dalam lanskap sosial politik kekinian, 2) memperluas dan memadukan strategi pemberantasan korupsi, serta 3) memperluas basis gerakan sosial antikorupsi.
Transformasi gerakan antikorupsi ini diyakini akan meningkatkan indeks persepsi korupsi (IPK) secara signifikan. Dalam lima tahun terakhir, skor IPK hanya naik dari 32 menjadi 40 (dalam skala 0-100).
Singapura yang sudah menerapkan kombinasi pendekatan sisi permintaan dan penawaran dalam memberantas korupsi sukses masuk sepuluh negara terbersih di dunia.
Monolitik
Pertama, ada lima pranata sosial antikorupsi yang memengaruhi prevalensi korupsi suatu negara: pergantian pemerintah secara tertib dan teratur; institusi peradilan yang bebas dan mandiri; partai oposisi yang kuat, efektif, dan stabil; institusi media yang bebas dan mandiri; serta gerakan sosial antikorupsi yang kuat, efektif, dan stabil. Negara yang memiliki lima pranata ini biasanya prevalensi korupsinya kecil dan sebaliknya.
Dari kelima pranata itu, kita baru punya dua: pergantian pemerintah secara tertib dan teratur serta institusi media yang bebas dan mandiri. Tiga pranata lain masih harus dihadirkan. Tingginya prevalensi korupsi peradilan (judicial corruption) menunjukkan lembaga peradilan kita belum bebas dan mandiri. Dengan UU No 19/2019, KPK tak lagi kuat, bebas, dan mandiri. Dalam kondisi demikian, sulit diharapkan KPK bisa mengorkestrasi transformasi gerakan antikorupsi.
Partai oposisi yang efektif, kuat, dan stabil absen dalam lanskap sosial politik saat ini. Ketimbang jadi oposisi, parpol cenderung bergabung dengan pemerintah yang berkuasa. Lanskap sosial politik kita pasca-Pilpres 2019 makin monolitik sehingga tak kondusif bagi gerakan antikorupsi.
Lanskap sosial politik kita pasca-Pilpres 2019 makin monolitik sehingga tak kondusif bagi gerakan antikorupsi.
Gerakan sosial antikorupsi kita yang ada saat ini—yang berbasis aktivis LSM, aktivis mahasiswa dan dosen/guru, warga aktif, aktivis perempuan, jurnalis, serta budayawan—masih lemah dan terfragmentasi. Perjuangan dan perlawanan mereka terhadap revisi UU KPK dan enggannya Presiden menerbitkan perppu atas UU No 19/2019 tentang KPK lemah.
Sektor bisnis
Kedua, memperluas dan memadukan strategi pemberantasan korupsi. Jika selama ini strategi pemberantasan korupsi lebih mengandalkan sisi permintaan (demand side), ke depan harus juga menggunakaan pendekatan sisi penawaran (supply side). Dengan kata lain, kalau selama ini yang jadi target pencegahan dan pemberantasn korupsi sektor serta institusi pelayanan publik, ke depan target juga mencakup sektor bisnis dan institusi bisnis.
Korupsi tak pernah berdiri sendiri, hampir selalu melibatkan pebisnis. Jumlah koruptor berlatar bekang pebisnis kini menempati urutan teratas, 264 orang selama periode 2004 hingga Juni 2019. Urutan kedua politisi, 255 orang. Oleh karena itu, penggunaan kedua pendekatan, sisi permintaan dan penawaran secara bersamaan, sebuah keniscayaan.
Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung No 13/2016 tentang tata cara pemidanaan korupsi korporasi juga jadi pendorong digunakannnya pendekatan sisi penawaran dalam pemberantasan korupsi. Sampai saat ini, sudah ada enam korporasi dipidanakan. Ke depan seharusnya pemidanaan korporasi jadi tren pemberantasan korupsi. Caranya, menjadikan pemidanaan korporasi sebagai indikator kunci kinerja (KPI) bagi aparat penegak hukum (APH) dalam pemberantasan korupsi.
Serikat pekerja
Ketiga, memperluas basis gerakan antikorupsi. Kalau selama ini basis gerakan sosial antikorupsi itu warga aktif, aktivis LSM, aktivis mahasiswa, dosen/guru, budayawan, jurnalis, dan aktivis perempuan, ke depan harus melibatkan serikat pekerja/organisasi buruh. Kita harus mengembangkan gerakan antikorupsi berbasis serikat pekerja (SP) yang kuat, efektif, dan stabil di dunia bisnis.
Sudah rahasia umum selama ini banyak BUMN/BUMD jadi sapi perahan (cash cow) elite birokrasi, APH, tentara, dan politisi di pusat dan daerah. Membangun gerakan antikorupsi di tubuh BUMN/BUMD menjadi krusial. Prioritas mungkin bisa diberikan kepada BUMN/BUMD strategis, seperti Pertamina, PLN, Inalum, Garuda, dan bank-bank pembangunan daerah.
Kita harus mengembangkan gerakan antikorupsi berbasis serikat pekerja (SP) yang kuat, efektif, dan stabil di dunia bisnis.
Problem korupsi yang melibatkan swasta dan korupsi sesama swasta itu besar dan kompleks. Sayangnya, kerangka hukum yang ada saat ini tak memadai. Ada beberapa jenis tindak pidana korupsi (tipikor) yang umum terjadi dan melibatkan swasta, tapi belum diatur dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Tipikor, yaitu suap sesama swasta, peningkatan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment), dagang pengaruh (influence trading), dan suap yang melibatkan pejabat organisasi internasional/asing.
UU Tipikor hanya mengatur 30 jenis tipikor yang bisa dikelompokkan ke dalam tujuh kategori: 1) penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian keuangan negara, 2) suap-menyuap, 3) penggelapan dalam jabatan, 4) pemerasan, 5) perbuatan curang, 6) konflik kepentingan dalam pengadaaan, dan 7) gratifikasi.
Kita perlu mengagendakan perubahan UU Tipikor. Langkah ini, selain memperluas kewenangan APH dalam memberantas korupsi, juga akan mempersempit gap antara UU Tipikor dan konvensi internasional tentang pemberantasan korupsi. Empat jenis tipikor ”baru” ini rekomendasi hasil evaluasi pelaksanaan UNCAC putaran I dan II di Indonesia. Kita harus mematuhi UNCAC karena sudah mengundangkannya dalam UU No 7/2006.
Kita perlu mengagendakan perubahan UU Tipikor.
Mungkin organisasi masyarakat sipil (OMS) bisa mengorkestrasi transformasi gerakan antikorupsi ini. OMS perlu segera mereposisi dan mengonsolidasikan diri. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII), misalnya, yang menjadi lokomotif gerakan antikorupsi di Tanah Air, harus mewakafkan diri setidaknya untuk mengorkestrasi eksisnya gerakan sosial antikorupsi yang kuat, efektif, dan stabil. Dari sini nanti kita mendorong lahirnya institusi peradilan yang bebas dan mandiri serta partai oposisi yang kuat, efektif, dan stabil.
(Dedi Haryadi, Ketua Beyond Anti Corruption)