Terlepas dari polemik komersialisasi, rapid test (tes cepat) seharusnya bukan untuk mempersulit warga dalam beraktivitas.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga bingung karena tarif rapid test atau tes cepat beragam dan cenderung mahal. Padahal, hasil tes itu menjadi salah satu syarat untuk bepergian dan ujian masuk perguruan tinggi di sejumlah daerah.
Gilang (25) mengurungkan niat kembali ke Waisai, Raja Ampat, Papua Barat, karena tarif tes cepat terlampau mahal. Tarif tes cepat di Sorong, Papua Barat, sembilan kali lebih mahal dari tarif tiket kapal penyeberangan. Tarif tiket kapal penyeberangan Sorong ke Waisai sebesar Rp 100.000. Sementara tarif tes cepat Rp 905.000.
”Seharusnya saya kembali ke sana (Waisai) untuk bekerja. Akan tetapi, saya tunda karena harga rapid test tidak masuk akal,” ujar Gilang, Rabu (8/7/2020). Ia masih menimang-nimang untuk bersegera melakukan tes cepat supaya bisa segera kembali bekerja. Sebab, uangnya semakin menipis untuk kebutuhan sehari-hari di Sorong.
Zara Audrey (19) belum mengikuti tes cepat sebagai salah satu syarat ikut Ujian Tertulis Berbasis Komputer-Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Tarif tes cepat di Surabaya, Jawa Timur, terlampau mahal untuknya. Apalagi kondisi keuangan keluarga sedang tidak baik karena orangtuanya mengalami pemutusan hak kerja.
Konsekuensinya biaya pendaftaran ujian Rp 150.000 hangus karena tidak mengikuti ujian. ”Rapid test hasilnya cuma bisa dipakai dua minggu, tetapi harganya semahal itu. Padahal, belum tentu lolos ujian. Mungkin saya mundur dan daftar lagi tahun depan,” kata Zara.
Tarif tes cepat di Surabaya berkisar Rp 325.000 hingga Rp 550.000. Belum termasuk biaya dokter. Adapun hasil tes dapat diketahui rentang 1 jam hingga 2 hari.
Menurut Kepala Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko, tes cepat berguna untuk menyaring orang dalam kondisi sehat dan kondisi tidak sehat karena masih terbatasnya alat tes reaksi rantai polimerase (PCR). ”Tidak apa-apa orang dalam kondisi sehat dikelompokkan dan yang tidak benar-benar sehat juga dikelompokkan. Namun, tarif tes yang beragam dan cenderung mahal sangat keterlaluan,” ujar Tri.
Kementerian Kesehatan mengatur tarif tertinggi tes cepat antibodi Rp 150.000. Tarif itu berlaku untuk warga yang melakukan tes cepat antibodi atas permintaan pribadi. Ketentuan Kementerian Kesehatan itu tertera dalam Surat Edaran Nomor HK 02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi. Surat ditandatangani Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo pada Senin (6/7/2020).
Menurut Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Slamet Budiarto, ketentuan tarif Rp 150.000 harus mempertimbangkan beban biaya pelayanan seperti bahan habis pakai atau alat kesehatan, alat pelindung diri, dan jasa medis. Apabila rumah sakit menanggung beban kekurangan biaya komponen lainnya, berpotensi mengganggu pelayanan. ”Seharusnya Kemenkes mengatur harga maksimal alat rapid test, bukan tarif pelayanan,” kata Slamet. Harga dasar alat tes cepat Rp 150.000-Rp 200.000 tergantung pada buatan mana. Ada buatan China, Eropa, Korea, dan Amerika.
Ia menyarankan sebaiknya tes cepat tidak dijadikan syarat wajib untuk bepergian dalam negeri. Syaratnya cukup dengan surat keterangan sehat tidak memiliki gejala penyakit. Itu untuk menghindari dugaan komersialisasi tes cepat.
Anggota Ombudsman RI, Alvin Lie, Selasa (7/7/2020), menuturkan, masih ada hal lain yang harus segera diatur agar warga tidak menjadi ”korban”. Persoalan itu ialah sanksi kepada pelanggar batas tarif. ”Kementerian Kesehatan sudah patok harga sekian, tetapi belum ada sanksi kepada pihak yang melanggar aturan tersebut,” katanya.
Persoalan lainnya, antara lain, kebijakan untuk rumah sakit yang telah membeli alat tes cepat antibodi dengan harga di atas Rp 200.000. Ombudsman menemukan sejumlah rumah sakit membeli alat tes cepat antibodi dengan harga relatif mahal karena tidak punya alternatif pemasok lain.
Selanjutnya mengatur batas tarif tes PCR dan standar pelayanannya. Saat ini, harga tes Rp 1.000.000 ke atas. ”Tes cepat antibodi 15 menit selesai. Kalau PCR, berbeda-beda. Hasilnya keluar 3 hari, 5 hari, atau lebih,” ucapnya.
Ia juga mempertanyakan relevansi tes cepat sebagai syarat bepergian. Sebab, hanya di Indonesia hasil tes Covid-19 menjadi syarat calon penumpang untuk bepergian. Sementara di luar negeri syarat itu hanya berlaku untuk penerbangan lintas negara, bukan domestik.
Alvin menyarankan sebaiknya mengetatkan kewajiban mengenakan masker, jarak kursi atau diberi sekat, dan cek suhu tubuh. Sebelumnya, warga menyoal mahalnya tarif tes cepat antibodi. Tarif berkisar Rp 95.000 hingga Rp 1.000.000. Padahal, harga alat tes cepat berkisar Rp 60.000 hingga Rp 400.000. Itu bertolak dari tidak ada ketentuan hasil tes Covid-19 untuk perjalanan darat. ”Lalu lalang mobil dan bus tidak ada syarat serupa,” ujarnya.