Di tengah pandemi, Filipina memberlakukan Undang-Undang Antiterorisme. UU ini dinilai lebih untuk membungkam pengkritik, bukan hanya mengatasi terorisme.
Oleh
EDITOR KOMPAS
·2 menit baca
Di tengah pandemi, Filipina memberlakukan Undang-Undang Antiterorisme. UU ini dinilai lebih untuk membungkam pengkritik, bukan hanya mengatasi terorisme.
Kekhawatiran bahwa pandemi Covid-19 saat ini bisa memberi dasar legitimasi atau kedok bagi sejumlah pemerintah untuk bertindak otoriter berulang kali didengungkan pengamat. Tindakan itu dapat dilakukan melalui pemberlakuan kondisi darurat dengan alasan melindungi keselamatan warga, atau melalui legislasi yang dipercepat hingga melahirkan undang-undang. Filipina sejak dipimpin Presiden Rodrigo Duterte memperlihatkan kecenderungan menuju arah otoriter. Pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme di negara yang pernah digadang-gadang menjadi kekuatan demokrasi di Asia Tenggara ini menjadi salah satu bukti terbaru dari tren itu.
Sejak naik ke puncak kekuasaan di Filipina pada 2016, dari posisi sebelumnya sebagai Wali Kota Davao, Duterte dikenal dengan langkah-langkahnya melemahkan kontrol pada kekuasaan presiden. Ia dituduh memberangus pers bebas, memenjara senator yang menyelidiki kasus pasukan pembunuh (death squad) semasa ia menjabat Wali Kota Davao, dan merekayasa pencopotan seorang hakim agung yang berpikiran independen (Foreign Affairs, September/Oktober 2019). Vonis hukuman terhadap jurnalis senior Maria Ressa, pertengahan Juni lalu, terkait laporan berita di laman Rapples yang dikelolanya memperkuat sinyal—apa yang kerap disebut aktivis—sebagai tanda kematian demokrasi di negara itu.
Jumat pekan lalu, ketika perhatian publik Filipina terfokus pada melonjaknya kasus Covid-19 yang menembus hampir 48.000 orang—sebanyak 1.309 orang meninggal—di negara itu, Duterte menandatangani UU Antiterorisme. UU ini dibutuhkan Filipina terkait ancaman terorisme, termasuk kelompok militan jaringan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) Abu Sayyaf di Filipina selatan. UU baru itu menggantikan UU Keamanan Manusia tahun 2007, yang jarang digunakan, antara lain, karena adanya denda 500.000 peso (9.800 dollar AS) per hari bagi aparat yang salah tangkap.
Pemberlakuan UU ini dikritik bukan hanya dari segi proses legislasi, juga dari segi substansi. Dari segi proses, Duterte dinilai tidak memberi kesempatan perdebatan publik membahas isi. UU tersebut disetujui Kongres dan diserahkan kepada Duterte untuk ditandatangani, bulan lalu. Sebelum menandatanganinya, Duterte tak banyak membicarakan UU itu secara terbuka. Dari segi isi, UU Antiterorisme dinilai bisa menyasar semua pengkritik pemerintah karena, misalnya, definisi teror terlalu luas. Penerapan UU tersebut juga dikritik karena memberi keleluasaan bagi aparat untuk menangkap dan menahan tersangka tanpa dakwaan hingga 24 hari.
Sejumlah pengacara dan anggota Kongres mengajukan petisi kepada Mahkamah Agung (MA) untuk menunda atau membatalkan UU Antiterorisme. Dengan kekuasaan di genggaman Duterte saat ini, mungkin tak banyak bisa diharapkan dari keputusan MA. Namun, petisi itu akan memberi kesempatan kepada Filipina, apakah masih mau mendengar suara berbeda dari pemerintah.