Demi RUU Cipta Kerja dan RUU HIP, PDI-P Merotasi Rieke Diah Pitaloka
›
Demi RUU Cipta Kerja dan RUU...
Iklan
Demi RUU Cipta Kerja dan RUU HIP, PDI-P Merotasi Rieke Diah Pitaloka
Pergantian pimpinan Baleg DPR dari Rieke Dyah Pitaloka ke M Nurdin diyakini tak akan mengganggu kinerja legislasi DPR. Pergantian itu merupakan rotasi biasa yang akan terus dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rotasi pimpinan Badan Legislasi DPR dari Rieke Diah Pitaloka kepada Muhammad Nurdin dilakukan demi kepentingan pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU Haluan Ideologi Pancasila. Pergantian pimpinan tersebut pun diyakini tidak akan mengganggu kerja-kerja di Baleg DPR.
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Utut Adianto dalam konferensi pers di Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis (9/7/2020), mengatakan, pergantian dari Rieke ke Nurdin bukan semata-mata untuk penyegaran atau rotasi biasa. Nurdin disebut memiliki kapasitas untuk mengawal pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) karena berlatar belakang kepolisian.
”Dalam waktu dekat Baleg (Badan Legislasi) akan penuh dengan tugas-tugas berat. Kalau kita lihat (RUU) Omnibus Law sudah mendekati titik-titik yang krusial. Selain RUU Omnibus Law, juga ada RUU HIP. Kami harus menempatkan prajurit-prajurit yang memang sesuai kompetensinya,” ujar Utut.
Dalam waktu dekat Baleg (Badan Legislasi) akan penuh dengan tugas-tugas berat. Kalau kita lihat (RUU) Omnibus Law sudah mendekati titik-titik yang krusial. Selain RUU Omnibus Law, juga ada RUU HIP. Kami harus menempatkan prajurit-prajurit yang memang sesuai kompetensinya.
Dari penelusuran Kompas, Nurdin pernah mencapai sejumlah jabatan tinggi di Polri, misalnya Kapolda Aceh (1994-1995), Kapolda Sumatera Utara (1996-1997), dan Inspektur Jenderal Polri (1998-2001).
Utut menyampaikan, rotasi di tengah jalan merupakan hal yang lumrah dan sering terjadi. Misalnya, belakangan, Fraksi PDI-P juga merotasi Hendrawan Supratikno, yang semula Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) ke anggota Baleg DPR.
”Jadi, penugasan-penugasan seperti ini sering terjadi, memang peruntukannya, juga ada masa-masanya,” kata Utut.
Sekretaris Fraksi PDI-P DPR Bambang Wuryanto pun menambahkan, Rieke sementara akan ditempatkan di Komisi VI DPR. Di komisi tersebut, Rieke diminta mengawal kerja Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
”Jadi, jangan pernah ada pikiran Mbak Rieke salah, kemudian dicopot. Itu salah,” ucap Bambang.
Bambang pun tak memungkiri bahwa rotasi tak berhenti di sini. Rotasi akan menyesuaikan pembahasan setiap bab di dalam RUU Cipta Kerja. Seperti diketahui, RUU tersebut terdapat 15 bab.
Rotasi akan menyesuaikan pembahasan setiap bab di dalam RUU Cipta Kerja. Seperti diketahui, RUU tersebut terdapat 15 bab.
Misalnya, jika pembahasan memasuki bab 10 tentang pemerintah pusat dan proyek strategis nasional, anggota Komisi XI dan Komisi VI akan menjadi pasukan Baleg. Begitu pula ketika pembahasan tentang pertanahan, anggota Baleg akan diisi dari anggota Komisi II.
”Ini babnya macam-macam, pergantiannya pun macam-macam, siapa orang yang tepat, tentu kami cari orang yang paham pasal dan punya disiplin tinggi,” ujar Bambang.
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengatakan, pergantian pimpinan Baleg dari unsur Fraksi PDI-P merupakan bagian dari kebijakan fraksi.
”Itu semua hak Fraksi PDI-P. Mau diganti orang lain atau mau pimpinan Baleg dari PDI-P dirotasi dengan anggota lain, itu hak PDI-P. Sesuai dengan UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) serta Tatib DPR, pengisian jabatan pimpinan alat kelengkapan Dewan itu fraksi, bukan personal,” ujarnya.
Baidowi menyampaikan, pergantian pimpinan dari Rieke ke Nurdin tidak berdampak pada kerja-kerja legislasi yang sedang ditangani Baleg DPR.
Pergantian pimpinan dari Rieke ke Nurdin tidak berdampak pada kerja-kerja legislasi yang sedang ditangani Baleg DPR.
Sebelumnya, Rieke juga adalah Ketua Panitia Kerja RUU HIP. RUU itu disetujui menjadi hak inisiatif DPR pada Sidang Paripurna 12 Mei 2020. RUU tersebut awalnya diinisiasi PDI-P dengan nama RUU Pembinaan Ideologi Pancasila. Namun, dalam perkembangannya, RUU itu diambil inisiasinya oleh Baleg DPR. Rieke kemudian ditunjuk sebagai Ketua Panja.
Dari informasi yang dihimpun Kompas, pembahasan RUU HIP itu pada mulanya disepakati semua fraksi. Sejumlah fraksi, seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Nasdem, memberikan catatan agar TAP MPRS No XXV/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan larangan paham komunis, marxisme dan leninisme, di Indonesia untuk dimasukkan ke dalam konsideran. Namun, di dalam draf akhir yang dibawa ke paripurna, konsideran RUU HIP tidak mencantumkan TAP MPRS tersebut.
Kontroversi pun menyeruak di tengah masyarakat terkait dengan substansi RUU karena RUU dipandang mengatur ideologi negara yang seharusnya menjadi sumber dari segala sumber hukum. RUU HIP pun berpotensi menimbulkan perdebatan ideologi yang tidak berkesudahan karena mencantumkan Pancasila versi pidato Bung Karno, yakni dengan adanya konsep trisila dan ekasila di dalam Pasal 7 RUU HIP.
Sejumlah organisasi kemasyarakatan, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, mendorong agar RUU itu dicabut dari pembahasan di DPR. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pun menyatakan akan menunda pembahasan RUU. Dengan begitu, Presiden Joko Widodo juga tidak akan mengirimkan surat presiden pembahasan RUU kepada DPR.
”Penundaan ini diharapkan agar DPR dapat berdialog dan menyerap aspirasi lebih banyak lagi dengan semua elemen masyarakat,” kata Mahfud (Kompas, 17/6/2020).
Selain itu, katanya, secara substansi Presiden Jokowi juga menyatakan bahwa Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan untuk Menyebarluaskan Paham Komunis, Marxisme, dan Leninisme merupakan produk hukum yang mengikat dan tak bisa dicabut negara atau undang-undang. Presiden juga mengatakan, rumusan Pancasila yang sah adalah rumusan yang disahkan 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Rumusan itu juga tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Perubahan nomenklatur
Di tengah perdebatan tentang RUU HIP, wacana perubahan nomenklatur RUU HIP mengemuka. Muncul usulan agar RUU HIP itu diubah menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP) atau RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sesuai dengan tujuan awal RUU tersebut. Namun, wacana itu pun masih mendapatkan pandangan pro dan kontra dari masyarakat. Para ahli juga berbeda pandangan tentang perlu tidaknya perubahan nomenklatur itu dilakukan.
Di dalam diskusi bertajuk ”RUU HIP Menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila: Urgen?”, Kamis ini, yang diadakan oleh Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, perubahan nomenklatur itu tidak diperlukan. Sebab, pengaturan apa pun terhadap Pancasila tidak diperlukan saat ini. Bahkan, keberadaan lembaga BPIP pun dipandang tidak relevan.
”Saya tidak setuju RUU HIP, RUU PIP, atau RUU BPIP. Lembaga seperti BPIP itu pun tidak perlu ada karena saat ini untuk menyosialisasikan Pancasila dapat dilakukan melalui sekolah-sekolah, dan badan-badan yang memang punya peran melakukan hal itu. Misalnya, MPR yang telah memiliki program sosialisasi Empat Pilar. Kendati ada perdebatan soal nama Empat Pilar, tetapi sudah ada Pancasila di dalamnya,” katanya.
Saya tidak setuju RUU HIP, RUU PIP, atau RUU BPIP. Lembaga seperti BPIP itu pun tidak perlu ada, karena saat ini untuk menyosialisasikan Pancasila dapat dilakukan melalui sekolah-sekolah, dan badan-badan yang memang punya peran melakukan hal itu. (Refly Harun)
Upaya menjaga atau mengawal Pancasila pun sudah bisa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Dengan keberadaan sejumlah itu, menurut Refly, tidak perlu ada lembaga seperti BPIP.
Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Bayu Dwi Anggono mengatakan, jika memang tujuan awal dari RUU itu untuk menguatkan peran dan posisi BPIP sebagai suatu lembaga negara, maka perubahan nomenklatur RUU HIP menjadi RUU BPIP atau RUU PIP bisa saja dilakukan. Sebab, penguatan kelembagaan melalui UU akan lebih menjamin keberlangsungan lembaga itu daripada jika hanya diatur di dalam Peraturan Presiden (perpres).