Ekonomi Banyuwangi dan Sekitarnya Menggeliat kendati Pertumbuhan Melambat
›
Ekonomi Banyuwangi dan...
Iklan
Ekonomi Banyuwangi dan Sekitarnya Menggeliat kendati Pertumbuhan Melambat
Pandemi yang terjadi memang memukul sendi-sendi perekonomian. Namun akhir-akhir ini ekonomi kembali menggeliat di Banyuwangi. Kendati demikian bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhannya melambat.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Pandemi yang terjadi memang memukul sendi-sendi perekonomian. Namun, akhir-akhir ini ekonomi kembali menggeliat. Kendati demikian apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhannya melambat.
Kembali menggeliatnya perekonomian sedikit banyak dipengaruhi sejumlah pelonggaran pembatasan sosial. Hal serupa juga terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur, yang membuka kembali sejumlah akses ke destinasi wisata.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jember Hestu Wibowo mengatakan, di tengah pandemi Covid-19, Ekonomi Sekar Kijang (wilayah Eks Karisidenan Besuki dan Lumajang) pada tahun 2020 diperkirakan tumbuh lebih rendah dibandingkan tahun 2019.
”Perlambatan diperkirakan terjadi pada sektor industri pengolahan, perdagangan, transportasi, serta akomodasi dan makanan-minuman. Adapun inflasi diperkirakan masih terjaga di target 3,0 persen, lebih rendah sekitar 1 persen apabila dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” ungkapnya ketika dihubungi dari Banyuwangi, Kamis (9/7/2020).
Perlambatan diperkirakan terjadi pada sektor industri pengolahan, perdagangan, transportasi, serta akomodasi dan makanan-minuman.
Kendati melambat, hasil Survei Konsumen Bank Indonesia Jember pada Juni 2020 mengindikasikan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) meningkat menjadi sebesar 82,0 dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 81,5. Membaiknya optimisme konsumen terutama disebabkan oleh menguatnya ekspektasi konsumen terhadap perkiraan kondisi ekonomi pada 6 bulan mendatang, seiring dengan perkiraan meredanya pandemi Covid-19 di Indonesia.
”Khusus di sektor pariwisata, penerapan new normal akan banyak memberi pengaruh positif terhadap kinerja sektor pariwisata di triwulan III-2020. Kami mengapresiasi upaya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang menyiapkan konsep pariwisata baru yang mengutamakan kebersihan, keselamatan, dan kesehatan patut diapresiasi,” tutur Hestu.
Bagi Banyuwangi, sektor pariwisata memang masih menjadi unggulan selain sektor pertanian. Harus diakui, pembatasan sosial yang berdampak pada pembatasan perjalanan sangat memukul sektor pariwisata.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi M Yanuarto Bramuda menyebut, potensi kehilangan perputaran uang bisa mencapai Rp 277 miliar. Perhitungan tersebut didapat apabila membandingkan jumlah wisatawan pada periode yang sama tahun lalu dan mengalikannya dengan rata-rata uang yang dibelanjakan wisatawan dalam sehari (spending money).
Pada April hingga Juni 2019, terdapat 158.511 wisatawan Nusantara dan 14.431 wisatawan mancanegara yang menginap di Banyuwangi. Adapun rata-rata uang yang dibelanjakan per orang per hari adalah Rp 1,5 juta bagi wisatawan Nusantara dan 2,8 juta bagi wisatawan mancanegara.
”Tahun ini selama bulan April hingga Juni sama sekali tidak ada wisatawan berkunjung ke Banyuwangi. Anggap saja jumlahnya sama seperti tahun kemarin, berarti ada potensi kehilangan sebesar Rp 277 miliar. Uang itu harusnya beredar di masyarakat, tetapi karena tidak ada wisatawan uang itu tidak ada,” ungkap Bramuda.
Pandemi juga membuat persentase target pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Banyuwangi terkoreksi. Kendati demikian secara nominal, serapan PAD yang didapatkan masih lebih tinggi.
”Sampai akhir Juni 2020, PAD sudah mencapai 40,93 persen dari total target sebesar Rp 595 miliar. Persentase serapan itu lebih kecil dibandingkan tahun lalu yang mencapai 49,09 persen dari total target sebesar Rp 517 miliar,” kata Alif Kartiono.
Dampak melambatnya ekonomi akibat Covid juga dirasakan para pemilik restoran di Banyuwangi. Salah satunya dirasakan Heri Sampurno, pemilik Warung Lya di Jalur Pantura Ruas Banyuwangi-Situbondo, Kecamatan Wongsorejo.
”Warung kami biasa menghabiskan 100 ayam per hari. Kini maksimal hanya 30 ekor per hari. Konsumen kami kebanyakan sopir-sopir logistik yang mengantar barang lintas pulau dari Jawa ke Bali hingga Lombok. Karena penyeberangan semakin diperketat, sopir-sopir juga semakin sedikit yang mampir,” katanya.
Akibatnya, Heri harus merumahkan beberapa karyawannya. Namun ia mengakui dalam satu minggu terakhir, jumlah pengunjung di warungnya kembali naik kendati jumlahnya belum bisa menyamai saat sebelum pandemi.